Godaan Hak Angket Kecurangan Pemilihan Presiden
BERBAGAI kecurangan dalam pemilihan presiden 2024 seharusnya lebih dari cukup untuk jadi alasan bagi Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan hak angket. Di tengah pembagian kue kekuasaan setelah pemilihan umum, elite partai politik diuji: memilih untuk menjaga kesehatan demokrasi Indonesia atau sekadar memburu kursi demi kepentingan mereka.
Penggunaan hak DPR untuk menyelidiki dugaan pelanggaran undang-undang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo itu sangat penting. Jokowi, di ujung dua periode pemerintahannya, secara telanjang menodai prinsip pemilu yang jujur dan adil. Alih-alih memastikan pemilihan berjalan fair, ia menggunakan perangkat negara untuk memenangkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang berpasangan dengan anak pertamanya, Gibran Rakabuming Raka.
Hak angket mesti diajukan setidaknya oleh 25 anggota Dewan dari lebih dari satu fraksi. Usulan ini mesti disetujui separuh lebih peserta rapat paripurna yang dihadiri setengah lebih jumlah anggota Dewan. Secara teori, dengan komposisi saat ini, syarat tersebut bisa dipenuhi dengan mudah. Apalagi gabungan koalisi pendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, yaitu Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera, serta pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud Md., yakni PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan, menguasai 314 kursi Senayan. Jumlah itu melebihi koalisi pendukung Prabowo, yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat, dengan 261 kursi.
Rekayasa politik dilakukan jauh sebelum hari pemungutan suara 14 Februari 2024. Setidaknya proses itu berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah persyaratan calon dan memungkinkan Gibran maju sebagai calon wakil presiden. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi memutuskan Ketua MK Anwar Usman melanggar etik dan memerintahkan pencopotan adik ipar Jokowi itu dari jabatannya.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga menyatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari dan anggotanya melanggar etik. Mereka menerima pencalonan Prabowo-Gibran sebelum peraturan di penyelenggara pemilu itu diubah. Dua pelanggaran etik yang serius itu membuat pemilihan presiden cacat integritas dari awal. Jokowi kemudian melibatkan aparat dan program negara untuk memuluskan pemenangan calon presiden yang mendapatkan keuntungan dari perubahan-perubahan aturan itu.
Pasangan Prabowo-Gibran sudah hampir dipastikan bakal memimpin pemerintahan mendatang. Hingga tulisan ini dipublikasikan, mereka memperoleh 58 persen suara. Koalisi Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud bisa mengajukan gugatan sengketa hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi. Namun selisih suara yang sedemikian besar membuat langkah hukum ini menemui tembok tebal untuk mengubah hasil akhir pemilihan. Dengan demikian, jalan politik merupakan pilihan realistis untuk membuktikan berbagai cacat sepanjang proses pemilihan.
Jika berjalan, penggunaan hak angket memungkinkan DPR menyelidiki keterlibatan presiden dalam kecurangan pemilu. Mereka akan membentuk panitia khusus, yang bisa memanggil dan meminta keterangan siapa pun yang dianggap relevan. DPR telah dibekali aturan untuk memanggil paksa saksi yang menolak hadir. Pendek kata, hak angket akan menjadi perangkat kuat yang bahkan bisa mengancam posisi politik Jokowi. Syaratnya: anggota Dewan harus menggunakannya secara serius.
Keseriusan itu teruji di tengah pembagian kue kekuasaan setelah pemilu. Presiden Jokowi telah memasukkan Partai Demokrat ke pemerintahan, dengan menjadikan ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Koalisi Prabowo-Gibran juga hampir dipastikan mengajak partai anggota koalisi lain untuk bergabung dengan pemerintahan mendatang atas nama stabilitas politik. Tawaran posisi ini membuat elite partai bisa jadi tidak akan serius mempersoalkan aneka kecurangan yang terjadi selama proses pemilihan presiden. Mereka bahkan akan menggunakannya sebagai alat tawar-menawar. Apalagi, kecuali PKS, semua partai kini masih menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi.
Hak angket penting untuk menunjukkan pelaku kecurangan pemilu tidak boleh dibiarkan melenggang begitu saja. Tanpa proses politik, termasuk evaluasi dan reformasi sistem pemungutan suara, kecurangan akan terus dilakukan penguasa. Kesempatan publik mendapatkan pemimpin secara jujur dan adil pun tertutup. Elite partai yang tak serius mempersoalkan kejahatan politik itu akan tercatat dalam sejarah menjadi bagian dari perusak demokrasi Indonesia. (*)