Argumentasi Kuasa Hukum Seyogianya Tidak Menyesatkan
KOMISI Pemberantasan Korupsi menolak permintaan kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe agar kliennya bisa diperiksa secara adat. Lukas menjadi tersangka kasus korupsi untuk dugaan penerimaan suap Rp 1 miliar terkait dengan proyek yang bersumber dari APBD Propinsi Papua (Kompas, 12/10-2022). Tentu, argumentasi praktisi hukum yang demikian itu menyesatkan jika ditelaah dari perspektif ilmu hukum.
Preseden buruk
Sekiranya, argumentasi kuasa hukum/advokat yang demikian itu, untuk meyakinkan kliennya, Lukas Enembe, dan kemudian diterima sebagai suatu justifikasi, tentu argumentasi itu tersesat dan tidak dapat diterima. Konsekuensinya, dapat mempengaruhi tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum pejabat lain yang korup dan masyarakat di Provinsi Papua.
Dalam penyelesaian kasus korupsi, oknum pejabat yang disangkakan korupsi akan berdalih yang sama, agar penyelesaian kasusnya menggunakan pendekatan hukum adat. Dampaknya, dapat menimbulkan preseden buruk bagi penyelesaian korupsi di daerah ini khususnya dan daerah-daerah lain di Tanah Air.
Eksistensi hukum adat, yaitu untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di kalangan masyarakat pedesaan dan bukan untuk penyelesaian korupsi. Dengan demikian, akan terjadi suatu kekeliruan besar dan fatal sekiranya hukum adat dipaksakan fungsinya untuk menyelesaikan kasus Gubernur Papua Lukas Enembe.
Dikaji dari perspektif keilmuan hukum, hukum adat masuk dalam kajian hukum perdata/privat, sementara korupsi masuk dalam bidang hukum publik. Relevansi hukum publik dalam kasus dugaan korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe terkait kemungkinan penyalahgunaan wewenang, penerimaan suap sebagai suatu bentuk tindakan maladministrasi oleh seorang pejabat negara.
Dengan begitu, kriterianya jelas untuk menilai terpenuhi atau tidaknya suatu tindak pidana korupsi. Sebaliknya, akan sangat sulit dan jauh dari cita hukum untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan, manakala penyelesaian korupsi menggunakan hukum adat.
Lukas Enembe sebagai pejabat negara dalam posisi gubenur dan tokoh adat Papua yang berwibawa dan disegani itu, diharapkan kooperatif memenuhi panggilan KPK. Dengan cara itu akan memberikan contoh bagi pejabat lain dan masyarakat untuk mematuhi hukum. Maka, peranan kuasa hukum/advokat sangat signifikan dalam mendorong, memotivasi kepatuhan dan kesadaran hukum kliennya.
Secara hakiki, posisi profesi advokat dalam UU Nomor 18/2003 yaitu, bebas, mandiri, dan bertanggung jawab untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakan hukum, kebenaran,keadilan dan hak asasi manusia. Apalagi dalam sumpah/janji advokat seperti diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) UU Advokat adanya larangan-larangaan yang secara ekesplisit disebutkan seperti, … .langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun ….tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga….” Karena itu, advokat diminta agar secara jujur dan bertanggungjawab memberikan konsultasi hukum secara profesional dan jujur agar tidak menyesatkan kliennya dan masyarakat.
Dukung KPK
Guna mendukung efektivitas pemberantasan korupsi di Tanah Air, seluruh intansi pemerintahan dan masyarakat Indonesia, tanpa kecuali, perlu mendukung KPK yang eksitensinya, untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi. Bukti nyata visi dan misi KPK dalam memberantas korupsi untuk menyelamatkan kauangan negara tidak diragukan lagi. Pasalnya, lembaga anti korupsi ini secara profesional, intensif, dan kontinyu telah menunjukan keberhasilannya dalam menangkap koruptor, yang merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat akselerasi pembangunan nasional.
Menurut ketentuan Pasal 3 UU No 30/ 2002, KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenanganya, bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Karena itu, KPK tidak boleh diintervensi oleh siapa pun, mengikat lembaga yang satu ini dalam menjalankan tugas dan wewenangnya selalu menjunjung tinggi asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan asas proporsionalitas.
Asas proporsionalitas bagi KPK terkait dengan ketidakberpihakan dalam menyelesaikan perkara korupsi tanpa membeda-bedakan siapa koruptornya. Sebab, sekiranya KPK tidak memproses Gubernur Lukas Enembe, justu terkesan sebagai penindakan hukum yang tidak seimbang dan diskriminatif. Padahal KPK sebagai lembaga anti korupsi harus bertindak tegas dan konsisten menangkap para koruptor tanpa kecuali. (*)
Yohanes Usfunan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar Bali