Wacana

Akurasi Hasil Survei Calon Presiden

PREDIKSI cuaca dan jajak pendapat calon presiden tampak berbeda, tapi sebenarnya mirip. Keduanya menghasilkan informasi dini tentang suatu kejadian. Informasi semacam ini amat vital bagi berbagai aktivitas manusia. Seorang pilot membutuhkan informasi perkiraan cuaca di bandar udara yang akan didarati pesawatnya beberapa jam ke depan untuk mengatur strategi pendaratan yang aman. Seorang petani menggunakan informasi iklim musiman untuk mengatur strategi penanaman, menentukan varietas tanaman, serta mengelola air dan pupuk yang tepat agar hasil panennya sesuai dengan harapan.

Saat ini, kita dihadapkan pada suatu taruhan berisiko tinggi dengan semakin mendekatnya pemilihan presiden 2024. Sang pemimpin mendatang akan menerima amanah yang bakal menentukan apakah bangsa ini akan semakin dekat kepada cita-citanya atau terpuruk semakin dalam. Itulah sebabnya, sebelum menjatuhkan pilihan, kita ingin mendapat informasi dini yang akurat dan komprehensif tentang sang calon pemimpin, baik tentang rapor kepemimpinannya di masa lalu maupun tingkat keterpilihannya (elektabilitas) sebagai pemimpin menurut pandangan sejumlah kecil (sampel) anggota masyarakat. Kerja terakhir inilah yang dilakukan lembaga survei politik.

Eksistensi Lembaga Survei

Informasi mengenai tingkat elektabilitas atau keterpilihan calon pemimpin disediakan oleh lembaga survei melalui jajak pendapat. Dengan metode pengambilan sampel tertentu, lembaga survei menyajikan secara berkala elektabilitas sejumlah calon. Ada dua tujuan yang diharapkan tercapai dari paparan itu. Pertama, masyarakat memilih kandidat dengan keterpilihan tertinggi (bandwagon effect), sebagaimana diuraikan C. Marsh dalam “Back on the Bandwagon: The Effect of Opinion Polls on Public Opinion” di British Journal of Political Science pada 1985.

Kedua, dengan menggunakan teknik tertentu, masyarakat dapat melihat bahwa jajak pendapat antara satu lembaga dan lembaga lain berbeda signifikan dengan tingkat kesalahan yang rendah. Hal ini, misalnya, ditunjukkan Green dkk. dalam “Tracking Opinion Over Time: A Method for Reducing Sampling Error” di The Public Opinion Quarterly pada 1999.

Itulah sebabnya negara kita mengakui keberadaan lembaga survei sebagai salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum melalui jajak pendapat. Ini terlihat dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, menurut regulasi tersebut, lembaga survei wajib menyebutkan sumber pendanaan dan metodologinya untuk kegiatan hitung cepat (quick count). Lembaga itu juga bisa dipidana bila mengeluarkan hasil jajak pendapat pada masa tenang.

Untuk memfasilitasi aspirasi yang berkembang di masyarakat saat ini, aturan tersebut sebaiknya lebih diperketat dalam tiga hal. Pertama, keterbukaan tentang sumber pendanaan dan metodologi juga diberlakukan pada jajak pendapat, tidak hanya untuk hitung cepat. Kedua, perlu ditimbang pemberlakuan pidana jika jajak pendapat itu terbukti melanggar metodologinya. Ketiga, hasil jajak pendapat harus dapat diakses masyarakat.

Salah Sampel

Keberhasilan hasil jajak pendapat amat ditentukan dari pemilihan sampel ketika survei dilakukan. Lembaga survei memang berhak memilih metode survei yang akan digunakan. Metode ini terkait dengan siapa dan berapa jumlah orang (sampel) yang akan disurvei serta berapa tingkat kesalahan (margin error) yang diharapkan dari jajak pendapat ini dibanding hasil nyata pemilihan kelak. Metode survei ini ada dasar pijaknya dalam ilmu statistik.

Jika kegiatan ini berbasis ilmu, semestinya hasil jajak pendapat itu sesuai dengan kenyataan. Namun yang terjadi tidak selalu demikian. Sejumlah lembaga survei di Indonesia pernah mendapat rapor beraneka warna (merah, kuning, dan biru) berdasarkan hasil jajak pendapatnya. Salah satu contohnya adalah melesetnya hasil jajak pendapat dalam memprediksi hasil pemilihan kepala daerah DKI Jakarta pada 2017.

