Masyarakat Diminta Lapor Ombudsman Terkait Kasus Mega Proyek JLW
MANOKWARI, PB News – Kepala Ombudsman RI perwakilan Papua Barat Musa Sombuk meminta masyarakat, khususnya di Kabupaten Raja Ampat, untuk membuat laporan resmi kepada Ombudsman terkait indikasi dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Jalan Lingkar Waigeo (JLW). ,
Proyek pembangunan senilai Rp122 miliar itu, sebelumnya diadukan oleh Aliansi Raja Ampat Bersatu (ARAB) kepada jajaran Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat pada Rabu (17/2/2021). Mega proyek APBN Tahun Anggaran 2013, 2014 dan 2015 itu, diduga telah menyalahi prosedur kawasan konservasi dan pelepasan hak asat, serta terindikasi dikorupsi.
“Persoalan tersebut kalau dilaporkan ke Ombudsman, pasti akan kita tindak lanjuti kepada pimpinan mereka (Aparat Penegak Hukum), mempertanyakan kejelasan, kenapa dan ada apa, masalahnya apa, semua itu pasti akan terselesaikan,” kata Sombuk di Manokwari, Selasa (23/2/2021).
Dijelaskannya, masyarakat perlu untuk mengetahui, bahwasanya proses penanganan masalah yang tidak terselaikan seperti pembebasan lahan, proyek mangkrak, kasus korupsi lama yang proses penyidikan maupun penyidikannya tidak pernah tuntas dan bahkan tidak diterbitkan SP3, dapat dilaporkan kepada pihaknya.
Lebih lanjut, ungkap Sombuk, laporan masyarakat yang kemudian ditindaklanjuti oleh Ombudsman, namun selama dalam masa penanganan dengan tengat waktu yang diberikan juga masih tidak juga terselesaikan, maka si pemimpin akan dianggap tak becus dalam bekerja. konsekuensinya, ialah pengganti jabatan.
“Sederhana, lapor kami (Ombudsman) dan kami akan telusuri macetnya dimana, kita lapor Kapolda. Jika masih juga tidak terselesaikan, kita laporkan lagi kepada Kapolri. Ingat, ini Kapolri baru dengan program prioritas, dimasa 100 hari kerja,” ujar Sombuk. “Jangan anggap remeh publik. Penyelidikan yang tidak selesai itu cukup dijelaskan, bukan disembunyikan,” katanya lagi.
Laporan ARAB
Berdasarkan informasi yang diperoleh Papua Barat News, dalam laporan ARAB itu, mengungkap bahwa kasus mega proyek JLW sebenarnya sempat berada ditataran tingkat nasional pada 2016 silam, yaitu berada dalam penanganan Kepolisian Daerah (Polda) Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sayang, status hukum kasus tersebut tidak jelas hingga saat ini.
“Sampai sekarang perkembangan kasus JLW tidak jelas, dan tidak ada yang bertangungjawab atas itu, tenggelam. Untuk itu, kami laporkan JLW ke Kejati. Paling tidak Kejati bisa koordinasi dengan Polda, untuk memperjelas perkembangan penanganan kasus JLW,” kata Ketua Gerakan Rakyat Demokratik (GRD) mewakili ARAB.
Terpisah, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Papua Barat Billy Wuisan yang dikonfirmasi, mengaku pihaknya telah menerima laporan tersebut, tetapi proses yang dilakukan hanya akan sebatas koordinasi. Sebab, kasus JLW telah lebih dulu ditangani oleh penyidik Polda Papua Barat.
Dijelaskannya, sebuah lembaga penegakan hukum tak diperkenankan untuk menangani sebuah kasus korupsi dalam konteks yang sama. Apalagi telah dibuat Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Kejaksaan Agung (Kejagung), KPK dan Polri dalam hal penanganan pemberantasan kasus tindak pidana korupsi.
“Kami hanya akan koordinasikan Laporan Pengaduan (Lapdu) itu kepada Polda, karena mereka yang sudah lebih dulu menangani. Intinya koordinasi saja dulu, kedepannya seperti apa itu kita belum tahu. Nantilah dilihat,” ujar Wuisan
Sebelum mengadukan persoalan itu kepada penyidik Kejati Papua Barat, ARAB telah lebih dulu mendatangi Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB). Mereka menyerahkan aspirasi dan petisi berupa dukungan kepada lembaga kultural tersebut, untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai anak adat.
Sekretaris ARAB Niko Ramandey megungkap, bahwa banyak persoalan terjadi di Raja Ampat selama lima tahun terakhir, termasuk derita masyarakat adat yang tak pernah mendapat ganti rugi sejak mega proyek JLW mulai dikerjakan pada 2013 silam.
Dimana beberapa lokasi sudah gundul, tercemarnya air laut serta tidak adanya penghormatan, perlindungan dan penghargaan bagi hak-hak masyarakat adat disekitar wilayah lokasi pembukaan akses jalan. Beberapa situs keramat pun rusak akibat pembangunan tersebut.
“Kami meminta MRPB menyelesaikan berbagai persoalan terkait hak masyarakat adat, karena sejak lima tahun terakhir ini banyak sekali persoalan terjadi di Raja Ampat. Hak-hak kami tidak pernah diselesaikan,” kata Ramandey.
Selain ARAB, laporan serupa pernah dilayangkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan pemuda Raja Ampat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016 silam. Laporan dilayangkan menyusul terjadinya kerusakan lingkungan ribuan hektare hutan konservasi dan situs purba.
Sebagai informasi, mega proyek JLW dikerjakan oleh PT. Kalanafat Putera menggunakan dana APBN selama tiga tahun mata anggaran, yakni 2013, 2014 dan 2015; dengan total anggaran mencapai lebih dari Rp122 miliar lebih.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada kejelasan dari pihak Ditreskrimsus Polda Papua Barat perihal penyelidikan mereka. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Adam Erwindi pun mengaku masih mengkoordinasikan kasus JLW dengan Ditreskrimsus. (PB13)
Berita ini telah terbit di harian Papua Barat News edisi Rabu 24 Februari 2021