Wacana

Buku Bacaan Anak Berkualitas dan Minat Baca

IMPIAN membuat ruang baca atau taman baca atau perpustakaan komunitas, menjadi impian sejak lama. Ia bermula saat saya membantu menggalang donasi buku untuk komunitas dari Nabire, di 2012 lalu.

Kegiatan itu begitu membekas, membawa sebuah kesadaran baru. Saya pun meneruskan menggalang donasi buku, dengan melibatkan lebih banyak kawan. Satu demi satu, saya, bersama kawan-kawan komunitas ikut mewujudkan impian mereka yang ingin membuat ruang baca, taman baca di Papua, melalui galang donasi buku.

Singkat cerita, pada Januari 2021, menggunakan ruang tamu rumah kontrakan saya pun memulai mengelola ruang baca sendiri, dan pada bulan Agustus 2021 ini, kami pindah ke tempat yang baru. Pada Sabtu kemarin (16/8/2021), saat buka perdana, ada seorang anak yang datang, memilih bukunya dan menjauhi temannya yang lain. Ia begitu khusyuk membaca dan seolah melupakan segalanya. Sungguh mati, ia begitu cinta dengan bacaan tersebut.

Tenggelamnya si anak yang membaca buku, persis seolah menegaskan bahwa akses pada bacaan yang berkualitas dan menarik minat mereka, begitu penting bagi anak.

Pentingnya Buku Bacaan Anak Berkualitas

“Jika materi bacaan ditulis dengan menyenangkan dan mengeksplorasi imajinasi melalui kisah-kisah fiksi, bahan bacaan yang berkualitas, dan kegiatan membaca yang tidak dievaluasi, maka minat membaca otomatis tumbuh,” begitu pendapat Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah melalui buku mereka yang berjudul “Suara dari Marjin” – sebuah buku menarik tentang bagaimana melihat literasi dengan pendekatan Kajian Literasi Baru dan mengangkat peristiwa dan praktik literasi berbasis penelitian empirik etnografik.

Buku bacaan yang berkualitas juga segera mengingatkan saya pada pandangan Charlotte Mason (1842-1923), melalui buku yang ditulis oleh Ellen Kristi, salah satu tokoh homeschooling di Indonesia, berjudul “Cinta yang Berpikir”. Charlotte Mason (CM), adalah salah satu tokoh pendidikan alternatif dari Inggris, yang menekankan pentingnya buku berkualitas. Ia menamakannya “Living Books”. Saya membayangkan, betapa majunya pemikiran seorang CM, yang sudah sejak dahulu berpikir tentang tak cukup hanya akses buku semata, melainkan penting dan strategisnya buku – buku berkualitas dalam membantu menjadikan bacaan sebagai sebuah budaya bagi anak.

Children must have books, living books; the best are not too good enough for them; anything less than the best is not good enough” yang kalau kita terjemahkan secara bebas, kurang lebih menjadi “Anak-anak harus memperoleh buku-buku, pustaka yang inspiratif, bagi mereka tak ada istilah buku yang terlalu bagus, semua buku yang kurang dari “terbagus” artinya belum cukup baik.” Dengan kata lain, CM membayangkan bahwa anak-anak pada dasarnya cerdas, dan dengan begitu, anak-anak harus bertemu dan berjumpa, menikmati buku yang tidak meremehkan kecerdasan si pembaca cilik tersebut. Pada buku-buku berkualitas yang disebut Living Books itu, ide-ide berharga menggerakkan anak untuk mengingat, merenungkan atau memvisualisasikan kisahnya, akan terus hidup di benak anak-anak, menggugah sekaligus membangun karakter mereka. Dan seandainya ada ilustrasi yang digunakan, maka hal itu dikerjakan dengan sungguh-sungguh, dan kita sebagai pembacanya akan bisa merasakannya. Buku-buku semacam ini kaya akan nilai, menyajikan sikap moral tetapi tanpa menggurui, karena ada ruang bagi mereka, pembaca cilik, untuk membuat kesimpulannya sendiri.

Akses Buku Bacaan Anak

Buku bacaan yang berkualitas, menarik minat anak, dan dipertemukan sesering mungkin pada anak, misalnya dengan dibacakan secara nyaring tiap malam, yang membangun ikatan dan kelekatan antara orang tua dan anak hingga menjadi kebiasaan, begitu pentingnya sebagai bagian dari membentuk budaya membaca.

Tetapi hal ini mensyaratkan bahwa orang tua ikut terlibat aktif menciptakan kebiasaan baik ini, dan peran penting pemerintah daerah dengan menyediakan akses-akses pada buku bacaan yang bisa dibaca dan dipinjam melalui perpustakaan daerahnya. Masyarakat pun bisa ikut terlibat, dengan taman – taman baca milik masyarakat, yang memang dibangun dengan semangat kerelawanan untuk menjadi sebagian dari solusi menumbuhkan minat baca ini.

Tetapi jika hal tersebut tak tersedia di sebuah daerah, maka tentu jadi persoalan yang rumit. Meski demikian, tetap ada cara bagi kita semua, yang ingin membiasakan anak-anak kita menyukai bacaan sejak dini. Salah satu caranya adalah dengan mengakses buku-buku bacaan anak secara digital dan legal. Walau tetap menyisakan masalah bagi mereka yang tak memiliki perangkat yang bisa mengakses internet, atau bisa tetapi jaringan internetnya tidak ada.  Namun demikian, hal ini bisa tetap digunakan sebagai salah satu solusi.

Sebagai contoh, dari Perpustakaan Nasional ada sebuah aplikasi yang bernama Ipusnas yang secara gratis dapat kita gunakan untuk meminjam buku-buku bacaan koleksi perpustakaan nasional, dan membacanya secara daring. Untuk bacaan anak, ada juga buku-buku bacaan anak yang dimiliki oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, dengan buku-buku bahan bacaan literasinya yang bisa diakses melalui situs ini https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/bahan-bacaan-literasi – ada juga lainnya semisal Buku Digital Terbaru dari Kemdikbud di tautan ini https://budi.kemdikbud.go.id/

Dari pihak NGO, ada juga beberapa inisiatif yang membuat kita, sebagai pembaca dapat mengakses buku-buku yang mereka buat. Seperti ada dari Room to Read melalui LiteracyCloud https://literacycloud.org/ dan Asia Foundation dengan Let’sreadasia https://reader.letsreadasia.org/

Ini adalah beberapa contoh situs yang dapat digunakan, bagi para orang tua yang ingin membuat anaknya setiap malam berjumpa dengan buku bacaan beragam, tersedia dalam bahasa Indonesia (dan daerah) yang bisa diakses secara gratis dan legal.

Membayangkan anak-anak pembaca yang jatuh cinta pada buku, saat dewasanya nanti menjadi manusia yang berpikir, seperti pepatah “A child who reads, will be an adult who thinks” membuat saya tersenyum sendiri. Senyum ini mengembang semakin maksimal ketika mendapat pesan WA dari Gres Titiahy, pustakawan bagi ruang baca kecil yang saya kelola, ketika ia bertanya “Saya di sini sampai jam berapa ya, Kak ? Karena adik-adik yang sedang membaca di ruang baca ini tidak ada tanda-tanda mau pulang. Semuanya betah di sini.” (*)

Dayu Rifanto, Penulis adalah Pendiri inisiatif @Bukuntukpapua,Tinggal di Sorong

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.