Wacana

Barbie dan Budaya Populer Global

SEJAK film Barbie diputar di berbagai gedung bioskop 19 Juli 2023 lalu, seketika itu pula demam Barbie kembali melanda masyarakat, khususnya kelompok anak muda urban. Di mal dan gedung bioskop busana yang didominasi warga merah muda dan pernak-pernik khas Barbie muncul di mana-mana. Anak muda sengaja berpakaian dan memadupadankan warna merah muda untuk merayakan budaya populer global yang digemarinya: Barbie.

Barbie adalah sosok boneka perempuan muda yang mulai diperkenalkan di American Toy Fair di New York City pada 1959. Barbie adalah boneka mainan pertama yang diproduksi massal. Boneka ini punya ciri khas, yakni sosok perempuan tinggi langsing rambut pirang, mengenakan pakaian modis, dan kaki berjinjit karena mengenakan sepatu high-heels. Hampir di seluruh penjuru dunia, banyak anak muda urban merayakan diputarnya kembali film Barbie.

Boneka perempuan muda cantik bermata lentik, berkaki jenjang, memiliki pinggang ramping dengan payudara membusung besar, dengan pernak-pernik asesoris mewah, semuanya membangun konstruksi tentang bagaimana anak muda urban harus mendefinisikan dirinya. Lebih dari sekadar boneka atau film, Barbie adalah ikon global yang mampu menghipnotis penggemarnya. Ia bagian dan budaya populer global yang memiliki penggemar fanatik tersendiri.

Ikon global

Barbie bukanlah sekadar boneka mainan biasa. Barbie yang mampu bertahan hingga enam dekade lebih, tentu tidak sekadar mengandalkan pada bentuk fisiknya yang menarik dengan warna merah muda cerah yang mempesona.

Barbie adalah simbol dari budaya populer global yang mampu bertahan karena memiliki kekuatan magis menghipnotis penggemarnya yang selalu loyal. Meski zaman berubah dan lahir anak-anak yang merupakan bagian dari generasi internet, pesona Barbie tak juga mati.

Kahn dan Kellner (2008) menyatakan budaya anak muda urban dewasa ini merupakan kompleksitas budaya akibat proliferasi media dengan produk industri budaya populer dalam kehidupan sehari-hari mereka, seperti film, televisi, musik, dan novel populer yang difasilitasi internet.

Kehidupan anak muda urban yang tidak bisa lepas dari internet dan media sosial menjadi pendorong pengembangan lebih lanjut di bawah kerangka kerja institusional dari jaringan dunia yang makin mengglobal.

Berbagai industri budaya yang mengembangkan website untuk anak muda telah menciptakan semacam “peliharaan virtual” yang senantiasa dirawat oleh anak muda yang konsekuensi berikutnya memunculkan budaya anak muda online, global, hibrida, dan kompleks.

Menurut Jenkins, ada tiga ciri utama yang menandai moda pemberian makna budaya penggemar dalam teks-teks media yang dikonsumsinya: cara penggemar menarik teks mendekati ranah pengalaman hidup mereka; peran yang dimainkan melalui pembacaan kembali teks dalam budaya penggemar; dan proses yang dengannya informasi program dimasukkan kedalam interaksi sosial yang terus-menerus (Storey, 2007).

Pertama, pembacaan penggemar dicirikan oleh sebuah intensitas keterlibatan intelektual dan emosional. Dengan menentang determinisme tekstual, Jenkins menegaskan penggembar budaya populer global tidak ditarik ke dalam dunia fiksi yang belum ditetapkan, tetapi sebaliknya ditarik ke dalam suatu dunia yang telah dia ciptakan dari materi-materi tekstual. Pembaca awam membaca dalam konteks kepentingan minat, sedangkan penggemar membaca dari ranah “pengalaman hidup” kelompok penggemar.

