NASIONAL

”Rivalitas” KPU dan Bawaslu Berpotensi Turunkan Kepercayaan Publik

JAKARTA — Keputusan Badan Pengawas Pemilu untuk mengadukan Komisi Pemilihan Umum ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu tidak boleh dianggap sebagai tindakan biasa. Ini karena pengaduan terhadap sesama penyelenggara pemilu itu menunjukkan masih ada rivalitasi antara KPU dan Bawaslu dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu.

Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Muhammad, mengatakan, tindakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengadukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke DKPP menunjukkan ada masalah di antara kedua lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Pengaduan diajukan lantaran permasalahan yang timbul itu tidak bisa diselesaikan dalam forum bersama. Padahal, keduanya merupakan satu kesatuan lembaga penyelenggara pemilu.

”Walaupun Bawaslu diperbolehkan mengadukan KPU ke DKPP, ada pembelajaran yang tidak baik kepada publik. Saling lapor Bawaslu-KPU bisa menurunkan kepercayaan publik,” ujarnya saat webinar bertajuk ”Sosialisasi Perkembangan Tahapan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024”, dilansir Kompas, Sabtu (12/8/2023).

Sebelumnya, Bawaslu mengadukan tujuh anggota pimpinan KPU ke DKPP. Aduan itu dibuat karena Bawaslu merasa KPU membatasi akses Bawaslu terhadap Sistem Informasi Pencalonan (Silon). Hal itu mengakibatkan pengawasan tahapan pencalonan anggota legislatif terhambat.

Menurut Muhammad, KPU semestinya mengundang Bawaslu dalam setiap pembuatan aturan teknis pemilu. Dalam forum tersebut, Bawaslu bisa mengidentifikasi perbedaan pandangan sehingga segera dicari solusinya sebelum dilakukan uji publik. Dengan demikian, perbedaan pandangan tidak perlu sampai ke DKPP. ”Saya berharap pelaporan ke DKPP merupakan yang pertama dan terakhir,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, keputusan mengadukan KPU ke DKPP merupakan jalan keluar terakhir karena upaya formal ataupun informal untuk meminta akses Silon yang lebih luas tidak menuai hasil. KPU tetap pada pendiriannya untuk membatasi akses Silon, sementara Bawaslu memerlukan akses pembacaan yang lebih luas untuk melakukan pengawasan.

”Detailnya nanti akan dibicarakan pada forum di DKPP sehingga semua pihak bisa memahami situasi teknis di lapangan. Biarlah DKPP yang memutuskan,” ujar Rahmat Bagja.

Anggota KPU, August Mellaz, mengatakan, KPU menghormati keputusan Bawaslu yang membawa persoalan Silon ke DKPP. Aduan itu merupakan konsekuensi dari pekerjaan KPU dalam melaksanakan tahapan pemilu. Oleh karena itu, KPU siap menghadapi persidangan yang akan digelar di DKPP.

”Kami pasti akan hadapi aduan Bawaslu ke DKPP. Sementara kami masih menunggu substansi pelaporannya karena belum tahu detailnya,” kata Mellaz.

Tunjukkan rivalitas KPU-Bawaslu

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, aduan Bawaslu terhadap KPU menunjukkan rivalitas KPU-Bawaslu belum hilang. Padahal ketiga penyelenggara pemilu, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP, merupakan satu kesatuan fungsi. Oleh karena itu, semua persoalan terkait pelaksanaan tugas dari tiap-tiap penyelenggara pemilu harus dibicarakan baik-baik dengan mengutamakan semangat penyelenggaraan pemilu yang berkualitas.

”Mestinya, dengan semangat satu kesatuan antarpenyelenggara pemilu, tidak perlu ada rivalitas, apalagi berujung laporan ke DKPP,” ucap Lucius.

Secara terpisah, mantan Ketua Bawaslu Abhan menyayangkan pengaduan yang dibuat Bawaslu. Perbedaan pandangan sesama penyelenggara pemilu seharusnya bisa di komunikasikan dan dikoordinasikan baik antara KPU-Bawaslu maupun forum tripartit yang melibatkan DKPP.

”Pengaduan ini tentu akan bisa membuat publik kebingungan dan pada akhirnya berdampak pada kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu,” kata Abhan.

Menurut dia, KPU seharusnya bisa menghargai tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) Bawaslu untuk mengawasi tahapan pencalegan. Oleh karena itu, akses Silon yang luas semestinya diberikan KPU ke Bawaslu agar pengawasan terhadap tahapan tersebut bisa optimal.

Dalih KPU yang tidak memberikan akses karena perlindungan data pribadi tidak bisa dibenarkan. Sebab, sharing data dikecualikan untuk pemilu yang merupakan bagian dari penyelenggaraan negara. Bawaslu yang diberikan mandat untuk mengawasi tahapan pemilu pun membutuhkan akses Silon agar bisa menjalankan fungsinya.

”Dalam konteks UU Pemilu, KPU, Bawaslu, dan DKPP sebagai satu kesatuan penyelenggara pemilu, maka harus saling bisa menghargai dan menghormati tupoksi masing-masing lembaga,” katanya.

Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai, forum tripartit antara KPU, Bawaslu, dan DKPP tidak mampu menyelesaikan masalah perbedaan pandangan mengenai Silon. Maka Bawaslu memilih mengadukan KPU ke DKPP sebagai langkah formal dan obyektif untuk menilai situasi yang saat ini terjadi.

Lebih jauh, DKPP diharapkan berimbang dalam mendudukkan kedua belah pihak dalam perkara ini. DKPP juga perlu menghadirkan pihak yang otoritatif untuk menilai aspek transparansi dan akuntabilitas yang dipersoalkan Bawaslu dan KPU sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Putusan DKPP akan menjadi pembelajaran KPU dan Bawaslu dalam membangun relasi pengawasan pemilu.

”DKPP sebaiknya bisa menghadirkan Komisi Informasi Pusat untuk mendapatkan informasi kredibel soal keterbukaan dan akses data serta sejauh mana informasi kepemiluan bisa dikecualikan dari pengawasan Bawaslu dan jangkauan publik,” ujar Titi. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: