EKONOMIInforialPOLITIK & HUKUM

KPK: Izin Kebun Sawit di Papua Barat Belum Operasi Bisa Dicabut

MANOKWARI, PB News – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan, dari hasil evaluasi perizinan perusahaan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat bersama 11 lembaga terkait, terungkap bahwa mayoritas perusahaan itu belum beroperasi. Terdapat wilayah-wilayah konsensi yang secara legal berpotensi dicabut perizinannya.

“Belum beroperasi artinya perizinan yang diperoleh masih belum lengkap dan belum melakukan penanaman. Pencabutan izin bisa dilakukan karena sejumlah perusahaan di wilayah konsensi melakukan pelanggaran kewajiban berdasarkan perizinan yang diperoleh, khususnya Izin Usaha Perkebunan,” kata Marwata dalam sesi conference pers, Kamis siang (25/2/2021) di Kantor Gubernur Papua Barat.

Evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit di Papua Barat dilakukan kepada 24 perusahaan pemegang izin. Perusahaan-perusahaan itu tersebar di delapan kabupaten, yaitu Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Manokwari, Manokwari Selatan, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Maybrat dan Kabupaten Fakfak.

Puluhan perusahaan itu memiliki total wilayah konsesi seluas 576.090,84 hektare. Dari total luas wilayah tersebut, terdapat 383.431,05 hektare yang masih bervegetasi hutan dan bisa diselamatkan, dalam konteks penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA).

Apalagi, lanjut Marwata, sejumlah perusahaan itu ada yang belum melakukan pembukaan lahan dan penanaman sama sekali, sehingga terbuka kesempatan untuk dapat menyelamatkan tutupan hutan di Tanah Papua.

“Jangan sampai di balik pelanggaran kewajiban tersebut, ada unsur tindak pidana korupsi dan pemberi izin melakukan pembiaran dan tidak menegakkan sanksi sebagaimana mestinya,” ujar Marwata.

Untuk itu, berdasarkan hasil evaluasi, tim kemudian memberikan rekomendasi kepada para bupati sebagai pemberi izin dan juga rekomendasi perbaikan tata kelola perizinan perkebunan kelapa sawit kepada kementerian atau lembaga terkait.

Secara kelembagaan, kata Marwata, KPK mendorong pelaksanaan rekomendasi hasil evaluasi perizinan. Sebab, menurutnya, evaluasi tersebut merupakan awalan yang baik untuk perbaikan tata kelola sawit, dan akan semakin berdampak jika komitmennya dilanjutkan sesuai dengan rekomendasinya.

Dia berharap, evaluasi tim tak hanya dilakukan pada perizininan perusahaan kelapa sawit saja, namun juga diperluas ke evaluasi izin-izin sektor lain yang berbasis lahan (land based). “Pemanfaatan ruang yang bisa mengoptimalkan pendapatan daerah dan negara tidak harus mengorbankan lingkungan apalagi dibaliknya ada perilaku koruptif,” kata Marwata.

Sementara, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan mengatakan, bahwa evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit itu, telah dimulai sejak Juli 2018 lalu. Evaluasi berlandaskan pada tiga instrumen kebijakan.

Di antaranya adalah Deklarasi Manokwari, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit (Moratorium Sawit), dan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA).

“Ini adalah upaya Pemerintah Papua Barat dalam perlindungan hutan dan perbaikan tata kelola dalam memaksimalkan upaya pemanfaatan SDA yang berkelanjutan, lestari, dan berpihak kepada masyarakat adat,” kata Dominggus.

Ia berharap, tindak lanjut dari proses evaluasi tersebut bisa mendorong peran masyarakat adat secara signifikan dalam pengelolaan SDA di Papua Barat. Dan dapat melihat hasil konkrit dari terlaksananya evaluasi perizinan tersebut.

“Potensi lahan yang dapat diselamatkan dari hasil evaluasi perizinan ini akan kami dorong untuk dikelola oleh masyarakat adat berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan,” kata Dominggus.

Kepala Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebunan (PTHBun) Papua Barat Yacob Fonataba menambahkan, bahwa dari 576 ribu hektar yang tersebar di delapan kabupaten, hanya sekitar 71 ribu hektar lebih saja yang difungsikan sebagai perkebunan kelapa sawit.

“Selisih jauh. Selain itu, hasil evaluasi perizinan antara kita dengan KPK selama kurun waktu dua tahun terakhir ini menemukan lahan seluas 2.224 hektar berada diluar ketentuan fungsi, dan itu sudah direkomendasikan untuk dicabut,” kata Fonataba. (PB13)

Berita ini telah terbit di harian Papua Barat News edisi Jumat 26 Februari 2021

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: