NASIONAL

Sidang Kasus Pelanggaran HAM Paniai Tinggal Selangkah Lagi

JAKARTA – Proses penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat di Paniai tahun 2014 telah memasuki babak baru. Satu langkah lagi kasus pelanggaran HAM berat itu masuk ke persidangan karena berkas perkara Paniai telah dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum Direktorat Pelanggaran HAM Berat Kejaksaan Agung.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, Kamis (19/5/2022), mengatakan, berkas perkara tersangka IS dalam perkara pelanggaran HAM yang berat di Paniai tahun 2014 sudah dinyatakan lengkap. Dengan demikian, penyidik sudah diminta menyerahkan tersangka beserta barang buktinya kepada jaksa penuntut umum atau pelimpahan tahap 2.

”Tinggal menunggu tahap 2 dalam waktu dekat dilakukan. Itu untuk menentukan apakah perkara tersebut sudah memenuhi persyaratan dapat tidaknya dilimpahkan ke pengadilan,” kata Ketut.

Kasus Paniai berawal dari insiden antara sejumlah aparat keamanan dan para pemuda kampung di Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Papua, pada pertengahan Desember 2014. Dari hasil penyelidikan Komisi Nasional (Komnas) HAM diketahui, oknum aparat keamanan menganiaya sejumlah warga yang memberikan peringatan karena mengendarai mobil tanpa menyalakan lampu.

Keesokan harinya, masyarakat yang tidak terima berunjuk rasa di pusat kota. Saat berkumpul di Lapangan Karel Gobay, Paniai, mereka dihadang oleh aparat keamanan gabungan yang hendak mengamankan aksi unjuk rasa. Namun, bentrokan kemudian pecah. Aparat menembakkan senjatanya untuk mengendalikan massa. Lima orang meninggal dunia akibat insiden itu. Adapun tiga warga lainnya kritis. Ditambah lagi setidaknya 22 warga terluka.

Setelah melakukan penyelidikan, Komnas HAM menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam insiden tersebut. Hingga pada Februari 2020, Komnas HAM kemudian menyerahkan hasil penyelidikan tersebut kepada Kejaksaan Agung dengan harapan bisa segera ditingkatkan ke penyidikan. Namun, Kejagung justru mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya pada 4 Desember 2021 Kejagung memutuskan membentuk tim penyidik kasus pelanggaran HAM berat di Paniai. Selama hampir 1,5 tahun penyidikan, Kejagung menetapkan satu tersangka berinisial IS.

Menurut rencana, tersangka dan barang bukti akan diserahkan ke jaksa penuntut umum sebelum akhir Mei. Dengan demikian, perkara tersebut dapat segera dibawa ke persidangan.

Menurut Ketut, pengadilan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat di Paniai akan dilaksanakan di Pengadilan HAM Makassar. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengamanatkan Pengadilan HAM berada di empat tempat, yakni Jakarta Pusat, Surabaya, Makassar, dan Medan.

Adapun wilayah Papua tercakup oleh Pengadilan HAM Makassar. ”Rencananya begitu,” ujar Ketut.

Terkait dengan nama lengkap tersangka IS, Kejaksaan Agung belum bisa mengungkapnya saat ini. Ketut beralasan, nama lengkap IS baru akan dibuka di persidangan ketika yang bersangkutan sudah duduk sebagai terdakwa.

Secara terpisah, Kepala Pemantauan Divisi Impunitas Komisi untuk Orang Hilang danKorban Tindak Kekerasan (Kontras) Tioria Pretty berpandangan, berkas perkara tersangka IS yang sudah dinyatakan lengkap tersebut merupakan sebuah kemajuan. Itu berarti tinggal selangkah lagi Pengadilan HAM untuk Peristiwa Paniai disidangkan.

Meski demikian, lanjut Pretty, pihaknya masih mempertanyakan dengan jumlah tersangka yang baru satu orang. Sebab, menurut laporan Komnas HAM, terdapat pelaku lapangan yang jumlahnya belasan orang.

”Semoga ada pelaku lapangan yg nantinya juga dibawa ke pengadilan HAM, termasuk penanggung jawab komando yang melibatkan unsur polisi dan TNI,” kata Pretty.

Di sisi lain, rencana pelaksanaan pengadilan HAM di Makassar juga patut disayangkan. Sebab, Pengadilan HAM Makassar dinilai jauh dari masyarakat Papua. Selain itu, sudah lebih dari dua dekade sejak UU tentang Pengadilan HAM disusun, kapasitas pengadilan-pengadilan negeri di seluruh Indonesia sudah pasti meningkat. Dengan demikian, pengadilan negeri, termasuk di Paniai, dirasa juga mampu menyelenggarakan Pengadilan HAM.

Menurut Pretty, pihaknya berharap pengadilan HAM untuk perkara pelanggaran HAM berat di Paniai tahun 2014 itu dapat memberikan keadilan, termasuk menghukum pelaku. Terlebih, pemerintah tampaknya juga berkeinginan untuk menuntaskan perkara pelanggaran HAM berat di Papua selain Peristiwa Paniai, yakni Wasior dan Wamena.

Meski demikian, lanjutnya, pesimisme itu juga muncul mengingat pengadilan HAM untuk tiga perkara HAM berat yang pernah dilaksanakan sama sekali tidak berhasil menghukum para terduga pelaku. Ketiga perkara HAM berat itu adalah Tanjung Priok, Abepura, dan Timor Timur.

”Seandainya pemerintah mau menunjukkan di hadapandunia internasional bahwa mereka pedulidengan kasus pelanggaran ham berat di Papua, maka kita bisaberharap banyak pada pengadilan HAM ini. Namun, kita belum tahu dakwaan jaksa penuntut umum seperti apa karena dari situ terlihat arah pembuktiannya,” tutur Pretty. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.