Wacana

Kampanye Digital ”Yes”, Propaganda ”No”!

MENARIK membaca analisis Antony Lee berjudul “Lain Partai Politik, Lain Pula Strategi Twitnya” yang terbit di harian Kompas pada 6 Mei 2023. Memantau akun Twitter 17 partai politik sejak 27 Februari 2022, terlihat bahwa partai-partai itu telah aktif menyosialisasikan pandangan mereka atas berbagai masalah publik yang berlangsung di media sosial, termasuk dalam hal ini tokoh dari setiap partai.

Di tengah terpaan revolusi digital yang memengaruhi praktik kehidupan demokrasi, termasuk dalam kampanye pemilu, fenomena ini sepenuhnya dapat dimengerti. Pada tahun politik di mana pemilu akan dilaksanakan dalam hitungan bulan, dapat kita lihat bahwa sesungguhnya sebagian besar politisi dan partai politik telah gencar memikat hati pemilih melalui berbagai platform media sosial, dari mulai Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, ataupun Tiktok.

Berbagai konten kampanye itu kemudian hadir di genggaman tangan kita melalui berbagai cara. Terkadang konten itu muncul ”tanpa sengaja” saat kita membuka akun media sosial kita. Terkadang ia hadir begitu saja di dalam berbagai grup aplikasi percakapan yang kita ikuti.

Kemunculan para politisi dan partai politik di berbagai laman media sosial untuk membangun citra diri mereka sebenarnya dapat dimengerti. Menurut survei CSIS yang dirilis pada 26 September 2022, lebih dari 50 persen pemilih Indonesia adalah generasi Z dan milenial. Mereka berada di rentang usia 17-43 tahun saat Pemilu 2024.

Sementara itu, hasil penelitian yang dirilis Aliansi Penyelenggara Jasa Internet (APJI) pada tahun yang sama menunjukkan bahwa penetrasi internet pada dua generasi itu ada di kisaran 99 persen dan nyaris separuh di antaranya menghabiskan waktu enam jam atau lebih di hadapan layar telepon genggam.

Dapat dikatakan mereka adalah generasi yang begitu membuka mata di pagi hari langsung membuka telepon genggam dan belum akan tidur sebelum ”berpamitan” dengan gawai mereka. Dengan demikian, hadir di media sosial adalah cara para politisi untuk mendekatkan diri mereka dengan generasi ini.

Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu memang disebutkan bahwa kampanye adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilu. Mencermati peraturan itu memang belum dapat dikatakan bahwa sudah ada aktivitas kampanye mengingat bahkan peserta pemilu secara legal formal juga belum ada.

Selanjutnya, KPU juga mengumumkan bahwa kampanye dalam bentuk tatap muka dan di media masa baru secara resmi mulai pada 14 Oktober 2023. Dalam konteks pemilu presiden/wakil presiden, sulit kita mungkiri bahwa di antara politisi yang membangun citra diri itu hampir pasti akan menjadi peserta pemilu secara resmi pada akhirnya nanti.

Sisi positif

Sesungguhnya, kampanye digital memiliki berbagai manfaat yang signifikan dalam mempromosikan partisipasi demokratis dan menghubungkan kandidat dengan pemilih. Media sosial memungkinkan kandidat untuk mencapai pemilih di seluruh wilayah, bahkan di daerah yang sulit dijangkau melalui media massa tradisional. Dengan cara ini, kandidat dapat memperluas basis pendukung dan memperkenalkan diri mereka kepada pemilih yang belum mengenal mereka sebelumnya.

Kampanye digital juga dapat memotivasi pemilih untuk terlibat dalam proses pemilihan umum. Melalui media sosial, kandidat dapat mempublikasikan program dan pandangan mereka secara transparan dan mudah diakses, sehingga pemilih dapat membuat keputusan yang tepat saat memilih.

Dari sisi biaya, kampanye melalui media sosial biasanya lebih murah daripada kampanye konvensional, seperti iklan televisi dan surat kabar. Hal ini membuat kampanye pemilu lebih terjangkau bagi kandidat yang memiliki anggaran terbatas.

