Wacana

Bukti Arsip di Tengah Hiruk-pikuk Politik

SEBENTAR lagi kita akan masuk ke tahun politik. Bagaimana para calon wakil rakyat di semua tingkatan maupun kepala daerah akan berkontestasi menang dalam pemilihan. Tak jarang, sejumlah manuver politik dibeberkan ke publik untuk menaikkan, menurunkan, bahkan membunuh karakter seseorang. Salah satunya melalui klaim ijazah palsu yang diperoleh dari sebuah perguruan tinggi.

Menariknya, apa yang telah dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) ketika merespons keaslian ijazah Ir Joko Widodo—yang notabene saat ini adalah Presiden RI. Ijazah lulusan Fakultas Kehutanan UGM itu digugat ke pengadilan dan langsung dibantah UGM dengan serentetan bukti dari dokumen arsip yang tersimpan dengan baik di UGM.

Di sinilah tolok ukur bagaimana arsip vital personal atau pribadi dalam bentuk ijazah terdokumentasi dengan baik. Artikel ini tidak membahas tentang aspek hukum bagaimana persidangan tentang ijazah tersebut, tetapi lebih menyoroti bagaimana fungsi arsip di perguruan tinggi.

Mengenai hal tersebut, UU No 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan secara jelas telah menerangkan di Pasal 1, 27, dan 28 tentang bagaimana pengelolaan arsip perguruan tinggi. Bagaimana pengelolaan kearsipan di perguruan tinggi mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku.

Shaffady (2021) dalam buku Records and Information Management Fundamentals of Professional Practice 4th Edition menjelaskan bahwa pengelolaan arsip adalah urusan disiplin. Bagaimana informasi tercipta, diterima, dirawat, dan dimanfaatkan dengan kontrol dan analisis sistematis untuk mengejar tujuan organisasi, proses bisnis, dan berbagai aktivitas lainnya.

Dalam konteks tersebut, pengelolaan arsip personal atau perseorangan dalam arsip perguruan tinggi adalah keniscayaan yang harus terus dijaga. Bagaimana ijazah, transkrip nilai, hingga surat keterangan pendamping ijazah menjadi bukti otentik bagi seseorang yang telah mengenyam pendidikan di sebuah perguruan tinggi. Apabila dilakukan dengan disiplin dan sesuai aturan, masalah yang muncul pada arsip personal itu dapat diminimalkan sekecil mungkin.

Pengelolaan arsip yang baik

Shaffady juga menambahkan bahwa ada beberapa prinsip pengelolaan arsip yang harus diikuti dengan baik, seperti akuntabilitas, transparansi, integritas, proteksi, kepatuhan (compliance), ketersediaan, retensi, dan disposisi. Akuntabilitas memungkinkan pengelolaan arsip dapat diaudit, transparansi membuat proses dan aktivitas pencatatan organisasi harus didokumentasikan secara terbuka dan dapat diverifikasi.

Integritas menjadikan arsip organisasi harus memiliki jaminan keaslian, sementara proteksi memungkinkan perlindungan arsip yang bersifat pribadi atau rahasia. Kepatuhan kepada hukum dan aturan pengelolaan kearsipan sementara ketersediaan menjadikan arsip organisasi harus dikelola dengan efisien dan akurat serta sesuai dengan informasi yang dibutuhkan.

Sementara retensi membuat sebuah organisasi—seperti perguruan tinggi—harus menyimpan berkas dalam jangka waktu yang tepat untuk memenuhi persyaratan, peraturan, operasional, hingga historis. Pada saat yang sama, organisasi melakukan proses penyusutan arsip yang aman dan tepat untuk arsip yang tidak perlu lagi disimpan. Prinsip-prinsip ini melekat bagi organisasi, termasuk arsip perguruan tinggi yang ingin mengelola arsip terkait akademik maupun kemahasiswaan dengan baik.

Pendekatan RiC (record in context) menjadi hal yang relevan pada saat ini. Bagaimana sebuah arsip dapat dikatakan otentik atau asli, andal, utuh, dan dapat terpakai adalah dasar dari pengelolaan arsip berbasis konteks. Asal-usul arsip, entitas, atribut, dan relasi arsip terhadap lingkungan pada saat itu memberi informasi lebih luas dan komplet.

Arsip yang tersimpan lama seolah dapat ”berbicara” saat arsip tersebut dibuat. Apa yang sedang terjadi, situasi lingkungan yang melingkupi, siapa pembuatnya, hingga kapan arsip dibuat. Perubahan-perubahan budaya, perilaku, dan lingkungan juga dapat tercatat dengan baik, misalnya penggunaan media saat itu. Sebagai contoh, penggunaan tulisan tangan untuk ijazah, baik nama maupun nomor, serta mesin ketik pada transkrip nilai pada masa lalu konteksnya adalah belum ada penggunaan komputer.

Sebaliknya, saat ini sudah ada penomoran ijazah nasional (PIN) sesuai Peraturan Menteri Riset, Teknololgi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 59 Tahun 2018 tentang Penggunaan Penomoran Ijazah Nasional (PIN) dan Sistem Verifikasi Ijazah secara Elektronik (SIVIL) PIN merupakan proses penomoran ijazah dengan menggunakan sistem untuk menghasilkan nomor ijazah yang diterbitkan oleh Kemenristekdikti dan berlaku secara nasional.

PIN juga langsung terdaftar di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT). PIN akan diberikan ketika mahasiswa menyelesaikan perkuliahan di sebuah perguruan tinggi. Nomor yang diterbitkan disebut dengan nomor ijazah nasional yang terdiri dari 15 digit angka berupa 5 digit kode program studi, 4 digit tahun lulus, dan 5 digit nomor urut serta 1 digit untuk Check Digit, ijazah yang dikeluarkan oleh aplikasi PIN.

Tentu menjadi pekerjaan rumah bagi pengelola arsip—perguruan tinggi atau bukan—adalah bagaimana kini nyaris semua dokumen dapat didigitalisasi. Bagaimana mereka mengelola arsip dari manual, setengah digital, hingga digital menjadi arsip yang terintegrasi. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi pengelola arsip sehingga memerlukan strategi yang pas untuk dapat mengelola ketiga bentuk arsip tersebut.

Perlu digarisbawahi bahwa ketika arsip dapat berdiri kokoh sebagai bukti otentik, sudah semestinya persoalan hukum tidak perlu terjadi. Bahkan ketika tahun politik mulai terasa tensinya, orang akan mudah tersadarkan mengenai keabsahan sebuah arsip tanpa perlu penjelasan yang merepotkan. (*)

 

Dyah Safitri, Dosen Program Studi Manajemen Rekod dan Arsip Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI) Jakarta.

 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.