Ruang Kebebasan Sipil di Indonesia Semakin Sempit
JAKARTA — Ruang gerak publik untuk berserikat, berekspresi, dan berpendapat di Indonesia dinilai semakin sempit. Berbagai ancaman masih kerap terjadi akibat regulasi yang multitafsir. Hal ini membuat pelanggaran hak masyarakat sipil seolah legal dan patuh hukum.
Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), selama Januari 2022 hingga Juni 2023, ada sedikitnya 183 pelanggaran kebebasan berekspresi mulai dari serangan fisik, digital, penggunaan perangkat hukum, hingga intimidasi. Adapun peristiwa itu telah menyebabkan 967 orang ditangkap, 272 korban luka-luka, dan 3 tewas.
Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya Saputra mengatakan, Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas dan tegas menjamin kebebasan sipil. Meski demikian, kasus-kasus pembungkaman, pelarangan berpendapat, hingga kriminalisasi terhadap masyarakat sipil masih kerap terjadi.
Dimas menyebutkan, kasus dugaan pencemaran nama baik yang membuat aktivis hak asasi manusia, Fatya Maulidiyanti dan Haris Azhar, menjadi terdakwa adalah salah satu contohnya. Begitu pula, katanya, tindakan represif aparat di Nagari Air Bangis, Sumatera Barat.
”Hal ini tentu melukai iklim demokrasi Indonesia,” ujarnya dalam konferensi pers catatan Kontras mengenai fenomena kekerasan, kriminalisasi, dan pembungkaman, di Jakarta, dilansir Kompas, Selasa (8/8/2023).
Dimas mengutip data dari Economist Intelligence Unit (EIU), divisi riset dan analisis majalah tersohor di Inggris, The Economist, yang menyatakan kinerja demokrasi Indonesia stagnan. Skor Indonesia tetap di angka 6,71 dan belum bergerak dari kategori demokrasi cacat (flawed democracy).
Data Freedom House juga menunjukkan penurunan angka dari 59/100 pada 2022 menjadi 58/100 pada 2023. Penyempitan ketersediaan ruang publik menjadi penyebab rendahnya nilai tersebut. Dalam kondisi ini, Indonesia juga belum bisa memperbaiki situasi dengan keluar dari klasifikasi negara yang tergolong sebagian bebas (partly free).
”Saat ini, demokrasi Indonesia sedang bergerak dari penyempitan menuju penutupan. Ini berbahaya. Jangan sampai menjadi bentuk pemerintahan yang otoriter,” katanya.
Partisipasi publik berupa kritik maupun penyampaian pendapat yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah seolah tidak diperbolehkan. Apabila bertentangan, instrumen hukum, misalnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kata Dimas, dipakai sebagai ancaman.
Alhasil, publik tidak ada pilihan selain berkompromi. Kondisi tersebut tidak sehat dalam iklim demokrasi. Karena itu, negara cenderung gagal dalam menjamin ruang kritis dan partisipasi publik saat merespons suatu kritik.
”Seharusnya, pelayan publik atau pejabat pemerintahan itu tidak boleh mudah sakit hati dan baperan (bawa perasaan). Mereka harus mengambil peran untuk menenangkan situasi, bukan malah memperkeruh dan mengkriminalisasi,” terang Dimas.
Menurunkan kualitas demokrasi
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah berpandangan, penyempitan kebebasan publik memang kian mengkhawatirkan. Kelompok-kelompok yang kerap menyuarakan persoalan seputar HAM, lingkungan, antikorupsi hingga kritik terhadap suatu kebijakan pemerintah rentan mendapatkan ancaman.
Iklim demokrasi di Indonesia seharusnya semakin baik seiring berjalannya waktu. Namun, sejumlah regulasi masih berpotensi untuk mengkriminalisasi publik seperti sejumlah pasal dalam UU ITE, UU No 1/2023 tentang Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama).
”Masih ada regulasi yang berpotensi menurunkan kualitas demokrasi Indonesia. Kebebasan sipil yang paling terasa dampaknya,” tutur Anis.
Karena itu, pemerintah sebaiknya menerima segala masukan ataupun kritik dari masyarakat. Pada saat bersamaan, masyarakat juga perlu menyampaikan pendapatnya dengan metode yang damai tanpa kekerasan. Hal tersebut turut berlaku untuk aparat penegak hukum.
Tenaga Ahli Utama Bidang Politik Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP) Sigit Pamungkas menjelaskan, data mengenai penurunan indeks demokrasi juga menjadi sorotan pemerintah. Pengawalan yang mendetail mengenai berbagai kasus dibutuhkan.
Pada prinsipnya, katanya, pemerintah terus berupaya mendorong kemajuan demokrasi. Hambatan baik struktural maupun kultural yang berasal dari negara atau masyarakat ditangani melalui penguatan legislasi dan edukasi publik. Selain pemerintah, peran masyarakat sipil dan media juga diharapkan bisa mengakselerasi kemajuan demokrasi.
”Regulasi yang berpotensi kriminalisasi juga diperhatikan. Revisi UU ITE sedang berproses di DPR dan ditargetkan selesai tahun ini,” ungkap Sigit. (KOM)