Wacana

Interpretasi Laporan Keuangan Pemda Sebagai Alat Ukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemda

KEMAMPUAN Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat. Untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah tersebut perlu ditetapkan standar atau acuan kapan suatu daerah dikatakan mandiri, efektif, efisien, dan akuntabel sehingga diperlukan suatu pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai tolak ukur dalam penetapan kebijakan keuangan pada tahun anggaran selanjutnya. Kinerja keuangan daerah adalah kemampuan suatu daerah menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan  asli daerah dalam memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dengan tidak bergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, bahwa yang dimaksud dengan Akuntansi adalah proses identifikasi, pencatatan, pengukuran, pengklasifikasian, pengikhtisaran transaksi dan kejadian keuangan, penyajian laporan dan penginterpretasian atas hasilnya. Akuntansi sebagai alat untuk mempertanggungjelaskan pelaksanaan amanah (sumber daya) oleh pihak eksekutif kepada pihak pemberi amanah (rakyat). Istilah yang digunakan adalah pertanggungjelasan (accountability), bukan pertanggungjawaban (responsibility). Dengan demikian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) merupakan instrumen pertanggungjelasan eksekutif (Kepala Daerah) atas penggunaan sumber daya rakyat. LKPD harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya karena APBD sebagian besar didanai dari pajak atau dana rakyat.

Dalam melayani rakyat, Pemerintah Daerah menggunakan sumber daya rakyat. Semua sumber daya tersebut harus dipertanggungjelaskan melalui proses akuntansi. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa laporan keuangan masih sangat terbatas digunakan untuk pengambilan keputusan. Artinya laporan keuangan belum bermanfaat. Salah satu penyebabnya adalah informasi yang terkandung dalam laporan keuangan tidak jelas dan tidak ramah bagi pembacanya, yang artinya pemerintah daerah belum melaksanakan proses akuntansi yang terakhir yaitu “menginterpretasikan laporan keuangan yang telah disusunnya”.

Interpretasi laporan keuangan merupakan alat yang digunakan dalam memahami masalah dan peluang yang terdapat dalam laporan keuangan. Pelaksanaan interpretasi  laporan keuangan dilakukan dengan menggunakan analisis rasio keuangan. Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga sektor publik khususnya pemerintah daerah belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, interpretasi laporan keuangan menggunakan analisis rasio keuangan terhadap APBD perlu dilaksanakan. Beberapa analisis rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah daerah yaitu Rasio Derajat Desentralisasi, Rasio Kemandirian Keuangan, Rasio Efektivitas terhadap Pendapatan Asli Daerah, Rasio Efisiensi Keuangan Daerah, Rasio Proporsi Belanja Langsung dan Tidak Langsung, dan Rasio Pertumbuhan.

Rasio derajat desentralisasi dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total Pendapatan Daerah. Pendapatan Daerah terdiri atas PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah. Rasio ini menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total Pendapatan Daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan desentralisasi.

Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan tanpa tergantung bantuan pihak eksternal (Pemerintah Pusat dan Provinsi). Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya PAD dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber eksternal, misalnya bantuan pemerintah pusat (berupa dana perimbangan) ataupun dari pinjaman. Rasio kemandirian bertujuan untuk menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal dan menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah

Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi  riil daerah. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 100%. Semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik.

Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingkan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan terhadap realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja keuangan pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100%. Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja keuangan pemerintah daerah semakin baik.

Rasio proporsi belanja langsung dan tidak langsung bermanfaat untuk kepentingan manajemen internal pemerintah daerah, yaitu untuk pengendalian biaya dan pengendalian anggaran. Belanja langsung adalah belanja yang terkait langsung dengan kegiatan (aktivitas) pemerintahan seperti Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, dan Belanja Modal. Sedangkan belanja tidak langsung merupakan pengeluaran belanja yang tidak terkait dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan secara langsung seperti Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, dan Belanja Tidak Terduga. Semestinya belanja langsung lebih besar dari belanja tidak langsung, sebab belanja langsung sangat mempengaruhi output kegiatan pemerintahan.

Rasio pertumbuhan mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari satu periode ke periode berikutnya. Rasio pertumbuhan bermanfaat untuk mengetahui apakah pemerintah daerah dalam tahun anggaran bersangkutan, kinerja keuangan APBD-nya mengalami pertumbuhan pendapatan atau belanja secara positif atau negatif. Tentunya diharapkan pertumbuhan pendapatan secara positif atau meningkat. Sebaliknya jika terjadi pertumbuhan negatif, maka hal itu akan menunjukkan terjadinya penurunan kinerja keuangan pemerintah daerah.

Kinerja keuangan pemerintah daerah merupakan tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah yang tercermin dalam LKPD.

Tujuan interpretasi laporan keuangan pemerintah daerah adalah untuk memenuhi tiga maksud, yaitu (i) untuk memperbaiki kinerja pemerintah, ukuran kinerja dimaksudkan untuk membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan efektivitas dalam memberikan pelayanan publik. (ii) untuk mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan, dan (iii) untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. (*)

 

Ery Setyawan, Kepala Seksi Pembinaan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Papua Barat.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.