Pertimbangan Pangkas Hukuman Edhy Prabowo Absurd
JAKARTA – Pemangkasan hampir separuh masa hukuman bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh Mahkamah Agung dinilai tidak masuk akal. Perilaku koruptif Edhy terjadi saat masyarakat sedang susah menghadapi pandemi Covid-19, terlebih Edhy menjabat menteri. KPK pun mengingatkan, pemberian efek jera, seperti dari beratnya hukuman penjara, merupakan esensi penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Edhy Prabowo mendapatkan potongan hukuman dari 9 tahun menjadi 5 tahun penjara dalam putusan kasasi MA. Salah satu pertimbangan majelis hakim, kinerja Edhy selama menjadi menteri dinilai baik. Bekas politikus Partai Gerindra itu juga dianggap telah memberikan harapan besar kepada nelayan sehingga layak diberi keringanan hukuman.
Selain mengoreksi lamanya pemidanaan badan, Mahkamah Agung (MA) mengoreksi pencabutan hak politik Edhy. Semula, Edhy dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun. Di tingkat kasasi, pencabutan hak politik dipotong 1 tahun menjadi 2 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (10/3/2021), mengatakan, hal meringankan yang dijadikan alasan MA mengurangi hukuman Edhy benar-benar absurd. Sebab, jika Edhy sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan kepada masyarakat, tentu Edhy tidak diproses hukum oleh KPK.
”Mesti dipahami, bahkan berulang kali oleh MA, bahwa Edhy adalah seorang pelaku tindak pidana korupsi. Edhy telah memanfaatkan jabatannya untuk meraup keuntungan secara melawan hukum. Maka dari itu, Edhy ditangkap dan divonis dengan sejumlah pemidanaan, mulai dari penjara, denda, uang pengganti, dan pencabutan hak politik,” ujar Kurnia.
Lagi pula, kata Kurnia, majelis hakim seolah mengabaikan ketentuan Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menegaskan pemberatan pidana bagi seorang pejabat saat melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya. Regulasi itu secara spesifik menyebutkan penambahan hukuman sepertiga, bukan justru dikurangi.
Selain itu, ia juga mempertanyakan soal pertimbangan hakim yang menyebut terdakwa telah memberi harapan kepada masyarakat. Padahal, nyatanya, pada waktu yang sama, Edhy telah melakukan praktik korupsi di tengah kesengsaraan masyarakat akibat pandemi Covid-19.
”Hukuman 5 tahun ini menjadi sangat janggal sebab hanya 6 bulan lebih berat jika dibandingkan dengan staf pribadinya Edhy, yakni Amiril Mukminin. Terlebih, dengan kejahatan korupsi yang ia lakukan, Edhy juga melanggar sumpah jabatannya sendiri,” tutur Kurnia.
Untuk diketahui, Amiril divonis 4,5 tahun penjara oleh mejelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Amiril juga dihukum untuk membayar denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Kurnia mengingatkan, pemotongan hukuman oleh MA ini dikhawatirkan menjadi multivitamin sekaligus penyemangat bagi pejabat untuk melakukan praktik korupsi. Sebab, mereka melihat secara langsung bagaimana putusan lembaga kekuasaan kehakiman jarang memberikan efek jera.
Butuh komitmen hakim
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, KPK menghormati setiap putusan peradilan, termasuk putusan kasasi MA terhadap Edhy. Saat ini, KPK belum menerima pemberitahuan resmi putusan tersebut.
”Segera, setelah kami terima (putusan), akan kami pelajari putusan lengkapnya tersebut,” kata Ali.
Ia menegaskan, pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen kuat seluruh elemen masyarakat, terlebih komitmen dari penegak hukum itu sendiri. Untuk memberantas korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, dibutuhkan cara-cara cara yang juga luar biasa, di antaranya melalui putusan yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dan juga mampu memberi efek jera untuk mencegah perbuatan serupa kembali terulang.
”Karena pemberian efek jera merupakan salah satu esensi penegakan hukum tindak pidana korupsi, yang bisa berupa besarnya putusan pidana pokok atau badan, serta pidana tambahan seperti uang pengganti ataupun pencabutan hak politik,” ujar Ali.
Oleh karena itu, putusan majelis hakim seyogianya juga mempertimbangkan hakikat pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). (KOM)