WhatsApp, Google, dan Facebook Terancam Diblokir
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang PSE Lingkup Privat akan berlaku efektif mulai Rabu, 20 Juli 2022. Artinya, sebelum masa itu, Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) asing harus sudah mendaftarkan diri. Jika tidak, Kominfo akan memblokir akses PSE tersebut. Hingga informasi ini ditulis, WhatsApp, Google, dan Facebook diketahui belum mendaftarkan diri.
Pemerintah Indonesia kembali mewanti-wanti Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) asing untuk segera mendaftarkan diri. Sebab, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang PSE Lingkup Privat akan berlaku efektif mulai Rabu, 20 Juli 2022.
Awalnya, PSE Lingkup Privat asing di Indonesia diminta mendaftarkan diri paling lambat Mei 2021. Kominfo kemudian memperpanjang masa waktu pendaftaran hingga Desember 2021. Apabila tidak dilakukan, Kominfo dapat memblokir layanan milik PSE tersebut.
“PSE lingkup privat domestik maupun asing yang tidak melakukan pendaftaran hingga tanggal 20 Juli 2022 akan dilakukan pemutusan akses oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika,” kata juru bicara Kementerian Kominfo, Dedy Permadi melalui siaran pers resmi.
Tenggat waktu pendaftaran PSE tersebut didasarkan pada dua rujukan aturan. Pertama, Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Kedua, Pasal 47 Permenkominfo 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat dan perubahannya, yaitu Permenkominfo Nomor 10 Tahun 2021.
Dedy menjelaskan, kedua regulasi tersebut mengamanatkan PSE Lingkup Privat, baik domestik dan asing, melakukan pendaftaran paling lambat 6 bulan sejak sistem online single submission-risk based approach (OSS-RBA) beroperasi. Pendaftaran PSE melalui sistem OSS-RBA itu efektif berlaku sejak 21 Januari 2022. Apabila tak dipenuhi, pemerintah akan memberikan sanksi berupa pemblokiran akses.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat 2 Permenkominfo 5/2020 yang berbunyi, “Dalam hal PSE Lingkup Privat tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Menteri memberikan sanksi administratif berupa pemutusan akses terhadap Sistem Elektronik (access blocking)”.
Dedy menjelaskan, kewajiban pendaftaran PSE dibuat demi menciptakan ruang digital yang sehat di Indonesia serta mewujudkan sistem terkoordinasi untuk seluruh PSE yang beroperasi di Indonesia. “Bayangkan jika Indonesia tidak memiliki sistem pendaftaran, seluruh PSE beroperasi tanpa ada pengawasan, koordinasi, dan pencatatan. Efeknya, jika terjadi pelanggaran hukum di wilayah hukum Indonesia, kita akan kesulitan koordinasi dengan PSE,” ujar Dedy.
Apa itu PSE Lingkup Privat?
Dalam Permenkominfo 5/2020 itu, Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat didefinisikan sebagai penyelenggaraan Sistem Elektronik oleh orang, badan usaha, dan masyarakat. Sistem Elektronik yang wajib didaftarkan antara lain portal atau situs, dan aplikasi dalam jaringan yang dijalankan dengan internet.
Artinya, PSE Lingkup Privat seperti Google, Facebook, Instagram, WhatsApp, TikTok, Twitter, dan platform digital lainnya wajib untuk mendaftarkan diri di Indonesia. Dilansir dari laman PSE Kominfo, sejumlah nama-nama PSE Lingkup Privat besar domestik sudah terdaftar di laman PSE Kominfo. Yakni OVO, Blibli, Telkomsel, Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan lainnya.
Sedangkan ditilik dari daftar PSE Asing di laman situs Kominfo, terdapat 75 PSE yang sudah terdaftar di Kementerian Kominfo. Dari puluhan perusahaan PSE ternama tersebut, baru TikTok, Spotify, Linktree, dan Shareit, yang mendaftar. Nama-nama PSE Lingkup Privat besar lainnya seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, Google, Netflix, Twitter, Telegram, Zoom, dan YouTube, belum masuk dalam daftar.
Kebebasan berekspresi versus kepentingan bisnis lokal
Sejumlah pengamat menilai Permenkominfo 5/2020 ini mengandung konsekuensi pro dan kontra, mulai dari sisi kebebasan berekspresi hingga kepentingan melindungi industri media lokal di Indonesia. Pengamat keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, sepakat dengan isi aturan tersebut asalkan dilaksanakan dengan transparan. “Kalau tidak, negara akan jadi bulan-bulanan dari raksasa teknologi yang menjalankan aktivitasnya demi profit dan sering bertindak arogan di atas negara,” ujar Alfons, Selasa, 25 Mei 2021
Hal ini berkaca dari kasus perseteruan antara pemerintah Australia dengan Facebook. Pemerintah Australia mengesahkan undang-undang pertama di dunia yang bertujuan membuat Google dan Facebook membayar konten berita di platform mereka. Undang-undang News Media Bargaining Code itu disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Australia dan dinilai sebagai yang pertama di seluruh dunia
Komisi Persaingan dan Konsumen Australia (Australian Competition and Consumer Commission) mengatakan bahwa sampai sekarang penerbit memiliki sedikit kekuatan negosiasi lantaran sangat bergantung pada monopoli perusahaan teknologi seperti Google dan Facebook.
Di sisi lain, Southeast Asia Freedom of Expression Network atau Safenet justru mengkritik berlakunya peraturan yang diteken Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate pada 16 November 2020 itu. Peneliti Safenet, Nenden Sekar Arum, menerangkan aturan tersebut justru bisa membahayakan kebebasan media massa. Pemerintah, kata dia, bisa memutus akses media massa karena pemberitaan yang dibuat.
“Dalam konteks media, kewenangan pembatasan ini memungkinkan adanya permohonan pemutusan akses kepada si media itu, misalnya karena pemberitaan yang dihasilkan,” kata Nenden, Senin, 24 Mei 2021.
Aturan itu bisa melampaui Undang-Undang yang selama ini mengatur media massa, yaitu Undang-Undang Pers. Sebab dalam UU Pers, setiap masalah yang terkait dengan produk jurnalistik seharusnya cukup diselesaikan melalui Dewan Pers. (*)