Wacana

Berharap Nasib Baik bagi para Guru

OPINI Prof Triyanto di Media Indonesia (28/3/2023) mengangkat judul Madesu Calon Guru benar-benar menggambarkan realitas yang dihadapi guru dan calon guru. Saya ‘mengamini paling serius’, mengutip lagu populer Nadin Amizah dan Sal Priadi, apa yang disampaikan Prof Triyanto tersebut.

Tampaknya, menjadi guru di Indonesia memang tak mudah. Tidak ada alur sistematis yang bisa ditempuh dan itu masih berlaku, bahkan lebih rumit, hingga kini. Saya merupakan lulusan Kampus Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang memang disiapkan untuk menjadi guru.

Jika berkaca pada pengalaman pribadi dan rekan-rekan saya, menjadi guru membutuhkan kompetensi, kesabaran, ketekunan, dan nasib baik. Namun, kita tahu, sering kali nasib baik itu tidak dimiliki atau tidak berpihak kepada mayoritas calon guru atau juga para guru yang sudah mengabdikan diri demi pendidikan di Indonesia. Banyak calon guru yang berguguran di medan laga dan memutuskan putar balik meninggalkan profesi guru karena merasa tidak memiliki masa depan.

Tuntutan sejahtera

Guru dituntut profesional, tetapi kesejahteraan jauh dari harapan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, misalnya, disampaikan guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Tuntutan berat tersebut sering kali tidak berkorelasi dengan kesejahteraan yang dimiliki guru. Coba saja cek, apakah guru-guru di Indonesia, terutama yang honorer atau di sekolah swasta yang minim akses, memiliki penghasilan yang sesuai dengan upah minimum?

Jika setiap tahun diumumkan upah minimum yang merupakan upah bulanan terendah yang ditetapkan gubernur sebagai jaring pengaman (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023), hal tersebut tampaknya tidak berlaku sepenuhnya untuk para guru.

Padahal dalam terminologi yang lebih luas, guru merupakan buruh yang bekerja di bidang pendidikan karena setiap yang bekerja dan mendapat upah sejatinya merupakan buruh. Karena itu, para guru pun memiliki hak untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Yang terjadi saat ini, jangankan untuk sejahtera, untuk mendapatkan penghasilan yang layak saja sulit sehingga mereka tetap harus bergerilya di berbagai bidang ekonomi agar hidup tetap berjalan.

Sudah banyak cerita yang saya dengar dari para guru yang menyampaikan kegusaran mereka terkait dengan nasib mereka. Dibayar sesuai dengan upah minimum dan memiliki jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan) masih jadi sesuatu yang sulit digapai, terutama, bagi guru non-PNS. Jika hal mendasar saja tidak didapat, sulit bagi kita untuk membayangkan bagaimana perjuangan mereka dalam mengarungi hidup yang semakin kompleks. Belum lagi membiayai pendidikan anak-anak yang semakin mahal. Ironi, ketika mereka mendidik anak-anak bangsa, nasib anak kandung harus terkatung-katung.

Para guru itu bukan malaikat yang tak butuh sandang, pangan, dan papan. Seperti layakya pekerja lain, mereka membutuhkan penghasilan yang memadai untuk hidup dan menghidupi. Membutuhkan hidup yang layak untuk menafkahi keluarga. Meski memang guru merupakan profesi yang mulia, memosisikan sosok yang mulia hanya di atas kertas bukan bentuk nyata pemuliaan guru, apalagi dengan membangun narasi guru harus tulus ikhlas mengabdi demi bangsa dan negara.

Jika narasi tersebut yang digunakan, yang harus dilakukan negara ialah menjamin kehidupan guru untuk sejahtera sehingga mereka tidak memiliki kesibukan yang menyita waktu dan fokus pada menemani anak-anak bangsa.

Menuntut guru profesional, tetapi tidak memberikan hak yang layak merupakan kezaliman. Dalam dunia kerja yang profesional, misalnya, kualifikasi akademik, pengalaman bekerja, dan kompetensi yang menunjang pekerjaan dihargai dengan baik. Para pekerja dengan karakteristik tersebut mendapat penghargaan yang baik dari segi penghasilan. Sementara itu, di dunia guru, hal-hal tersebut tampak tidak menjadi hitungan.

Demotivasi calon guru

Melihat situasi yang ruwet, penuh ketidakpastian, dan minim penghargaan tentu hanya akan menimbulkan demotivasi calon guru sebab guru tidak menjanjikan kehidupan yang layak. Bagi generasi Z yang rasional dan logis, menjadi guru menjadi hal yang tidak layak untuk diperhitungkan sebab mereka dengan mudah membaca di media betapa nasib guru sangatlah miris. Apalagi jika menjadi honorer, hidupnya akan penuh dengan horor.

Dari temuan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), misalnya, nasib guru status honorer dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) semakin tidak jelas dan terlunta-lunta. Ketika sudah lulus guru P3K, mereka tidak langsung mendapatkan penempatan kerja, tak terima gaji selama beberapa bulan, atau masa kontrak yang variatif di setiap daerah (1 tahun, 3 tahun, 5 tahun). Dalam bahasa Koordinator P2G Satriwan Salim, pemerintah sering ‘meng-ghosting’ guru dengan harapan yang muluk. Padahal, keinginan guru sangat sederhana, mendapatkan penghasilan minimum.

Jika negara serius berharap Indonesia pada 2045 mendapatkan generasi emas, memuliakan guru ialah jalan terbaik. Menjadikan guru yang berkualitas harus siap mengeluarkan anggaran yang besar. Tidak ada hal yang sia-sia dengan menginvestasikan dana besar untuk peningkatan kualitas guru dan kesejahteraan guru.

Pertama, LPTK harus dituntut untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan mereka. Para calon guru yang dididik perlu menghayati ajaran Ki Hadjar Dewantara dan para pedagog Nusantara lainnya. Selain, tentu saja, dilakukan internalisasi nilai-nilai pendidikan, peningkatan kompetensi akademik sebagai calon guru, penguasaan teknologi, dan jiwa korsa menjadi guru yang siap mengabdi.

Kedua, rekrutmen guru dilakukan secara teratur, dengan memperhatikan komposisi kebutuhan guru di berbagai wilayah di Indonesia. Hal itu dilakukan agar guru-guru berkualitas dapat didistribusikan di seluruh Nusantara sehingga kita tidak lagi mendengar minimnya guru dan kehadiran guru di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar.

Ketiga, penuhi kesejahteraan guru. Setiap guru baik yang bersatus ASN atau non-ASN layak hidup sejahtera. Minimal negara dapat memenuhi upah layak sesuai dengan upah minimum di setiap wilayah. Pemerintah perlu mendesain secara presisi masa dan jenjang kepangkatan dan peningkatan kompetensi para guru sehingga setiap guru dapat meniti tangga yang jelas agar mereka tak perlu menempuh jalan terjal, tanpa pedoman, dan hanya menggantungkan pada nasib baik. Kita tentu berharap nasib baik bagi guru-guru tentu dengan mengandalkan kebijakan yang berpihak. Ayo, pemerintah, sejahterakan guru. Amin paling serius mari kita panjatkan. (*)

 

Anggi Afriansyah,  Peneliti sosiologi pendidikan di Pusris Kependudukan BRIN, Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan untuk Guru (P2G)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.