Kesalahan jajak pendapat juga dapat ditemukan di negara lain. Namun, berbeda dengan kita, kesalahan semacam ini mereka tanggapi dengan serius.

Negara-negara demokrasi, seperti Amerika Serikat dan Inggris, pernah mengalami hasil jajak pendapat yang berbeda (error) dengan hasil pemilihan. Negara-negara ini juga berupaya menemukan faktor penyebab penyimpangan tersebut. Misalnya, dalam persaingan antara Harry S. Truman dan Thomas E. Dewey pada pemilihan Presiden Amerika 1948. Berbagai survei menunjukkan bahwa Dewey akan menang mutlak, maka Chicago Daily Tribune memasang kepala berita Dewey Mengalahkan Truman ketika penghitungan suara resmi belum selesai. Ternyata Truman-lah yang kemudian menjadi pemenang. Penyebab anomali ini adalah sampel jajak pendapat yang dilakukan via telepon itu ternyata didominasi orang-orang kaya pendukung Dewey yang memiliki telepon.

Contoh lainnya adalah persaingan antara Barack Obama dari Partai Demokrat dan Mitt Romney dari Partai Republik pada 2012. Romney diprediksi menang karena jajak pendapat setelah debat mengunggulkan dirinya. Nyatanya, Obama-lah yang akhirnya tampil sebagai pemenang.

Penyebab melesetnya prediksi survei itu adalah sampel yang digunakan didominasi oleh suara Republiken. Rupanya, para Republiken pendukung Romney lebih antusias merespons jajak pendapat via telepon dibanding para Demokrat pendukung Obama. Pendukung Obama tak bersemangat lagi merespons survei karena penampilan buruk kandidatnya dalam debat.

Kesalahan serupa dijumpai juga dalam pemilihan umum parlemen di Inggris pada 2015. Hasil jajak pendapat sebelum pemilihan menunjukkan persaingan ketat antara Partai Konservatif dan Partai Buruh. Pada kenyataannya, Partai Konservatif menang dengan menguasai 330 dari 650 kursi parlemen.

Adanya perbedaan hasil jajak pendapat dan hasil pemilu Inggris ini menyebabkan dibentuknya tim yang dipimpin Patrick Sturgis, guru besar ilmu sosial kuantitatif di London School of Economics and Political Science. Hasil penyelidikan tim ini menemukan, antara lain, adanya dominasi pendukung Partai Buruh dalam sampel survei.

Pengarsipan

Bertolak dari dugaan peningkatan kesalahan dalam jajak pendapat, Will Jennings dari University of Southampton, Inggris, dan Christopher Wlezien dari University of Texas, Amerika, berkolaborasi untuk menelitinya. Mereka memeriksa akurasi spasio-temporal survei dalam 30.916 jajak pendapat nasional pada 351 pemilihan umum presiden dan legislatif di 45 negara selama 1942-2017. Mereka menemukan, antara lain, bahwa kesalahan jajak pendapat berkurang jika dilakukan menjelang hari-H pemilihan. Hasil riset mereka dipublikasikan di jurnal Nature Human Behaviour pada 2018 dan datanya dapat diakses di Harvard Dataverse.

Berdasarkan temuan Jennings dan Wlezien tersebut, para penyedia informasi jajak pendapat, seperti lembaga survei dan polster, kemudian menyediakan semua hasil jajak pendapatnya agar dapat diakses secara terbuka di situs web mereka. Hal semacam ini telah dicontohkan oleh situs FiveThirtyEight.

Hal serupa dilakukan oleh institusi keikliman dunia, seperti El Niño Southern Oscillation yang menyediakan prediksi musiman dari berbagai institusi ternama di dunia yang dikoleksi secara baik dan dapat diakses secara bebas oleh publik. Kehadiran situs-situs yang menyajikan informasi hasil jajak pendapat ataupun prediksi iklim ini beserta hasil evaluasi akurasi prediksinya diharapkan dapat membantu para pengguna membuat suatu keputusan yang tepat. (*)

 

Halmar Halide, Guru Besar Hidrometeorologi Departemen Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin Makassar

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.