Antibudaya dalam Demokrasi Kita
BISAKAH politik kita berjalan tanpa politik uang? Jawabnya membentang di antara bisa dan tidak bisa. Di atas semua itu, ikhtiar untuk menjawab pertanyaan ini ranahnya ialah budaya demokrasi.
Membahas budaya demokrasi dalam konteks pemilu sebagai pesta demokrasi akbar 2024 merupakan hal yang mendasar. Pemilu sebagai implementasi demokrasi substansial merupakan indikator utama negara demokrasi bergerak maju atau mundur.
Pemilu itu jantungnya negara demokrasi modern. Kesehatannya perlu terus-menerus dijaga. Pembuluh darah demokrasi kita tak boleh tersumbat oleh perilaku antibudaya.
M Dawam Rahardjo pernah melontarkan kontradiksi dalam kalimat ”budaya korupsi” atau ”korupsi yang membudaya”. Kalimat itu tidak tepat, justru karena korupsi itu perbuatan yang antibudaya. Budaya dan kebudayaan berkonotasi mulia. Budaya menopang hadirnya peradaban tinggi.
Tak ada budaya rendah, semua budaya ialah budaya tinggi. Budaya bukan sekadar kebiasaan yang netral, tetapi melekat di dalamnya sesuatu yang adiluhung atau mulia. Barangkali pengertian semacam ini segera menghadirkan pendapat berbeda. Namun, tulisan ini sepakat dengan pendapat tersebut.
Merujuk pada itu, budaya demokrasi ialah perilaku yang mengutamakan nilai-nilai atau substansi demokrasi yang adiluhung. Sudah lazim mengemuka dalam berbagai orientasi kepemimpinan dan politik, pemahaman demokrasi diberangkatkan pada nilai-nilai atau substansinya.
Demokrasi substansial lebih mendasar ketimbang prosedural. Demokrasi substansial merentangkan sejumlah nilai atau prinsip mulia, seperti egalitarianisme, antidiskriminasi, menghargai perbedaan, menjunjung tinggi HAM, antiotoritarianisme, antikorupsi, hingga kesetaraan di muka hukum.
Politik uang
Sudah menjadi kesan umum, praktik pemilu di Indonesia pada era Reformasi pasca-1998 bernuansa transaksional. Praktik politik uang telah dianggap sebagai kelaziman. Banyak penelitian yang mengulas konteks mahalnya ongkos politik, dalam pengertian tidak saja dalam konteks biaya administrasi kepemiluan, tetapi lebih pada konteks politik uang.
Fenomena pragmatisme transaksional pernah mengemuka pada sinyalemen Nurcholish Madjid di masa lalu bahwa banyak yang menganggap ”gizi” lebih penting dari visi. Yang dimaksud ”gizi” ialah uang. Politik transaksional juga populer dengan sebutan ”politik wani piro”, alias ”berani bayar berapa”.
Siapa yang memulai praktik politik uang, elite yang berkontestasi atau masyarakat yang memiliki hak pilih? Pertanyaan ini mirip lebih dulu telur atau ayam? Elite mengeluh, rakyatlah yang memulai transaksi politik uang dalam pemilu. Sebaliknya, masyarakat menganggap elitelah yang memulai.
Serangan fajar, yang pada mulanya adalah istilah populer yang menandai peristiwa serangan umum yang bersejarah di Yogyakarta pada era revolusi fisik akhir 1940-an, berubah maknanya menjadi ekspresi politik uang yang vulgar dalam pemilu, berupa pembagian uang di fajar hari oleh para oknum elite yang berkontestasi.
Ironisnya, masyarakat terkesan permisif saja. Lelucon ironis pun muncul dalam spanduk ”Siap Menerima Serangan Fajar”. Ironisnya lagi, ada yang berpendapat transaksi politik uang dalam pemilu tidak usah dikhawatirkan karena hakikatnya tengah terjadi proses pemerataan pendapatan.
Perspektif historis
Praktik demokrasi kita tak lepas dari kritik. Eksistensi perwakilan atau parlemen sesungguhnya ialah bagaimana kritik dilembagakan, disuarakan para wakil rakyat. Namun, dalam praktik politik di banyak negara, termasuk adakalanya Indonesia, suara kritis wakil rakyat tidak mengemuka dalam mengimbangi apa yang menjadi kemauan politik pemerintah. Karena itu, muncullah kelaziman arus kritik nonparlemen.
Lembaga-lembaga masyarakat madani (civil society) dan media massa menjadi penting dalam hal ini. Mereka hanya pemberi masukan (input). Penentunya tetap kekuatan-kekuatan politik formal di parlemen dan pemerintahan. Proses penentuan kebijakan oleh mereka sering kali tidak menarik dan jauh dari harapan publik.
Kritik tentang praktik demokrasi yang tekor dan menyimpang pada masa lalu, misalnya pernah mengemuka dalam tulisan Mohammad Hatta, ”Demokrasi Kita”. Tulisan tersebut hadir semasa Demokrasi Terpimpin akhir 1950-an di majalah Panji Masyarakat.
Hatta melontarkan kritik mendasar atas praktik pemerintahan Soekarno yang bertendensi pemusatan kekuasaan.
Kritik seperti itu juga ditemui dalam pendapat Sjahrir dan yang lain. Itu semua sudah menjadi bagian sejarah perjalanan kita berdemokrasi. Sebagai seorang yang berjiwa demokrat, Hatta juga mengkritik praktik politik rezim Orde Baru yang membatasi kebebasan politik.
Hingga 25 tahun era Reformasi sekarang, kajian tentang demokrasi di Indonesia tak kurang-kurang. Orde Baru tumbang karena arus deras tuntutan demokratisasi politik. Namun, watak dan praktik pragmatisme transaksional dalam berpolitik tidak serta-merta menghilang. Hal tersebut tidak hilang dari praktik politik di lembaga perwakilan dan pemerintahan.
Tentu kasuistik, tetapi generalisasi bahwa kualitas kelembagaan demokrasi kita masih cukup rendah relatif mudah dibuktikan. Apalagi, manakala parameternya etika politik kelaziman demokrasi.
Di era digital dewasa ini, praktik antibudaya demokrasi ironisnya mudah kita temukan di media sosial. Kelebihan media sosial di jagat digital ialah semua orang bisa unjuk pendapat. Namun, tak jarang mereka terjebak pada penyebaran ujaran kebencian dan hoaks.
Oleh karena itu, pekerjaan abadi demokrasi kita di era digital ialah pendidikan politik yang lebih gencar lagi, selain adanya kebijakan yang kondusif tanpa meniadakan kebebasan berpendapat di media sosial.
Sudah pula jadi pengetahuan umum, solusi atas ragam dampak antibudaya demokrasi ialah melalui introspeksi dan penegakan hukum. Introspeksi bersifat moral korektif berlaku untuk semua. Penegakan hukum tak terelakkan bagi perbaikan. Bingkainya mentalitas checks and balances, saling mengoreksi dan mengingatkan satu sama lain.
Antipolitik uang tidak sebatas semangat, tetapi mewujud dalam praktiknya. Masalah ini butuh penyelesaian kolektif multipihak. Memang tidak mudah, kecuali membutuhkan kesabaran ekstra dan ragam ikhtiar konstruktif bagi wajah segar demokrasi yang jauh dari perilaku antibudaya. (*)
M Alfan Alfian, Dosen Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Nasional, Jakarta