Tarif Akses NIK Rp 1.000 untuk Merawat Infrastruktur Dukcapil
JAKARTA – Pemerintah menegaskan penerapan biaya Rp 1.000 untuk mengakses nomor induk kependudukan atau NIK pada data kependudukan merupakan hal yang lumrah. Sebab, tarif tersebut hanya diberlakukan bagi lembaga swasta yang berorientasi profit, bukan lembaga negara dan pelayanan publik.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, penerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), seperti tarif akses NIK Rp 1.000, itu sudah berjalan lama. Misalnya, PNBP untuk pembuatan surat izin mengemudi (SIM), perpanjangan surat tanda nomor kendaraan (STNK), pelat kendaraan bermotor, pembuatan paspor, dan sebagainya.
Pertimbangan penerapan tarif Rp 1.000 itu disebut untuk menjaga sistem Dukcapil tetap hidup. Selain itu, juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan akurasi data. PNBP juga akan dimanfaatkan untuk perawatan dan peremajaan infrastruktur server dan penyimpanan di Ditjen Dukcapil.
”Sebab, beban pelayanan semakin bertambah, jumlah penduduk dan jumlah lembaga pengguna yang dulu hanya 30 sekarang menjadi 5.010 lembaga yang sudah kerja sama. Namun, anggaran APBN terus turun,” ujar Zudan melalui keterangan tertulis, Sabtu (16/4/2022).
Zudan menekankan, sektor usaha yang akan dibebankan tarif akses NIK adalah sektor swasta yang berorientasi pada profit, seperti lembaga perbankan, asuransi, pasar modal, sekuritas. Sementara untuk kementerian, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga pelayanan publik, seperti BPJS Kesehatan, RSUD, tetap digratiskan.
”Hak akses ini hanya untuk lembaga berbadan hukum. Tidak ada akses yang diberikan kepada perorangan,” imbuh Zudan.
Ditjen Dukcapil juga tidak akan menerapkan target dari tarif PNBP itu. Menurut Zudan, pada hakikatnya, tarif diterapkan tidak untuk mencari pendapatan. Tarif hanya sebagai tambahan bagi APBN agar sistem Dukcapil tetap terjaga untuk memberikan pelayanan. PBNP akan dimanfaatkan sepenuhnya untuk perawatan dan peremajaan infrastruktur server dan penyimpanan bagi masyarakat dan lembaga pengguna.
Sebelumnya, saat masih menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR, Luqman Hakim pun mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk menjadikan kerja sama pemanfaatan data kependudukan sebagai bagian dari tambahan pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
”Kalau belum ada, PNBP penting untuk dipikirkan, Pak Mendagri. Setahu saya, beberapa pihak memanfaatkan data kependudukan ini adalah institusi komersial, misalnya perbankan. Mereka ada keuntungannya dari pemanfaatan data ini. Kalau belum ada PNBP, sebaiknya segera diurus agar itu menambahi pendapatan negara kita,” kata Luqman, beberapa waktu lalu.
Tidak tepat
Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan, walaupun sudah lumrah, masyarakat tetap akan mempertanyakan kebijakan penarikan tarif akses NIK tersebut. Pertama, karena akses NIK sekarang digunakan dalam berbagai platform pelayanan publik. Kedua, penerapan tarif itu terjadi pada saat harga bahan pokok, gas, minyak goreng, bensin semuanya naik. Masyarakat tentu akan merasa semakin terbebani. Sebab, walaupun tarif itu dikenakan pada sektor swasta, ada kemungkinan itu akan berdampak pada biaya layanan yang dibebankan kepada publik.
”Seharusnya dikaji dulu sebelum diterapkan karena ini menimbulkan pertanyaan publik. Kalau uangnya digunakan untuk perawatan server dan penyimpanan, bukankah itu sudah dianggarkan sejak awal sistem direncanakan? Bukankah perawatannya juga seharusnya dianggarkan di APBN? Ini harus diperjelas lagi sebelum diterapkan,” ujar Trubus.
Trubus menambahkan, yang menjadi pertanyaan lain, mengapa hanya akses NIK saja dibebankan biaya Rp 1.000. Idealnya, sebelum menerapkan tarif, Kemendagri berkonsultasi terlebih dulu terhadap publik. Jangan sampai publik merasa terbebani karena biaya hidup akhir-akhir ini sudah melonjak karena harga minyak goreng, gas, bensin sudah naik.
”Kemendagri harus lebih transparan kepada publik. Jangan tiba-tiba menerapkan kebijakan yang seolah-olah mematok tarif kepada rakyat di masa sulit,” kata Trubus.
Pemanfaatan data pribadi
Terkait dengan akses NIK kepada pihak ketiga, menurut Zudan, hal itu diklaim tidak melanggar prinsip kerahasiaan data pribadi. Akses NIK diklaim hanyalah jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan. Itu tidak sama dengan penjualan data pribadi bagi penduduk. Dukcapil hanya memberikan verifikasi data seseorang dengan notifikasi sesuai atau tidak sesuai dari data yang dimanfaatkan oleh lembaga pengguna. Adapun semua lembaga pengguna data Dukcapil sudah memiliki data nasabah atau calon nasabah sebelumnya.
”Lembaga pengguna bisa memverifikasi data seseorang dengan akurat, aman, dan valid. Misalnya, untuk mencocokkan data dengan milik Dukcapil, apakah orang itu masih hidup, sesuai alamatnya, atau tidak,” katanya.
Sektor swasta yang memanfaatkan akses data kependudukan juga tidak bisa sembarangan. Mereka harus melalui berbagai tahapan atau persyaratan. Di antaranya adalah bekerja sama, baik nota kesepahaman (MoU), sistem proof of concept (PoC), menandatangani non-disclosure agreement (NDA), maupun surat pertanggungjawaban mutlak (SPTJM), untuk mematuhi kewajiban menjaga dan melindungi data.
”Lembaga pengguna data tidak boleh memindahtangankan data walaupun sudah tidak bekerja sama atau dikenal dengan istilah zero data sharing policy. Para lembaga pengguna juga harus siap mengikuti ketentuan regulasi yang berlaku,” ujar Zudan. (KOM)