Hilangnya Hak Memperoleh Pendidikan dalam Bahasa Ibu
”BAHASA daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu,” demikian bunyi Pasal 33 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) akhirnya mengunggah draf RUU Sisdiknas versi baru agar dapat diakses oleh publik setelah banyak dikritik karena prosesnya yang dinilai tertutup. Ayat mengenai bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada sistem pendidikan nasional di atas adalah salah satu yang menghilang pada RUU Sisdiknas.
Tidak ada pernyataan yang mendasar dalam kajian akademik atau pada data alasan mengapa ayat tersebut dihapuskan dari RUU Sisdiknas. Naskah akademik RUU Sisdiknas hanya menyatakan pentingnya pembelajaran bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa sebagaimana tertuang dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Dinyatakan juga fungsi bahasa Indonesia sebagai filter atas berbagai pengaruh budaya luar akibat globalisasi dan sebagai media untuk meningkatkan kemampuan literasi dan berpikir kritis. Namun, pernyataan tentang fungsi ini tidak dilengkapi dengan kajian akademik atau data apa pun sehingga menjadi sangat lemah dan tidak berdasar.
Sebaliknya, dalam Bunga Rampai Pembelajaran Berbasis Bahasa Ibu di Kelas Awal yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak) Kemdikbudristek pada 2021, pemerintah mengakui pentingnya membangun fondasi literasi melalui bahasa ibu. Dokumen penelitian ini menyatakan bahwa siswa yang menggunakan bahasa keseharian yang berbeda dengan bahasa di sekolah akan menghadapi kesulitan untuk memahami materi yang diajarkan di sekolah, dan kondisi ini berakibat buruk bagi mereka. Penelitian ini juga mengutip data dari RTI (Research Triangle Institute) yang menyatakan bahwa rendahnya kemampuan literasi ini mengakibatkan tingginya angka mengulang kelas dan berisiko putus sekolah.
Kemampuan literasi
Melalui dokumen kebijakan berjudul If You Don’t Understand, How Can You Learn? (2016), UNESCO juga menyatakan hal senada. Bahkan, UNESCO menyarankan setidaknya enam tahun pendidikan dalam bahasa ibu sebagai pengantar untuk mengurangi ketertinggalan kemampuan literasi, khususnya untuk anak-anak masyarakat adat sebagai kelompok minoritas.
Di Nusa Tenggara Barat, Sokola menemukan sebuah SMP yang pada 2021 memiliki 50 siswa kelas 7 yang belum lancar membaca, dan pada 2022 ditemukan 103 siswa belum lancar membaca pada sekolah yang berbeda. Data ini serupa dengan temuan ACDP (Analytical and Capacity Development Partnership) di Sumba, Nusa Tenggara Timur, pada 2015 yang menyatakan bahwa 30 persen siswa kelas dua SD kesulitan membaca, bahkan ada beberapa SD yang 50 persen siswa kelas dua kesulitan membaca.
Dari semua semua siswa yang diteliti, hanya 41 persen yang mampu menjawab dengan tepat lebih dari 50 persen pertanyaan dalam bahasa Indonesia. Namun, ketika pertanyaan diberikan dalam bahasa daerah, lebih dari 75 persen siswa dapat menjawab lebih dari 50 persen pertanyaan.
Dengan keragaman budaya yang dimiliki Indonesia, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemendikbud) yang telah memetakan dan memverifikasi bahasa di Indonesia (2018) menyatakan ada 652 bahasa daerah yang jumlahnya belum termasuk dialek dan subdialek. Data BPS 2010 juga menyatakan bahwa ada lebih dari 79 persen penduduk usia lima tahun ke atas di Indonesia yang bahasa pertamanya bukan bahasa Indonesia.
Namun, entah kenapa dokumen Puslitjak Kemendikbudristek dan UNESCO tersebut tidak menjadi rujukan RUU Sisdiknas. Naskah akademik RUU justru mengacu pada PISA, yakni penilaian pendidikan yang dilakukan lembaga ekonomi antarpemerintah negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Padahal, PISA tidak mampu mengukur kemahiran anak perempuan Kajang di Sulawesi Selatan yang menenun tope le’leng dengan pewarna dari daun tarung, atau ketepatan anak-anak rimba di Jambi memasang jerat sesuai dengan morfologi hewan buruan di hutan yang kompleks.
Setiap bahasa daerah menyimpan kekayaan budaya dan ekologis di wilayah penggunanya yang tidak dapat diwakili oleh bahasa lain mana pun. Banyak konteks kebudayaan, pengetahuan tradisional, dan keragaman biodiversitas yang tidak bisa diterjemahkan keluar dari bahasa di mana kebudayaan itu dipergunakan. Karena itu, penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang dibarengi dengan konteks lokal akan mendorong kemampuan literasi anak dan berkontribusi pada fondasi nalar kritisnya.
Keterlibatan bahasa daerah dan penggunaan konteks lokal juga akan mengurangi eksklusivitas sekolah di tengah komunitas sehingga dapat mendorong partisipasi orang tua murid dan komunitasnya. Sebaliknya, mengacuhkan bahasa daerah sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu akan memberikan dampak ekologi dan hilangnya kebinekaan budaya.
Tanpa menghapus Pasal 33 Ayat 2 pun, selama ini banyak sekolah, guru, bahkan aparat pemerintah daerah yang masih ragu melayani kebutuhan pendidikan anak-anak masyarakat adat yang sesuai konteks budaya dan bahasa. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip keberpihakan dalam pengajaran yang diwariskan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahkan bertentangan juga dengan Konvensi Hak Anak Pasal 30 yang menyebutkan bahwa anak-anak masyarakat adat tidak boleh diingkari haknya untuk menikmati budayanya sendiri, menganut dan mengamalkan agamanya, atau menggunakan bahasanya. (*)
Fadilla Mutiarawati, Aktivis Pendidikan/Spesialis Kurikulum Sokola Institute.