Satgas TPPU Perlu Perjelas Dugaan Transaksi Janggal Rp 349 Triliun
JAKARTA — Kerja Satuan Tugas Supervisi dan Evaluasi Penanganan Laporan Hasil Analisis, Laporan Hasil Pemeriksaan, dan Informasi Dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang atau Satgas TPPU semestinya dapat membuat lebih jelas data agregat terkait dengan transaksi Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan yang dinilai janggal. Satgas juga perlu dapat memastikan tindak lanjut laporan hasil akhir dan laporan hasil pemeriksaan terhadap transaksi mencurigakan.
Hingga Senin (10/7/2023), Ketua Tim Pelaksana Satgas TPPU Sugeng Purnomo dalam konferensi pers di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Jakarta, melaporkan, satgas sudah melakukan 15 kali rapat, baik itu di internal Satgas Pelaksana maupun tim ahli dan tim kelompok kerja (pokja).
Satgas Pelaksana juga sudah bertemu dengan tim teknis dari kementerian dan lembaga, yaitu Kemenkeu, Kejaksaan Agung, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk memastikan bahwa dokumentasi yang telah diterbitkan oleh PPATK sudah diserahkan dan sudah ditindaklanjuti.
”KPK juga sudah bergerak dan ada supporting yang diberikan oleh satgas, terutama oleh kawan-kawan PPATK. Harapannya bisa mendorong penyelesaian dari permasalahan yang ada dan bisa semakin cepat dan jelas penyelesaian proses hukumnya,” katanya, dilansir Kompas.
Sugeng menegaskan bahwa dari nilai transaksi Rp 349 triliun yang pernah disebut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD itu, satgas ingin semuanya diselesaikan. Bahkan, jika semua laporan PPATK belum selesai, tetapi masa tugas satgas sudah berakhir, satgas akan membuat rekomendasi perpanjangan masa tugas.
”Sebanyak 300 laporan itu membuktikan bahwa sudah begitu lama. Ada laporan yang sudah diselesaikan, tetapi tidak diberitahukan atau dilaporkan oleh PPATK. Kami masih mencocokkan data dan mengonsolidasikan data kembali untuk memastikan berapa persen yang bisa dan sudah ditindaklanjuti,” tuturnya.
Satgas, menurut Sugeng, akan memastikan bahwa laporan hasil analisis yang telah diterbitkan oleh PPATK dengan nilai transaksi Rp 189 triliun di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu terus diperiksa. Sejauh ini, menurut dia, Ditjen Bea dan Cukai memastikan transaksi itu tak terkait dengan kasus bea impor emas yang saat ini disidik Kejaksaan Agung.
Meskipun demikian, karena Ditjen Bea dan Cukai mengatakan ada potensi tindak pidana lain yang bukan kewenangan Bea dan Cukai, satgas memutuskan mengadakan pertemuan bersama dengan Bareskrim Polri dan Ditjen Pajak Kemenkeu.
Membangun sistem
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpandangan, sampai saat ini data agregat transaksi janggal Rp 349 triliun tidak jelas karena baik Kemenko Polhukam maupun Kemenkeu masih saling bersilang pendapat. Alhasil, bagi publik kasus itu pun sampai saat ini masih mengambang, apakah agregat itu total nilai transaksi atau total mutasi dana. Selain itu, menurut dia, bagi publik juga penting untuk mengetahui mana yang bisa ditindaklanjuti dan mana yang tidak bisa ditindaklanjuti.
Satgas ini seharusnya tugasnya memastikan dua hal karena mereka tidak punya kewenangan pro justitia. Seharusnya mereka bisa membangun sistem agar ke depan jelas bahwa LHA (laporan hasil analisis) dan LHP (laporan hasil pemeriksaan) PPATK itu bagaimana tindak lanjutnya,” katanya.
Sistem yang harus dibangun itu, menurut Zaenur, sebenarnya mirip dengan informasi surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang dimiliki KPK. Jadi, jelas transparansi, akuntabilitas, dan tindak lanjut LHA dan LHP dari PPATK.
”Satgas tidak punya kewenangan pro justitia untuk membongkar kasus dugaan TPPU ini. Mereka memilah secara valid mana LHA dan LHP yang bisa ditindaklanjuti dan mana yang belum. Kalau belum, mereka bisa merekomendasikan kepada APH untuk ditindaklanjuti,” katanya.
Zaenur berharap kinerja Satgas TPPU yang dibentuk Menko Polhukam juga bisa membuat lebih jelas nilai agregat Rp 349 triliun yang sebelumnya menjadi polemik antara Kemenko Polhukam dan Kemenkeu. Jadi, pada akhir tahun 2023, saat masa tugas Satgas TPPU selesai, sudah selesai klasifikasi dan jumlah-jumlah transaksi yang diberikan dari satgas untuk direkomendasikan kepada aparat penegak hukum. Selain itu, terbangun pula sistem yang baik untuk mengetahui tindak lanjut LHA dan LHP PPATK, apakah sudah sesuai dengan harapan atau belum.
Dugaan persekongkolan
KPK menyebutkan bahwa Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Makassar, Sulawesi Selatan, Andhi Pramono diduga bersekongkol memasukkan dan mengeluarkan barang secara ilegal.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Senin (10/7/2023). Menurut dia, persekongkolan itu bisa terjadi antara perusahaan dan petugas Bea dan Cukai. Tujuannya untuk memberikan fasilitas kemudahan sehingga barang-barang yang seharusnya tidak boleh masuk jadi boleh masuk. ”Barang-barang yang seharusnya dikenai tarif tertentu kemudian dikenai tarif yang tidak seharusnya,” ujar Alexander.
Andhi diduga terlibat dalam penerimaan gratifikasi dan TPPU dari pengurusan ekspor-impor saat ia diangkat penyidik pegawai negeri sipil di Kemenkeu sekaligus pejabat eselon III di Ditjen Bea dan Cukai.
Selama kurun waktu 2012 sampai 2022, Andhi diduga menerima imbalan hingga Rp 28 miliar. Dalam melakukan perbuatannya, tersangka dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU ini diduga memberikan rekomendasi kepada para pengusaha yang bergerak di bidang ekspor-impor agar dipermudah dalam melakukan aktivitas bisnisnya. (KOM)