Kedua, penggemar tidak sekadar membaca teks. Mereka senantiasa membaca kembali teks-teks itu. Ini mengubah hakikat hubungan teks-pembaca secara mendasar. Roland Barthes (1975) berpendapat, pembacaan kembali atas teks-teks mengubah pengalaman pembaca mengenai suatu teks. Pembacaan kembali meruntuhkan operasi “kode hermeneutik”.

Pembacaan kembali dengan begitu menggeser perhatian pembaca dari “apa yang akan terjadi” menuju “bagaimana sesuatu itu terjadi”, mempertanyakan hubungan antartokoh, tema narasi, produksi pengetahuan, dan wacana sosial.

Ketiga, sementara kebanyakan pembacaan adalah proses soliter yang dilakukan secara pribadi, para penggemar mengonsumsi teks-teks sebagai bagian dari suatu komunitas. Budaya penggemar berkaitan dengan penampilan publik dan sirkulasi produksi makna dan praktik-praktik pembacaan.

Para penggemar menciptakan makna-makna untuk berkomunikasi dengan para penggemar lain. Tanpa penampilan publik dan sirkulasi makna-makna ini, kelompok penggemar tidak akan menjadi penggemar.

Bagi sesama penggemar Barbie, mereka menikmati budaya populer global yang disukainya tidak sendirian. Mereka makin keranjingan dan kecanduan akan produk pop culture karena mereka dipengaruhi dan saling memengaruhi di antara sesama penggemar yang lain.

Datang rame-rame ke sebuah acara untuk sama-sama merayakan apa yang digemarinya adalah kegembiraan tersendiri. Inilah yang membuat mengapa Barbie akhirnya melahirkan kelompok penggemar yang tidak pernah lelah.

Tidak ada habisnya

Memasuki era digital, di mana penggunaan teknologi informasi dan internet makin masif, anak muda urban sebetulnya memiliki kesempatan memilih alternatif budaya populer global yang makin beragam.

Banyak ikon budaya pop dilahirkan dan dipasarkan ke masyarakat. Tidak hanya Barbie, kini anak muda urban juga kenal Harry Potter, Superman, Batman, Hulk, Tarzan, Avangers, Wakanda, dan lain-lain.

Semua produk budaya populer yang ditawarkan dunia industri budaya memiliki penggemar tidak hanya di daerah tertentu. Saat ini, penggemar telah berkembang dan menjadi bagian dari fenomena global karena kemunculan komunitas cyberspace.

Para penggemar yang keranjingan tersebut biasanya tidak hanya tergabung di dunia nyata tetapi juga dalam kelompok online fandom, yakni kemunculan kelompok penggemar yang dipicu perkembangan internet dan konvergensi media.

Sebagai penggemar, anak muda saat ini memang merupakan pengemar yang tak sekadar mengonsumsi produk industri budaya, tetapi juga menggemari dan memuja ikon-ikon budaya yang disukainya, serta memiliki keleluasaan berpartisipasi aktif sebagai penggemar di dunia maya.

Subkultur yang berkembang dan dikembangkan fandom, sering kali banyak dipengaruhi dan berkaitan dengan apa yang ditawarkan kekuatan industri budaya. Fandom sendiri menjadi lebih leluasa untuk memenuhi kegemarannya pada produk-produk industri budaya dan memaknai teks-teks budaya sesuai seleranya karena didukung kemunculan web yang bisa mengakomodasi antusiasme penggemar.

Teknologi media tidak hanya memberikan kemerdekaan, kesempatan untuk berinteraksi tetapi juga menawarkan keterbukaan, dan karena sifatnya yang komunal.

Perkembangan internet, media digital, dan konvergen mentransformasi dan memfasilitasi aktivitas fandom sehingga fandom memiliki keleluasaan mengembangkan aktivitas mereka dalam komunitas virtual. Pada titik ini, jangan kaget jika ulah penggemar, termasuk penggemar Barbie seolah tidak ada habisnya. (*)

 

Rahma Sugihartati, Guru Besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: