Cakar Si Beruang Merah
SI Beruang Merah (Rusia), kembali mengguntur dan mencakar, menyedot perhatian dunia. Sang beruang jelas sekali berteriak kepada dunia, hati-hati dengan cakar saya. Ukraina, sebuah negara merdeka yang memiliki kedaulatan penuh, dan pernah jadi bagian dari Uni Soviet, diserang habis-habisan secara militer.
Rusia memang sudah lama mengendus Ukraina. Malah, pada 2014, Rusia sudah menyerang Ukraina. Kita pun langsung mengingat kejadian 1979, ketika Rusia, waktu itu bernama Uni Soviet, menginvasi Afghanistan dan menimbulkan kekacauan dunia berpuluh-puluh tahun, malah hingga kini.
Argumentasi politik dengan berbagai dalih dan retorika, bisa saja dipakai untuk membenarkan tindakan Rusia. Saya menulis tindakan agresi tersebut semata-mata dari perspektif hukum internasional.
Penggunaan kekerasan
Apa yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina sekarang, masuk kategori penggunaan kekerasan (use of force) yang tak mendapat pembenaran dari hukum internasional. Piagam PBB, Pasal 2 (4), dengan tegas menyatakan semua anggota PBB harus menahan diri untuk menggunakan ancaman atau kekerasan melawan kesatuan teritorial dan kemerdekaan politik negara lain, atau tindakan-tindakan yang bertentangan dengan tujuan PBB.
Namun, pada Pasal 51 Piagam PBB, ada peluang untuk menggunakan kekerasan selama itu dilakukan untuk membela diri (self-defence). Hanya saja, harus ada serangan bersenjata yang terjadi dulu, baru melakukan pembelaan diri. Dan ukuran serangan bersenjata itu, dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB. Dalam konteks ini, penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh Rusia, sama sekali tidak bisa dibenarkan dengan alasan pembelaan diri, karena tidak ada serangan bersenjata yang mengancam dirinya.
Dalam praktik hukum kebiasaan internasional, masih ada dua pilihan untuk membenarkan tindakan penggunaan kekerasan. Pertama, adanya konsep intervention by invitation. Artinya, sebuah negara melakukan tindakan agresi terhadap negara tertentu, karena pemerintah yang sah, mengundangnya melakukan itu.
Contoh dalam konteks ini, Rusia (Uni Soviet ketika itu), melakukan agresi terhadap Afghanistan karena pemerintahan Babrak Kamal yang komunis mengundang Soviet masuk.
Kedua, konsep intervention by humanity. Konsep ini umumnya dijalankan manakala memang ada pelanggaran hak asasi yang sangat berat (gross violation) di negara yang diduduki.
Rusia nampaknya menggunakan kedua alasan ini, yakni, terjadi pelanggaran HAM oleh pemerintahan Ukraina sekarang beberapa tahun belakangan, terutama terhadap rakyatnya yang berdarah Rusia. Putin juga membangun alibi, tindakannya pada Ukraina karena ada undangan dari kelompok pemberontak yang melawan pemerintahan sah Ukraina.
Kedua alasan ini tentu saja tak diterima oleh dunia karena tak ada pelanggaran HAM berat seperti genosida dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Ukraina, sebagaimana yang diatur dalam Statuta Roma Tahun 1998. Mengenai undangan dari pihak pemberontak, jelas tidak masuk kategori yang bisa membenarkan tindakan itu, karena undangan itu seharusnya datang dari pihak pemerintah yang sah, bukan pemberontak.
Malah, jika dalil undangan pemberontak dipakai, justru dengan enteng bisa didalihkan bahwa Rusia mencampuri urusan dalam negeri Ukraina.
Mungkin ada yang berpendapat, serangan Rusia itu adalah serangan dengan dalih pre- emptive strike (serangan yang mendahului adanya serangan).
Dan ini sudah dipraktikkan dalam kebiasaan internasional. Akar dalil ini diambil dari kasus kapal Karolina abad 19 yang melibatkan AS dan Inggris. Namun, dalil ini sama sekali tak pas dipakai Rusia karena Ukraina sama sekali tak menampakkan gelagat atau kekuatan untuk menyerang Rusia sehingga Rusia menyerang sebelumnya.
Kedaulatan negara
Penggunaan kekerasan terhadap negara lain, tak mendapat pembenaran karena itu menyangkut kedaulatan negara tersebut. Dalam hubungan internasional, kedaulatan negara adalah pilar utama. Konsep kedaulatan negara sendiri mengandung dua unsur, adanya pemegang kewenangan dan adanya teritori, tempat melakukan eksekusi kewenangan itu.
Melakukan serangan terhadap suatu negara, berarti mempreteli otoritas pemegang kewenangan di negara itu, dan paling penting, melecehkan dan menginjak-injak wilayah tempat kedaulatan dilaksanakan.
Itulah sebabnya, pemikir klasik seperti Thomas Hobbes dan Jean Bordin mempostulatkan bahwa kedaulatan negara itu harus absolut, melampaui semua agenda yang lain. Filosof RP Wolf malah menegaskan, kedaulatan negara itu adalah otoritas tertinggi dalam sebuah teritori. Karena itu, kedaulatan negara mengandung makna, adanya hak untuk memerintah, yang berkonsekuensi adanya hak untuk dituruti.
Yang terjadi di Ukraina, selain pelanggaran kedaulatan, juga ada penggunaan kekerasan. Keduanya tidak mendapat justifikasi. Saya pun teringat ucapan Henry Kissinger: kedaulatan adalah hak tiap negara untuk memilih struktur domestik masing-masing dan harus bebas dari intervensi siapa pun.
Lalu, orang pun mulai bertanya, mengapa itu semua terjadi? Ini adalah soal politik, kepentingan Rusia terhadap Ukraina karena Ukraina menunjukkan gelagat ingin bergabung dengan NATO. Ini yang tak dikehendaki Rusia karena menyangkut geopolitik dan keamanan nasionalnya. Bila Ukraina masuk NATO, NATO akan menempatkan peralatan militernya di wilayah Ukraina dengan alasan perlindungan dan pertahanan sesama anggota, sebagaimana diatur dalam ketentuan keanggotaan NATO.
Lantas, apa yang terjadi selanjutnya? Tentu saja masalah pelik ini sulit diselesaikan melalui mekanisme PBB karena Rusia memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB. Maka skenario yang kemungkinan terjadi: Rusia bercokol di Ukraina untuk waktu yang lama, sebagaimana Uni Soviet bercokol 10 tahun di Afghanistan.
Kemungkinan kedua, Rusia akan gunakan semua cara untuk mendongkel Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, yang dianggap pembangkang atas segala kemauan politik Rusia.
Skenario berikutnya, AS bersama sekutunya, akan melakukan tindakan militer balasan terhadap Rusia, dengan dalih membebaskan atau melindungi Ukraina. Skenario ini tipis kemungkinannya karena Ukraina belum jadi anggota NATO yang harus mereka bela dan pertahankan mati-matian.
Lagi pula, dengan tekanan kondisi ekonomi, apalagi di tengah deraan Covid-19 ini, AS kehilangan daya terjangnya untuk berperang. (*)
Hamid Awaludin, Duta Besar RI untuk Federasi Rusia, 2008-2011.