NASIONAL

Rawan Kebakaran di Banyak Kawasan

JAKARTA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan potensi kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah pada musim kemarau tahun ini. Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Dodo Gunawan, mengatakan ancaman yang nyaris terus muncul berulang ini terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera. “Tapi beberapa spot di luar itu, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, kalau kemaraunya sangat kering, juga berpotensi terjadi hot spot,” ujar Dodo, kemarin.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kebakaran hutan dan lahan terjadi tiap tahun. Pada 2021, luas lahan terbakar mencapai 353 ribu hektare, naik dibanding pada tahun sebelumnya yang seluas 296 ribu hektare. Dodo mengatakan musim kemarau bukanlah faktor penentu kebakaran hutan dan lahan, melainkan metode pembukaan lahan dengan membakar.

Menurut data KLHK pada 2021, terjadi perluasan area hutan dan lahan terbakar di dua provinsi. Di Nusa Tenggara Barat, luas lahan yang terbakar naik dari 29 ribu hektare pada 2020 menjadi 100 ribu hektare pada 2021. Sedangkan di provinsi tetangga mereka, Nusa Tenggara Timur, naik dari 114 ribu hektare pada 2020 menjadi 137 ribu pada 2021.

Kemarin, Stasiun Meteorologi El Tari Kupang milik BMKG mengeluarkan peringatan dini kebakaran hutan dan lahan di sebagian wilayah Nusa Tenggara Timur. Menurut Kepala Stasiun Meteorologi El Tari Kupang BMKG, Agung Sudiono Abadi, sebagian besar wilayah NTT berstatus sangat mudah terbakar, seperti di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, dan Malaka.

Ancaman yang sama berlaku di Kabupaten Rote Ndao, Sabu Raijua, Sumba Timur, Sumba Tengah, Lembata, Flores Timur, Sikka, sebagian kecil Alor, Nagekeo, dan Ngada. Agung menjelaskan, di daerah tersebut, alang-alang dan dedaunan yang biasanya menutupi lantai hutan dalam kondisi amat kering sehingga sangat mudah terbakar.

Agung mengatakan masyarakat perlu mewaspadai munculnya titik api sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla). “Apalagi adanya kondisi angin kencang yang bersifat kering dan membuat potensi meluasnya karhutla semakin tinggi,” kata dia.

Agung menuturkan umumnya kebakaran hutan dan lahan terjadi karena aktivitas manusia, baik sengaja maupun tidak, dalam membuka lahan dengan cara membakar. Selain itu, membuang puntung rokok secara sembarangan di area hutan bisa memicu karhutla. “Hal-hal seperti ini yang perlu dihindari untuk memastikan tidak ada titik api yang memicu kebakaran lebih luas,” ujar dia.

Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Basar Manullang, mengatakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan sedang difokuskan di daerah rawan yang memiliki kawasan gambut, termasuk di Sumatera serta Kalimantan. “Pada masa kemarau atau dengan kondisi jarang terjadi hujan, wilayah-wilayah yang memiliki kawasan gambut akan menjadi perhatian bersama untuk langkah antisipasi,” katanya.

Basar mengatakan telah terjadi penurunan curah hujan di sebagian wilayah Sumatera dan provinsi lain. Selain itu, wilayah Indonesia akan memasuki masa kering pada Mei atau Juni mendatang. Potensi penurunan curah hujan tersebut, menurut dia, menyebabkan terjadinya peningkatan kerawanan kebakaran hutan dan lahan.

Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, M. Iqbal Damanik, menuturkan kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia agak unik karena terjadi tiap tahun. Dalam dua tahun terakhir, misalnya, meski saat musim La Nina, kebakaran masih terjadi. Bahkan, berdasarkan pemantauan Greenpeace, kata Iqbal, kebakaran berulang juga terjadi di beberapa lahan milik perusahaan. “Jadi, kalau musim panas kian berlangsung atau saat El Nino, karhutla yang terjadi bisa lebih besar dari kebakaran pada 2019 dan 2015,” ujarnya.

Menurut Iqbal, daerah yang rawan kebakaran adalah wilayah gambut dengan kekritisan tinggi atau kondisi kering. Hasil riset dosen Institut Pertanian Bogor, kata dia, 99 persen kebakaran hutan dan lahan terjadi karena ulah manusia. “Bukan hanya dalam hal dibakar ya, tapi juga pengelolaan gambutnya,” ucapnya.

Iqbal menyarankan pemerintah secara tegas memproteksi lahan gambut yang kritis serta mencegah kebakaran hutan, di antaranya dengan tidak melakukan budi daya seperti penanaman hutan tanaman industri dan sawit atau kegiatan lain yang membuat lahan gambut kering. “Tentu ini pendekatan sebelum karhutla terjadi. Kalau sudah terjadi karhutla, meski upaya pemadaman dilakukan, agak sulit mengendalikan bencana ini, termasuk transboundary haze ke negara tetangga,” ujar dia. (ANT/TMP)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.