Hal yang paling utama, media sosial dapat mendorong interaksi yang lebih dekat dengan pemilih. Melalui media sosial, kandidat dapat terhubung dengan pemilih secara langsung dan menjawab pertanyaan mereka. Interaksi ini memungkinkan kandidat untuk membangun koneksi yang lebih erat dengan pemilih dan memperoleh masukan langsung tentang isu-isu yang penting bagi mereka.

Internet memungkinkan kandidat untuk memilih audiens yang tepat dan menyesuaikan pesan mereka sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan pemilih tersebut. Dalam kampanye pemilu melalui media sosial, kandidat dapat menyampaikan pesan yang lebih fokus dan spesifik sehingga lebih efektif dalam memengaruhi pemilih.

Bahaya propaganda

Sayangnya, berbagai penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam tiga pemilu terakhir, yakni Pemilu 2014, Pilgub Jakarta 2017, dan Pemilu 2019, penggunaan kabar bohong dan ujaran kebencian yang berbasis kepada eksploitasi politik identitas berbasis etnis dan agama turut mewarnai kampanye digital (Lim, 2017; Tapsell, 2022). Tapsell (2022) menunjukkan bahwa bersama dengan kampanye ”resmi” yang dilakukan pendukung setiap kandidat di media arus utama, kampanye tersembunyi menyebarkan disinformasi dan propaganda dilakukan di media sosial.

Serangkaian penelitian yang dilakukan akademisi di Universitas Oxford (Howard dkk, 2019; Bradshaw dkk, 2020) menunjukkan bahwa penggunaan propaganda komputasi yang dilakukan oleh pasukan siber telah mewarnai kampanye pemilu pada setidaknya 81 negara di dunia, termasuk Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh tim akademisi di LP3ES, KITLV Leiden, Drone Emprit, dan Universitas Amsterdam (Wijayanto dkk, 2022) mengonfirmasi temuan tim Oxford tersebut.

Sudah banyak penelitian menunjukkan bahwa kampanye yang berisi propaganda dan manipulasi opini publik dapat berujung kepada polarisasi politik yang mendangkalkan kualitas ruang publik selama pemilu dan membunuh dialog yang rasional dan mencerdaskan. Dalam situasi polarisasi politik afektif, politik sudah tidak lagi sekadar perebutan kekuasaan, tetapi juga emosi dan hasrat untuk memenuhi ego bahkan keberlangsungan hidup.

Pelabelan peyoratif yang menggunakan nama binatang: cebong versus kampret, yang pernah mewarnai ruang publik menunjukkan kebenaran teori itu. Di sini, pembelahan antara kami (us) dan mereka (them) mencapai titik yang sangat ekstrem. Dalam keadaan seperti ini, penilaian benar atau salah bukan lagi tentang fakta atau bukti namun lebih tentang apakah ia didalilkan oleh kelompok kami atau kelompok mereka.

Demi terwujudnya pemilu berkualitas dan demokrasi yang sehat, kampanye yang menghalalkan segala cara, termasuk penggunaan propaganda yang berisi disinformasi, perlu dihentikan. Para elite politik perlu menyadari bahwa kampanye yang dilakukan hendaknya tidak sekadar mengejar kemenangan dalam pemilu semata, tetapi juga memberikan yang edukasi dan informasi yang berguna bagi masyarakat.

Kampanye harus dilakukan dengan berbasis data yang valid, menyentuh isu-isu yang penting bagi masyarakat, untuk kemudian memberikan solusi yang jelas dan konkret. Dengan demikian, kampanye dapat menjadi festival gagasan yang mencerdaskan pemilih dan merawat akal sehat bangsa ini. Akhirnya, kampanye digital ”yes”, propaganda ”no”! (*)

 

Wijayanto,  Pengajar Politik Digital dan Demokrasi di Universitas Diponegoro, Direktur Pusat Media dan Demokrasi di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: