Wacana

Aswanto dan Lonceng Kematian Mahkamah Konstitusi

PERSENGKONGKOLAN jahat dua cabang kekuasaan kembali memakan korban. Tidak tanggung-tanggung, lembaga kekuasaan kehakiman selevel Mahkamah Konstitusi (MK) berhasil dipaksa tunduk dengan skenario yang dirancang oleh Presiden Joko Widodo bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Buktinya terang, yakni pelantikan dadakan Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi menggantikan Aswanto.

Peristiwa aneh bin ajaib itu sebenarnya bermula pada akhir September lalu. Kala itu, forum paripurna membenarkan hasil rapat Komisi III DPR mengenai keputusan untuk tidak memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi Aswanto, yang diikuti dengan penunjukan Guntur sebagai penggantinya. Anggota Dewan berdalih bahwa langkah itu merupakan tindak lanjut atas surat yang dikirim oleh MK kepada DPR. Di sinilah sesat pikir terjadi karena surat MK praktis hanya memberi tahu kepada lembaga pengusul hakim konstitusi, yakni presiden, DPR, dan Mahkamah Agung, mengenai perubahan mekanisme masa jabatan hakim yang tidak lagi mengenal periodisasi, melainkan merujuk pada usia pensiun.

Alih-alih mencoba memahami bagaimana latar belakang dan maksud surat MK, DPR malah berakrobat dengan menafsirkannya sesuka hati, yang mengakibatkan Aswanto menanggalkan jabatan sebelum waktunya. Alasannya cukup memancing tawa masyarakat, yakni DPR merasa produk-produk legislasi asal lembaga legislatif kerap dianulir oleh Aswanto. Penting untuk ditekankan, di belahan dunia mana pun, dalam memutuskan suatu sengketa, hakim harus bersifat independen. Itu sudah tertuang jelas melalui Pasal 2 Undang-Undang MK yang menyebut soal “kekuasaan kehakiman yang merdeka”. Jadi, tidak ada kewajiban dan seharusnya memang tidak boleh seorang hakim konstitusi membenarkan begitu saja produk-produk legislasi DPR maupun pemerintah. Di luar itu, langgam pembentukan peraturan perundang-undangan belakangan ini memang selayaknya banyak dibatalkan karena kerap dipenuhi muatan politik, mengabaikan partisipasi masyarakat, dan menguntungkan elite, seperti revisi Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Cipta Kerja.

Pendapat DPR, yang diwakili pernyataan politikus PDIP, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, tersebut juga memperlihatkan pemaksaan relasi politik antara hakim konstitusi dan lembaga legislatif. Bukan cuma itu, bahkan kalimat Bambang bisa dimaknai sebagai ancaman bagi delapan hakim konstitusi lain. Secara sederhana, jika ke depan ada hakim yang berbeda dari sikap DPR, misalnya melalui dissenting opinion, bukan tidak mungkin mereka langsung dicopot dari jabatannya. Dengan sendirinya, masa depan MK akan kian suram karena selalu berada di bawah bayang-bayang lembaga pengusungnya.

Hal lain lagi, forum paripurna yang diisi oleh anggota Dewan itu pun seolah-olah amnesia dengan produk hukum mereka sendiri. Betapa tidak, DPR telah menyimpang dari ketentuan Pasal 23 Undang-Undang MK yang menjelaskan syarat-syarat pemberhentian hakim konstitusi, baik dengan hormat maupun tidak hormat. Bila dicermati satu per satu, kesimpulan yang dapat diambil adalah Aswanto tidak memenuhi syarat pemberhentian itu. Pelanggaran lain mencakup aspek formil, yakni pemberhentian hakim konstitusi hanya bisa dilakukan jika ada permintaan dari Ketua MK kepada presiden, bukan justru inisiatif DPR. Dari sini, masyarakat bisa menilai bahwa peserta rapat paripurna DPR kala itu harus dikuliahi secara intensif agar memahami ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun aktor yang layak dipersalahkan bukan hanya DPR, tapi juga Presiden. Ada sejumlah alasan yang bisa disampaikan. Pertama, Presiden semakin menunjukkan sikap penakut ketika berhadapan dengan politikus Senayan. Padahal, sebagai kepala negara, presiden punya kewajiban menjamin eksistensi lembaga negara seperti MK agar tidak dilemahkan melalui jalur politik semacam ini. Sebenarnya bukan mustahil pula Presiden menolak langkah DPR dengan tidak menerbitkan keputusan presiden, baik pemberhentian Aswanto maupun pengangkatan Guntur.

Kedua, Presiden kembali berbohong kepada masyarakat ihwal polemik pemberhentian Aswanto. Pada 5 Oktober lalu, Presiden sempat menegaskan akan patuh pada peraturan perundang-undangan dalam menyikapi langkah DPR yang sedang mengupayakan pergantian hakim konstitusi. Sayangnya, entah ketentuan hukum mana yang digunakan oleh Presiden, sehingga mengikuti praktik serampangan anggota Dewan tersebut. Ini ditambah lagi dengan penjelasan absurd Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang menyebutkan bahwa Presiden tidak bisa mengubah keputusan DPR. Lantas, jika keputusan DPR melanggar hukum, apakah Presiden tetap mengikutinya?

Hal lain yang penting untuk diulas adalah sikap MK sendiri. Dengan menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang dan bahkan terkesan otoriter semacam ini, semestinya jajaran hakim konstitusi dapat menyerukan penolakannya, terutama Ketua MK Anwar Usman. Namun Anwar justru pasif dan bahkan menolak untuk mengomentarinya. Tentu sikap ini bisa ditafsirkan lain oleh masyarakat, misalnya mengaitkan hubungan Anwar dengan Jokowi yang telah direkatkan sebagai keluarga melalui pernikahannya beberapa waktu lalu. Jika benar ini penyebabnya, dugaan terjadinya konflik kepentingan yang banyak diduga berbagai kalangan terbukti benar.

Sikap Guntur sebenarnya juga penting dibahas. Dengan titel sebagai guru besar, apalagi Sekretaris Jenderal MK, semestinya ia memahami secara utuh betapa bermasalahnya tindakan DPR dan Presiden ini dari segi hukum. Penerimaan tawaran sebagai hakim MK itu juga secara langsung membenarkan kerusakan internal lembaganya di masa mendatang. Dari sudut pandang hukum, terlebih moral, Guntur seharusnya menolak mentah-mentah tawaran untuk menggantikan hakim konstitusi Aswanto. Jangan sampai anggapan mencari kesempatan dalam kesempitan kemudian dilayangkan masyarakat kepada Guntur.

Melihat situasi di MK sekarang, untaian kata dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebaiknya diubah karena Indonesia bukan lagi negara hukum, melainkan negara politisasi hukum. Praktik buruk dengan mengintervensi lembaga kekuasaan kehakiman melalui intrik-intrik politik sungguh merupakan perbuatan yang amat tercela. Kini, apa boleh buat, ajal penjaga konstitusi semakin dekat karena lonceng kematiannya perlahan mulai dibunyikan oleh Presiden Joko Widodo. (*)

 

Kurnia Ramadhana, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: