Politik Berbiaya Tinggi Dorong Praktik Korupsi dalam Birokrasi
PALEMBANG — Sistem politik di Indonesia yang berbiaya tinggi membuat para birokrat terpaksa melakukan korupsi demi memenuhi tuntutan dari politikus yang sedang berkuasa. Kondisi ini akhirnya berpengaruh pada persepsi korupsi di Indonesia yang terbilang masih rendah. Pembenahan sistem birokrasi, pemupukan nilai antikorupsi, dan penindakan hukum menjadi aspek penting untuk mencegah praktik korupsi tersebut.
Kepala Bidang Pelayanan Masyarakat dari Satuan Tugas Khusus Pencegahan Korupsi Polri Giri Suprapdiono, Kamis (13/7/2023), di Palembang, mengatakan, saat ini indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia terbilang cukup rendah. Berdasarkan data Transparency International, IPK Indonesia pada tahun 2022 memiliki poin 34 atau turun dari tahun sebelumnya sebesar 38 poin.
Posisi ini membawa Indonesia berada di urutan ke-110 dari 180 negara yang diteliti. Bahkan, IPK ini masih di bawah rata-rata negara di Asia Pasifik, yakni 45 poin. Turunnya IPK tersebut disebabkan masih adanya perilaku koruptif di sistem birokrasi, terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik.
Praktik suap ataupun gratifikasi itu membuat pelaku usaha gagal memperoleh keuntungan. Tiga sektor yang paling berdampak dalam praktik suap adalah perizinan, pengadaan, dan penerbitan kuota perdagangan.
Giri menuturkan, masih tingginya perilaku korupsi di Indonesia juga disebabkan oleh sistem politik Indonesia yang berbiaya mahal. Di sini, para politikus harus mengeluarkan uang untuk memperoleh suara. ”Karena sudah biasa terjadi, masyarakat seakan sudah bersikap permisif akan praktik tercela ini,” ujarnya, dilansir Kompas.
Bahkan, untuk mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah untuk tingkat kabupaten/kota, seorang calon kepala daerah harus mengeluarkan uang hingga Rp 20 miliar. Adapun untuk tingkat provinsi (gubernur) mengeluarkan dana hingga Rp 100 miliar.
Sebaliknya, pendapatan yang diterima oleh kepala daerah juga tidak sebesar itu. Bahkan, penerimaan dana langsung seorang gubernur hanya sekitar Rp 38 juta. ”Ketidakrasionalan politik inilah yang membuat praktik korupsi masih merajalela,” ujarnya.
Untuk mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan, para kepala daerah menggunakan berbagai cara, termasuk menekan para birokrat agar mampu memperoleh dana secara ilegal, baik dari praktik suap maupun gratifikasi. Beberapa modus yang digunakan, seperti jual-beli jabatan atau setoran dari sejumlah proyek. ”Kondisi ini pada akhirnya akan berpengaruh pada pelayanan masyarakat,” ujarnya.
Karena itu, lanjut Giri, perlu ada pembenahan sistem politik di mana negara harus mengambil peran untuk menekan biaya politik. Hal ini agar didapati pejabat publik yang berintegritas dan berorientasi pada masyarakat.
Dia membeberkan, biaya politik yang harus dikeluarkan partai politik (parpol) sekitar Rp 16.000 per suara, sementara biaya yang dikeluarkan negara sekitar Rp 1.000 per suara. ”Namun, angka ini jauh lebih tinggi dari semula, yakni Rp 108 per suara,” ujarnya.
Partai politik pun diharapkan terus melakukan kaderisasi secara benar dengan menyaring orang-orang yang berintegritas. ”Dengan pembenahan ini, diharapkan perilaku koruptif dapat ditekan,” kata Giri.
Di sisi lain, ujarnya, perlu ada pembenahan sistem pelayanan, terutama yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sistem itu harus bisa mengurangi pertemuan antara birokrat dan para penerima layanan. ”Digitalisasi menjadi hal yang harus diprioritaskan,” ucapnya.
Dia mencontohkan PT Kereta Api Indonesia yang bisa mereformasi pelayanan dengan melakukan pembayaran dan sistem pelayanan secara digital. Dengan pola itu, pelayanan kepada penumpang meningkat dan pegawai pun sejahtera.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Yuliusman beranggapan, selain gratifikasi dan suap, perilaku koruptif yang kerap kali terjadi adalah janji politik kepada rekanan untuk memberikan izin pengelolaan lahan. Kondisi ini berpengaruh pada hancurnya lingkungan.
Misalnya, izin pengelolaan lahan untuk perkebunan atau tambang dengan melakukan alih fungsi lahan. ”Hal ini bisa terlihat dari banyaknya lahan yang sudah beralih fungsi dan menyebabkan bencana, seperti banjir dan longsor,” ujar Yuliusman.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menuturkan, perbaikan layanan publik merupakan upaya untuk menangkal persepsi (pandangan) yang telanjur terbentuk di masyarakat, yakni ”ujung-ujungnya duit”. Pemikiran ini harus segera dibenahi dengan memperbaiki kinerja.
Dia menceritakan, ketika masih menjadi pegawai pelayanan di salah satu instansi di Sumsel pada 1988, dirinya melihat masih ada warga yang memberikan uang atas kerja yang pegawai lakukan. ”Waktu itu ketika membuka loket saja sudah ada yang memberi uang Rp 500-Rp 1.000. Pemikiran ini yang sudah terbentuk di masyarakat,” ujarnya.
Namun, sebagai pelayan masyarakat, ada sejumlah benteng yang harus dibuat, yakni perbaikan sistem dan juga benteng spiritual. Tidak kalah penting adalah perbaikan kesejahteraan bagi aparatur sehingga niat untuk korupsi dapat terkikis. ”Tentu ini harus dibarengi dengan literasi dan edukasi untuk mengurangi niat untuk korupsi,” kata Herman. (KOM)