Transformasi Digital Perlu Ada dalam Undang-undang
JAKARTA — Maraknya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa membuat Rancangan Undang-Undang Pengadaan Barang dan/atau Jasa Publik semakin mendesak untuk segera disahkan. Salah satu yang perlu dimuat dalam regulasi tersebut adalah transformasi digital pada proses pengadaan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang 2004 hingga 2022 telah menangani 1.351 kasus korupsi. Dari jumlah tersebut, 277 kasus atau 20 persen merupakan kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Terakhir, pada 26 Juli 2023, KPK melakukan operasi tangkap tangan terkait suap proyek pengadaan barang/jasa di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).
Melihat maraknya kasus korupsi di dalam pengadaan barang dan jasa, Undang-Undang Pengadaan Barang dan/atau Jasa (PBJ) Publik sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya korupsi di sektor tersebut. Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar, Puteri Anetta Komarudin, mengatakan, RUU ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 sebagai usulan inisiatif pemerintah. Oleh karena itu, draf RUU dan naskah akademiknya dipersiapkan oleh pemerintah.
“Sampai saat ini, kami belum menerima surat presiden terkait RUU (PBJ) ini. Makanya, kami menunggu surpres tersebut untuk kemudian ditindaklanjuti ke dalam mekanisme pembahasan di DPR,” kata Puteri di Jakarta, dilansir Kompas, Rabu (23/8/2023).
Puteri berharap, RUU ini menjadi bagian dari upaya pemberantasan korupsi yang sebagian besar berasal dari pengadaan barang/jasa. RUU ini dibutuhkan untuk memastikan belanja pengadaan terlaksana secara transparan dan akuntabel, serta mengantisipasi risiko penyelewengan pada setiap proses bisnis pengadaan.
Secara terpisah, dalam forum diskusi publik bertajuk “Urgensi Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa Publik” yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta, Direktur Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengadaan Umum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Emin Adhy Muhaemin mengungkapkan, isu utama yang dibahas pada awal RUU ini dirancang terkait dengan pencegahan korupsi.
“Kalau dibaca naskah akademiknya, isu transparansi itu mengambil jatah sekian persen dari isu yang ada di RUU tahun 2016. Kalau di hari ini, kita memang tadi transparansi nomor satu, tetapi yang paling depan justru adalah PDN (produk dalam negeri),” kata Emin.
Emin mengatakan, produk dalam negeri menjadi isu terdepan untuk dibahas karena berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Adapun terkait antikorupsi, berbagai regulasi sudah dikeluarkan, tetapi tetap ada yang memanfaatkan celah dari regulasi tersebut.
Oleh karena itu, LKPP mendorong proses pengadaan barang dan jasa dilakukan secara lebih transparan seperti menggunakan sistem tender dan katalog. LKPP mendorong transformasi digital dapat masuk di dalam RUU PBJ yang di dalamnya menyangkut soal sistem, standardisasi, dan integrasi.
Menurut Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko, setidaknya ada lima pokok masalah yang diangkat dalam RUU PBJ, yakni penggunaan produk dalam negeri; keterlibatan usaha kecil, mikro, dan koperasi; serta transformasi digital dalam pengadaan. Selain itu, kebijakan umum pengadaan dan penyelesaian sengketa agar bisa efektif serta efisien.
Wawan berharap, UU PBJ bisa disahkan pada pengujung tahun 2023. Apalagi, RUU ini sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023 dan pembahasan oleh DPR.
TII bersama sejumlah masyarakat sipil dari beberapa daerah memberikan masukan pada pemerintah dan DPR terkait proses RUU PBJ, di antaranya advokasi RUU PBJ menjadi UU PBJ dan produk regulasi turunannya agar memberikan jaminan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi, responsif, dan bebas dari konflik kepentingan.
Konsolidasi pengadaan barang dan jasa mencakup pada semua keuangan negara, termasuk di dalamnya badan usaha milik negara/daerah, badan layanan umum (BLU)/BLU daerah, swasta, koperasi, dan yayasan. Proses digitalisasi PBJ perlu diekstensifikasi pada ketersambungan dengan ekosistem data dan informasi pendukung lainnya.
Masyarakat sipil diharapkan dapat memantau secara mandiri pengadaan barang dan jasa di setiap wilayah guna mencegah terjadinya korupsi. Di sisi lain, kata Wawan, LKPP, Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa, pemerintah, aparat pengawas intern pemerintah (APIP), dan penegak hukum harus responsif.
Ketua Dewan Pengurus Pusat Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia Sonny Sumarsono mengungkapkan, ia dilibatkan dari aspek teknis untuk membahas RUU ini sekitar sepuluh tahun lalu, tetapi kandas. Ia kembali dilibatkan pada pembahasan kedua dalam membuat naskah akedemik, sosialisasi ke sejumlah daerah, sampai sinkronisasi kebijakan, tetapi kembali kandas.
Menurut Sonny, kandasnya RUU ini disahkan karena lebih banyak pertimbangan politis. Dia melihat saat ini LKPP cukup masif dalam membahas RUU ini dengan melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas. Ada harapan RUU ini tidak hanya menjadi target legislatif saja, tetapi juga harus mempertimbangkan implementasinya. (KOM)