Polri Diharapkan Tak Pandang Bulu Tindak Pelaku TPPO
JAKARTA — Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri diharapkan tidak pandang bulu dalam menindak para pelaku pidana perdagangan orang. Hukuman berat mesti diberikan untuk memberikan efek jera bagi pelaku, tak terkecuali anggota kepolisian yang terbukti terlibat dalam sindikat perdagangan orang.
Sejak 5-18 Juni 2023, Satuan Kerja Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Bareskrim Polri dan kepolisian daerah telah menangkap 494 tersangka TPPO. Selama periode tersebut, kepolisian menerima 409 laporan yang ditangani polda ataupun Bareskrim.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, Selasa (20/6/2023), mengatakan, upaya memberantas perdagangan orang yang kian intensif dilakukan oleh Satgas TPPO Polri perlu diapresiasi. Hal ini mengingat sejak tahun 2020-2022 Polri hanya berhasil mengungkap 500 kasus TPPO dan menetapkan ratusan tersangka saja.
”Penegakan hukum ini juga yang utama adalah memberi efek jera pada para pelaku,” kata Poengky di Jakarta, dilansir Kompas.
Hukuman berat juga perlu diberlakukan bagi anggota Polri yang terbukti terlibat dalam sindikat perdagangan orang. Bahkan, menurut Poengky, Polri perlu menjerat dengan pasal berlapis untuk anggotanya yang melindungi TPPO.
”Tidak boleh ada kompromi dengan mereka, termasuk tindakan tegas jika ada anggota Polri yang melindungi atau mem-backing-i. Yang bersangkutan harus diproses hukum juga,” ujar Poengky di Jakarta.
Poengky menambahkan, daerah-daerah dengan banyak kasus TPPO semestinya menjadi perhatian khusus Polri dalam memberantas perdagangan orang. Daerah-daerah rawan perdangan orang itu di antaranya Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau, dan daerah perbatasan lainnya.
Polri juga perlu meningkatkan kerja sama lintas instansi demi memerangi TPPO. Hal yang juga penting adalah memetakan jaringan perdagangan orang, baik di dalam maupun di luar negeri.
Selain penindakan, pencegahan perdagangan orang juga perlu dimasifkan. Menurut Poengky, bhabinkamtibmas dan polisi RW dapat membantu menyadarkan masyarakat mengenai ancaman perdagangan orang melalui imbauan di wilayah masing-masing.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Achmad Ramadhan mengungkapkan, selama periode awal Juni hingga 18 Juni, kepolisian telah menetapkan 494 orang sebagai tersangka TPPO. Adapun jumlah korban dari kasus TPPO tersebut sebanyak 1.553 orang. Para korban TPPO tersebut didominasi pekerja migran ilegal dan menjadi asisten rumah tangga yang mencapai 347 kasus. Selanjutnya modus dijadikan pekerja seks komersial sebanyak 90 kasus, modus dijadikan anak buah kapal 5 kasus, dan eksploitasi terhadap anak ada 20 kasus.
Ramadhan mengatakan, dari ratusan kasus yang diungkap, saat ini sudah ada satu kasus yang berkas penyidikannya dinyatakan sudah lengkap. Selain itu, sebanyak 286 kasus lainnya masuk tahap penyidikan dan 75 kasus masih proses penyelidikan.
Sebelumnya, pada awal Juni, Kepolisian Daerah Lampung menemukan sebuah rumah di Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung, yang diduga dijadikan lokasi penampungan pekerja migran ilegal. Dalam penggerebekan, polisi mendapati 24 perempuan calon pekerja migran berada di rumah itu. Para korban yang merupakan warga Nusa Tenggara Barat itu diduga hendak diselundupkan ke Timur Tengah. Setelah diselidiki, rumah itu ternyata milik seorang perwira menengah Polri.
”Jika nanti ditemukan ada keterlibatan anggota Polri, pimpinan Polri berkomitmen menindak tegas. Ini merupakan atensi Kapolri terhadap penanganan tindak pidana perdagangan orang,” kata Ramadhan.
Menurut Koordinator Advokasi Kebijakan Migrant Care Siti Badriyah, meski banyak kasus TPPO yang diungkap polisi, kenyataannya jumlah kasusnya semakin meningkat. Banyak para pelaku yang hanya diberi hukuman di bawah 5 tahun penjara.
”Pelaku perdagangan orang yang ditangkap kebanyakan calo. Ada indikasi juga aparat atau oknum jadi penyalur atau calo. Sementara pihak perusahaan penempatan tenaga kerja selama ini lepas dari jerat hukum,” katanya.
Dibutuhkan peran serta seluruh lapisan, mulai dari pemerintah daerah sampai pemerintahan desa, menyosialisasikan pentingnya bekerja ke luar negeri secara resmi dan bahaya berangkat secara ilegal. Sebab, masih banyak masyarakat yang tergiur iming-iming menjadi pekerja migran ilegal karena di daerahnya tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. (KOM)