Serangan di Ruang Digital Jadi Ancaman Serius di Pemilu 2024
JAKARTA — Serangan siber yang bersifat sosial, seperti penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di ruang digital, menjadi ancaman serius yang harus diantisipasi pemangku kepentingan dalam Pemilu 2024. Perebutan suara pemilih dari kalangan generasi Z dan millenial yang jumlahnya mencapai 55 persen membuat serangan hoaks untuk mempengaruhi pemilih sulit terhindarkan.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengatakan, penyebaran hoaks politik menjelang pemilihan umum (pemilu) semakin marak. Puncaknya diprediksi akan terjadi setelah pemungutan suara 14 Februari 2024 mendatang ketika rekapitulasi suara hingga gugatan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Serangan tersebut menyasar kepada bakal calon presiden-wakil presiden, partai politik, calon anggota legislatif, penyelenggara pemilu, media, serta lembaga survei.
”Sekarang sudah sangat membanjir hoaks politik antarkubu capres dari kelompok pendukungnya. Serangan juga menyasar penyelenggara pemilu untuk mendelegitimasi pemilu. Bahkan akhir-akhir ini, hoaks menyerang lembaga survei,” kata Septiaji di Jakarta, dilansir Kompas, Minggu (18/6/2023).
Mengutip Laporan Pemetaan Hoaks Edisi Januari dan Maret 2023 yang diterbitkan Mafindo, hoaks bertema politik selalu menduduki peringkat tertatas. Pada Januari, persentase hoaks politik mencapai 31,1 persen dan meningkat menjadi 36,2 persen pada Maret. Peningkatan hoaks politik terjadi setelah pandemi Covid-19 berakhir dan menjadi endemi.
Septiaji menuturkan, ada tren pergeseran alat memproduksi hoaks. Jika pada Pemilu 2019 hoaks lebih banyak berupa foto dan teks, hoaks politik pada Pemilu 2024 banyak beralih ke video. Demikian pula saluran penyebaran hoaks, dahulu menggunakan Facebook, kini lebih banyak menggunakan Youtube.
”Hoaks berbentuk video lebih emosional, lebih cepat meyakinkan masyarakat, dan engagement (interaksi dua arah) lebih tinggi dibandingkan foto maupun teks. Produksinya dari satu akun bahkan bisa mencapai lima video per hari,” tuturnya.
Menurut Septiaji, ada gap atau kesenjangan antara jumlah hoaks dan klarifikasi dari pihak terkait. Rata-rata, klarifikasi baru mencapai 20 persen dari produksi hoaks. Padahal, hoaks menyebar hingga enam kali lebih cepat dibandingkan dengan klarifikasi. Di sisi lain, pengecekan hoaks berbentuk video memerlukan waktu hingga tiga kali lipat dibandingkan pengecekan fakta dari hoaks berupa foto dan teks.
”Ketika hoaks sudah menggunakan isu sara (suku, agama, ras, dan antargolongan) bisa memantik konflik, terutama di daerah yang punya sejarah pembelahan akar rumput,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Septiaji, harus ada langkah antisipatif untuk menangkal serangan siber berupa hoaks atau kabar bohong. Polarisasi yang selama ini menjadi akar masalah penyebaran hoaks mesti diredam. Elite politik seharusnya tidak memelihara polarisasi hanya untuk kepentingan elektoral.
Lebih jauh, pemerintah dan penyelenggara pemilu harus meningkatkan literasi digital terkait kepemiluan. Masyarakat mesti bisa menjadi pemilih kritis sehingga bisa membedakan konten-konten politik yang berupa fakta atau hoaks. Identifikasi potensi hoaks perlu dilakukan sehingga langkah-langkah antisipatif bisa dilakukan lebih awal sebelum haoks menyebar.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ihsan Maulana, mengatakan, jumlah pemilih dari generasi Z dan millenial yang mencapai 55 persen dari seluruh jumlah pemilih membuat pertarungan di ruang digital tidak terhindarkan. Sebab, pemilih generasi Z dan millenial cenderung dekat dengan media sosial sehingga peserta pemilu akan memanfaatkan ruang digital untuk menyebarkan pengaruhnya.
”Pencitraan di media sosial sangat diandalkan capres-cawapres sehingga perang dan serangan hoaks akan terus bermunculan untuk mempengaruhi pemilih,” tuturnya.
Menurut Ihsan, situasi ini belum terlalu diantisipasi oleh penyelenggara pemilu. Rancangan Peraturan KPU tentang Kampanye dalam Pemilu cenderung sama dengan pengaturan di Pemilu 2019. Penambahan jumlah akun resmi media sosial dari 10 menjadi 20 akun tidak berdampak pada serangan hoaks. Sebab, hoaks biasanya disebarkan oleh akun-akun tidak resmi dari peserta pemilu.
”Kampanye di ruang digital seolah tidak menjadi prioritas penyelenggara pemilu. Padahal, ancaman serangan siber yang bersifat seperti penyebaran hoaks dan ujaran kebencian terus meningkat,” katanya.
Lebih jauh, potensi serangan siber yang bersifat teknis, seperti pencurian data dan jaringan server KPU dan Bawaslu, harus diantisipasi. Kejadian pencurian data yang diduga merupakan Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2014 pernah terjadi pada 2021 dan 2022. Pada 2021, akun twitter @underthebreach mengklaim telah meretas pangkalan data KPU dan memiliki 200 juta data pemilih. Setahun berselang, peretas Bjorka mengklaim memiliki 105 juta data pemilih untuk Pemilu 2019.
”Kalau server KPU sudah pernah diretas, harus dipastikan celah keamanannya sudah ditutup untuk mencegah kebocoran data kembali terulang di Pemilu 2024,” ucap Ihsan.
Di sisi lain, lanjutnya, kebersihan siber harus menjadi perhatian dari seluruh elemen penyelenggara pemilu. Penggunaan domain pribadi untuk keperluan tahapan pemilu harus dihindari karena berpotensi menjadi celah peretasan. Salah satunya penggunaan komputer untuk tahapan pemilu yang steril dan tidak menggunakan e-mail pribadi untuk kepentingan lembaga.
Untuk itu, ia mendorong agar KPU membentuk Peraturan KPU tentang sistem teknologi informasi dan keamanan siber. Payung hukum yang kuat diperlukan untuk mengatur penggunaan teknologi yang digunakan KPU. Terlebih, hampir semua tahapan pemilu memanfaatkan teknologi. Namun, pengaturannya hanya berada di PKPU tahapan terkait. (KOM)