Kasus Paniai dan Masa Depan Pengadilan HAM
PADA Desember 2021, Kejaksaan Agung akhirnya menindaklanjuti Laporan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atas Peristiwa Paniai 2014, dengan mengumumkan hasil penyidikan kasus Paniai. Pengumuman penyidikan ini seolah-olah merespons pidato Presiden Jokowi dalam peringatan Hari HAM Sedunia yang menyebutkan soal penuntasan pelanggaran HAM berat dalam dua tahun terakhir. Perkembangan ini sepatutnya diapresiasi karena sesuai dengan apa yang selama ini jadi tuntutan. Namun, dengan hasil hanya satu tersangka yang akan diseret ke pengadilan HAM Paniai, keraguan mulai muncul. Ada banyak kejanggalan dalam kasus ini.
Tersangka itu adalah Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu. Perwira penghubung di Komando Distrik Militer Paniai, Papua, itu didakwa dengan pasal pertanggungjawaban rantai komando atas pembunuhan dan penganiayaan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan HAM. Peristiwa Paniai terjadi dalam dua hari, yakni penganiayaan pada 7 Desember 2014 di malam hari yang berlanjut esoknya dengan pembunuhan terhadap massa aksi yang memprotes penganiayaan tersebut. Empat orang tewas dan 21 orang luka-luka dalam peristiwa itu.
Kejanggalan lain adalah keengganan kejaksaan melibatkan para penyintas dan keluarga korban, baik untuk menggali keterangan maupun menunaikan hak para korban, yang harus dikoordinasikan dengan Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dalam dua pernyataan di media, komunitas penyintas dan keluarga korban menyatakan ogah mengikuti proses pengadilan karena hanya akan berujung pada kekecewaan. Terlebih pengadilan HAM atas peristiwa Paniai 2014 akan digelar di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, meskipun Undang-Undang Otonomi Khusus Papua telah menentukan bahwa pengadilan HAM bisa diselenggarakan di wilayah Papua. Tentu hal ini mengulang apa yang terjadi dalam pengadilan HAM atas peristiwa Abepura pada 2000. Jarak yang jauh antara Papua dan Makassar menjadi halangan bagi para saksi dan korban.
Arah pengadilan HAM yang menuju kebuntuan juga ditandai dengan proses perekrutan dan seleksi hakim ad hoc pengadilan HAM yang mengecewakan. Kekecewaan dimulai dengan lambatnya Mahkamah Agung dalam melakukan seleksi. Penyidikan, yang sudah dimulai pada Desember 2021, baru disambut oleh Mahkamah dengan seleksi hakim pada 20 Juni 2022. Panitia seleksi berkejaran dengan proses persidangan saat Kejaksaan Agung melimpahkan berkas dakwaan ke pengadilan pada 15 Juni 2022.
Kenyataan ini membuat jalannya seleksi tidak maksimal dan akhirnya meloloskan delapan nama hakim ad hoc yang kualitasnya dipertanyakan. Dalam proses wawancara para calon hakim, Kontras melihat banyak dari mereka yang tidak menguasai perihal pelanggaran HAM berat. Mereka gagal menjelaskan unsur-unsur kejahatan kemanusiaan. Begitu pun dengan minimnya pengetahuan mereka mengenai konsep rantai komando dan penguasaan akan kemahiran hukum acara sebagai syarat mutlak seorang hakim.
Terpilihnya delapan dari minimal 12 hakim ad hoc, sebagaimana disyaratkan Undang-Undang Pengadilan HAM, saat ini sepatutnya menjadi ruang perbaikan bagi Mahkamah. Ruang ini seharusnya dipergunakan untuk mencari hakim lain yang kompeten serta siap jika dilakukan proses banding untuk peristiwa Paniai dan belasan kasus HAM lain jika dilimpahkan oleh Kejaksaan Agung. Mengingat pentingnya peran hakim ad hoc dalam pengadilan HAM serta masa jabatannya yang dimungkinkan hingga 10 tahun, Mahkamah mendapat tantangan untuk bisa memenuhi ekspektasi publik dalam proses seleksi hakim berikutnya dan menggelar pengadilan HAM berkualitas, khususnya pengadilan kasus Paniai.
Pengadilan HAM adalah jalan yang ditempuh untuk mengantar bangsa Indonesia pada keadilan atas berbagai kejahatan kemanusiaan pada setidaknya 15 pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM. Tiga pengadilan HAM pernah dilangsungkan, yakni atas apa yang dilakukan ABRI di Timor Timur dan Tanjung Priok pada 1984 serta yang dilakukan kepolisian di Abepura pada Desember 2000. Dari 34 nama yang pernah dibawa ke pengadilan HAM, tidak satu pun yang dinyatakan bersalah. Dalam proses pengadilan HAM terakhir, yakni kasus Timor Timur, terdakwa Eurico Guterres lolos dari jerat hukum karena permohonan peninjauan kembali dari petinggi milisi Aitarak ini dikabulkan Mahkamah Agung pada 2008.
Isu penuntasan pelanggaran HAM berat sering kali menjadi komoditi panas saban penyelenggaraan pemilihan umum. Isu ini pernah menjadi “kartu truf” di balik kemenangan Jokowi atas Prabowo Subianto, baik dalam pemilihan umum pada 2014 maupun 2019. Belakangan, banyak orang merevisi mimpinya bahwa di era Presiden Jokowi para terduga penjahat HAM akan dibawa ke pengadilan. Nyatanya, bukan hanya tidak dibawa ke pengadilan, mereka malah diajak mengisi kekuasaan. Kontras menyebut tren ini sebagai “penjahat jadi pejabat”.
Terselenggaranya pengadilan HAM, termasuk pengadilan HAM Paniai, bukanlah tujuan akhir. Jika keadilan tak kunjung terwujud, kegagalan dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat akan menjadi kenangan selama Presiden Jokowi menjabat. (*)
Ahmad Sajali, Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).