Jokowi dan Masalah Pelanggaran HAM Berat
PRESIDEN Joko “Jokowi” Widodo berpidato setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu, di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 11 Januari lalu. Dia berpidato didampingi Ketua Dewan Pengarah Tim, Mahfud MD. Tim itu dibentuk Jokowi pada tahun lalu melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Dalam pidato kenegaraan tersebut, Jokowi mengakui bahwa telah terjadi 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu di Indonesia.
Sekilas, peristiwa itu akan membuat para pejuang kemanusiaan menebalkan harapan, yang bisa dikatakan menipis saat ini, terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Bagaimana tidak. Tidak jauh dari Proklamasi 1945 hingga kediktatoran pemerintahan Orde Baru tumbang, Indonesia selalu diwarnai dengan malapetaka pelanggaran HAM berat. Beberapa di antaranya adalah peristiwa yang disebutkan Jokowi dalam pidato itu.
Namun, jika kita mendengarkan secara saksama, pidato tersebut menyiratkan harapan yang semu. Kita seolah-olah dipaksa mengakui bahwa rekonsiliasi dan rehabilitasi korban masih jauh dari realisasi.
Mari kita melihatnya dari sisi regulasi. Indonesia memiliki dua regulasi induk yang memayungi penyelesaian pelanggaran HAM. Pertama, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berbeda dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial bentukan Jokowi, kedua payung hukum itu tidak memiliki pasal yang mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat dipisah menjadi dua cara, yakni secara yudisial dan non-yudisial.
Yang tak kalah penting, Undang-Undang Pengadilan HAM juga mengatur bahwa penyelesaian kasus harus dilakukan secara bertahap. Ini dimulai dari penyelidikan oleh Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), kemudian penyidikan oleh Kejaksaan Agung, dan akhirnya pembentukan Pengadilan HAM (Ad Hoc) yang dapat bersamaan dengan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial berdiri di tengah fakta bahwa kasus-kasus yang telah diselidiki oleh Komnas HAM dipingpong keluar-masuk kejaksaan. Jadi, apa motif sebenarnya dari Jokowi dan para pejabat yang berdiri di belakangnya saat berpidato itu?
Pengakuan pemimpin negara mengenai adanya pelanggaran HAM berat masa lalu bukanlah hal yang baru. Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah mengakuinya dan atas nama negara meminta maaf kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu. Bahkan, dalam kasus malapetaka 1965, Gus Dur berusaha menghapus Ketetapan MPRS yang melarang ajaran komunisme di Indonesia.
Presiden B. J. Habibie juga melakukan upaya serupa. Dia membentuk tim pencari fakta untuk kasus Daerah Operasi Militer Aceh, membentuk ruang keadilan bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Timor Timur, dan meminta maaf atas peristiwa Mei 1998.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pernah berjanji menyelesaikan kasus-kasus seperti invasi Timor Timur dan penculikan aktivis 1998. SBY juga disebut-sebut telah mengaktifkan aparatur politik dan keamanannya untuk mendorong penuntasan kasus pelanggaran HAM. Bahkan, Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM kala itu, memiliki harapan besar kepada SBY. Tapi hasilnya nihil.
Di masa Jokowi, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat tiga tim yang pernah dibentuk, Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran pada 2015; Dewan Kerukunan Nasional pada 2016; serta Tim Gabungan Terpadu tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu pada 2018. Semuanya seolah-olah tak dapat memenangkan hak korban dan bahkan Jokowi melibatkan terduga pelaku pelanggaran HAM berat, yakni Wiranto, dalam salah satu tim tersebut.
Saya tidak akan berkutat pada instrumen hukum yang sudah tersedia dan siap menjadi acuan penyelesaian kasus. Pemerintah sebenarnya terlalu pintar dan memiliki sumber daya manusia yang lebih dari cukup untuk mengetahui bahwa semua instrumen yang ada, baik internasional maupun nasional, cukup untuk menuntaskan dosa sejarah negara.
Masalah sebenarnya telah terlihat jelas jika kita melihat pola dalam sejarah. Pembentukan tim-tim khusus di atas tidak lebih dari sekadar lip service atau dagangan politik. Dalam pidato Jokowi baru-baru ini, kita bahkan dapat melihat beberapa kerancuan. Pertama, Jokowi tidak mengungkapkan kata maaf setelah mengakui bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM berat memang nyata terjadi dalam dinamika sosial negeri ini.
Kedua, harapan Jokowi sebenarnya bukan untuk memenangkan atau mengembalikan sepenuhnya hak-hak korban dan keluarga yang direnggut, melainkan memperkuat “kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Faktanya, tak sedikit dari pelanggaran HAM berat masa lalu dilakukan dengan slogan-slogan semacam itu.
Gagalnya penanganan pelanggaran HAM berat dan undue delay yang terus dilakukan negara ini mengakibatkan efek domino, yang salah satunya mengakibatkan sulitnya korban dalam mengakses kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi yang semestinya dapat dengan cepat diberikan oleh pemerintah sejak dulu. Meskipun pemulihan adalah hak korban, negara selama ini selalu menggantungkannya pada syarat-syarat lain yang sama sekali tidak memudahkan korban untuk mengaksesnya.
Tindakan negara ini telah menimbulkan lingkaran kerugian bagi korban selama puluhan tahun hingga melewati setengah abad. Jika korban hendak mengakses pemulihan, mereka harus menunggu pelaku diputus bersalah lebih dulu oleh Pengadilan HAM atau korban harus memaafkan pelaku dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tapi negara selalu membiarkan pelaku melenggang bebas di pengadilan dan tidak kunjung memperbaiki Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tim Penyelesaian Non-Yudisial yang dibentuk pada akhir masa kepemimpinan Jokowi dan menjelang tahun politik seolah-olah menjadi penyelamat dan harapan, meskipun sesungguhnya penderitaan dan kerugian berkepanjangan yang dialami korban selama ini juga dirancang oleh negara.
Semua ini membawa kita pada kesimpulan bahwa cara-cara serupa, pola pelanggarannya, dan cara negara merespons setelah itu akan terulang di kemudian hari. Pelanggaran-pelanggaran HAM berat bisa terulang dengan modus serupa selama para pelaku, alih-alih diseret ke meja hijau, malah mendapatkan posisi-posisi jabatan istimewa kenegaraan. Pemimpin negara boleh saja silih berganti. Tapi mereka yang diduga kuat melakukan pelanggaran HAM berat masa lalu masih kuat dalam pemerintahan. Dengan kata lain, persoalannya terletak pada politik kekuasaan.
Jika kita sudah memahami mengapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu selalu jalan di tempat karena persoalan kekuasaan, lantas rakyat harus bagaimana? Mari kita renungkan hal tersebut sembari terus merawat ingatan sejarah kelam tersebut. Merawat dengan melawan. Merawat dengan menolak bungkam. (*)
Fatia Maulidiyanti, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan.