NASIONAL

Setelah Vonis Bebas Kasus Paniai

JAKARTA – Kejaksaan Agung menyatakan bakal mengajukan kasasi atas vonis bebas Mayor Infanteri (Purnawirawan) Isak Sattu. Pengajuan kasasi terhadap vonis terdakwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai itu paling lama 14 hari setelah putusan.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, mengatakan, dalam beberapa hari ke depan, penuntut umum akan mempelajari putusan bebas hakim. Setelah itu, kata dia, penuntut umum segera mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung. “Kami masih punya waktu 14 hari untuk mempelajari putusan tersebut,” ujar Ketut pada Jumat, 9 Desember 2022.

Majelis hakim ad hoc Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk kasus Paniai memvonis bebas Isak Sattu. Hakim menyatakan Isak tidak terbukti melanggar HAM berat dalam peristiwa Paniai. “Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari semua dakwaan penuntut umum,” kata ketua majelis hakim, Sutisna Sawati, di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis, 8 Desember 2022.

Isak Sattu adalah terdakwa tunggal dalam kasus Paniai. Awal peristiwa Paniai diduga terjadi karena aksi pemukulan oleh anggota TNI terhadap pemuda di Kampung Ipakiye, Tanah Merah, Kabupaten Paniai, pada 7 Desember 2014. Keesokan harinya, warga berunjuk rasa di Lapangan Karel Gobay, di dekat kantor Kepolisian Sektor Paniai dan Komando Rayon Militer (Koramil) 1705-02/Enarotali. Ketika situasi memanas, anggota Koramil ditengarai memberondong massa dan menikam. Peristiwa itu mengakibatkan empat warga tewas dan 21 lainnya luka-luka.

Saat peristiwa itu terjadi, Isak menjadi perwira penghubung Komando Distrik Militer 1705/Paniai karena Komandan Ramil 17-02/Enarotali sedang tidak ada di tempat. Menurut dakwaan jaksa, Isak sebagai komandan seharusnya berwenang mencegah bawahannya menembak dan melakukan kekerasan yang menyebabkan empat korban sipil tewas. Jaksa mendakwa Isak melanggar Pasal 42 ayat 1 huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, serta Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Pada putusannya, majelis hakim sebenarnya yakin unsur pelanggaran HAM berat terpenuhi dalam kasus Paniai. Namun  hakim menyatakan Isak sebagai perwira penghubung tidak berwenang mengeluarkan perintah langsung atau mengendalikan anggota Koramil Enarotali. Walhasil, hakim menyatakan unsur komandan militer sebagaimana dakwaan jaksa tidak terpenuhi.

Adapun Isak saat sidang pemeriksaan terdakwa pada 3 November 2022 mengatakan dirinya menjadi perwira tertinggi di Koramil Enarotali lantaran Komandan Koramil sedang tak berada di tempat kejadian. Isak mengatakan, saat kejadian, ia telah melaporkan situasi kepada Komandan Kodim. Saat insiden, dia hanya memerintahkan personel mengamankan senjata.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Abdul Haris Semendawai, mendorong Kejaksaan Agung mengajukan kasasi. Dia mengatakan hakim di Mahkamah Agung dapat memeriksa kembali soal rantai komando dalam kasus Paniai.

Dalam praktik pengadilan HAM internasional, kata Abdul Haris, pengertian komandan tidak harus perwira yang menyandang jabatan resmi atau de jure. Seseorang yang memiliki kekuasaan dan perintahnya dipatuhi tentara juga dapat dianggap sebagai komandan. “Komandan tidak harus memiliki kekuatan de jure. Tapi kalau perintahnya diikuti oleh pasukan dan dia bisa mengendalikan secara de facto, hal tersebut sudah bisa dijadikan dasar,” ujarnya.

Desakan Mengusut Pelaku Lain

Abdul Haris Semendawai juga mendorong Kejaksaan Agung mengusut pelaku lainnya dalam kasus Paniai. Menurut dia, hasil penyelidikan Komnas HAM menyebutkan komandan yang dapat dimintai tanggung jawab dalam peristiwa berdarah Paniai diduga tidak hanya satu orang. “Sehingga peristiwa hukum ini tidak mandek dan terjadi impunitas,” ucapnya.

Menurut dia, dengan hanya satu terdakwa yang diseret dalam kasus ini, kebenaran dan keadilan bagi korban dan masyarakat tidak terungkap. Komnas HAM juga merekomendasikan agar pelaku lapangan turut dibawa ke meja hijau.

Abdul Haris mengatakan keberlanjutan kasus ini, baik di tingkat kasasi maupun penyidikan terhadap terduga pelaku lainnya, sangat penting. Ia menuturkan, bila kasus ini mandek, korban tidak akan mendapat keadilan. Korban juga akan kesulitan mendapatkan pemulihan, kompensasi, ataupun restitusi. “Rehabilitasi akan terhambat bila tidak ada upaya hukum yang berlanjut,” ujarnya.

Ia mengatakan penyelesaian kasus ini penting untuk meyakinkan masyarakat Papua bahwa pemerintah serius dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Selain itu, penyelesaian pelanggaran HAM Paniai akan disorot dunia internasional. “Akan ada perhatian dari masyarakat internasional tentang keseriusan pemerintah dalam penyelesaian kasus HAM ini,” kata dia. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.