Kejahatan Kerah Putih di Kasus Penimbunan Minyak Goreng
PERKEMBANGAN kejahatan konvensional tampaknya akan memudar. Sebaliknya, perkembangan kejahatan modern akan dan bahkan telah meningkat sangat pesat. Bahkan dapat dikatakan tidak ada satu pun kejahatan yang dikenal dengan white collar crime ialah suatu kebetulan atau bersifat alamiah. Itu karena semuanya diciptakan dan dibentuk dengan pertimbangan rasional (calculated risk) sehingga cocok disebut dengan white collar crime atau penjahat berdasi.
Adapun berbagai macam alasan yang mengemuka dari para pelaku usaha; karena kebijakan pemerintah menetapkan harga minyak goreng patokan jumlah/stok yang dijual selalu berubah-ubah maka produksi dan distribusi menjadi berubah-ubah dan tersendat-sendat. Bahkan penimbunan minyak goreng yang terjadi akhir-akhir ini dan menyengsarakan masyarakat, dipandang pelaku usaha sebagai jalan keluar/solusi untuk mencegah fluktuasi harga pasar.
Padahal, dalam kenyataan hal tersebut justru menimbulkan masalah baru yang bersifat serius. Penimbunan minyak goreng dan perubahan harga berkali-kali telah menimbulkan ketidakpastian kalangan konsumen. Pada gilirannya menimbulkan sikap reaktif masyarakat dan secara politis memicu antipati terhadap pemerintah (Kementerian Perdagangan). Sekiranya penegak hukum, terutama para hakim memahami metode pendekatan analisis ekonomi mikro tentang dinamika hukum dalam masyarakat, tidak akan terjadi pelaku usaha yang tak beriktikad baik lolos dari jerat hukum dan konsumen masyarakat, baik yang mampu maupun tidak mampu menjadi korban.
Jika pelaku usaha dijatuhi hukuman yang rendah sama dengan penjatuhan hukuman kepada pelaku msyarakat dari kalangan rendah, kalkulasi kejahatan versus hukuman tak akan dapat dipahami orang awam. Itu karena kejahatan dan akibat penimbunan minyak goreng telah menghambat perekonomian nasional, yang mana keuntungan dari penimbunan minyak goreng sangat signifikan. Akibat terparah ialah tingkat kepercayaan masayarakat menurun secara signifikan terhadap kemampuan pemerintah mengelola perdagangan, khususnya terhadap bahan pangan nasional yang strategis.
Apalagi, keuntungan signifikan yang didapat kemudian dikelola melalui langkah pidana pencucian uang, yang tidak mudah dilakukan pencegahan dan pemberantasannya. Terlebih bila hal tersebut sampai melampaui batas teritorial negara. Atas dasar uraian itu dapat dikatakan bahwa penyidikan dan penelusuran hasil kejahatan penimbunan minyak goreng tanpa dilakukan penelusuran aliran dananya ialah sandiwara yang terang-terangan ditayangkan kepada publik.
Untuk memaksimalkan pencegahan dan penindakan pelaku penimbunan minyak goreng diperlukan semangat, khususnya Kementerian Perdagangan, pelaku usaha, produsen, distributor, dan penegak hukum untuk bekerja dan saling membantu mengungkap kasus tersebut. Pertimbangan teoritik dalam mengkaji masalah mafia minyak goreng ialah dengan menempatkan metoda analisis ekonomi mikro yang menggunakan prinsip cost and benefit. Hal itu akan berakhir dengan kesimpulan bahwa pelaku kejahatan sebagai rational actor sehingga pembedaan antara dolus dan culpa dalam praktik harus dikesampingkan.
Yang harus diterapkan adalah bahwa kejahatan penimbunan tersebut termasuk perbuatan yang dengan sengaja dan melawan hukum serta direncanakan (dolus premeditatus). Sudah sepatutnya hal itu memperoleh hukuman maksimal terlebih dalam keadaan darurat sosial. Bahkan karena tindakan pelaku kejahatan kerah putih dalam kasus penimbunan minyak goreng telah mengakibat kerugian perekonomian nasional, dakwaan yang tepat ialah tindak pidana korupsi dengan ancaman pidana mati untuk menimbulkan efek jera.
Kejahatan penimbunan minyak goreng tidak cukup hanya diterapkan UU Perlindungan Konsumen. Kegiatan pelaku kejahatan kerah putih dalam kasus itu merupakan pelanggaran terhadap UU Larangan Persaingan Usaha dan Antimonopoli karena melakukan kegiatan dari hulu ke hilir. Dimulai sejak produksi, distribusi sampai ke pasaran dan konsumen dikelola oleh satu perusahaan yang sama.
Dalam konteks kasus itu, seorang hakim federal terkenal di AS, Richard Posner, mengatakan bahwa seorang hakim ialah seorang yang rasional untuk mencapai tujuan kompleks dari keputusannya di pengadilan atau disebut judicial utility factors. Intinya bagi Posner, hakim itu harus arif dan bijaksana di dalam menangani perkara kejahatan kerah putih. Itu karena dalam kenyataan kehidupan masyarakat baik di negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia, pelaku kejahatan kerah putih selalu berkelindan dengan pemilik kekuasaan di level birokrasi. Bahkan tidak tanggung-tanggung sampai pada level menteri atau paling tidak direktur jenderal.
Merekalah yang selalu dilindungi UU karena kedekatannya dengan kekuasaan, dan memiliki modal besar untuk kegiatan sejak dari hulu ke hilir. Pergerakan mereka selalu menimbulkan perubahan kebijakan pemerintah. Kegiatan usaha poduksi bahan pangan nasional, mutlak harus berada di bawah pengawasan ketat dari pemerintah selaku regulator dan eksekutor peraturan dalam kegiatan tersebut dengan fungsi preventif dan represif.
Penimbunan besar-besaran minyak goreng berdampak luar biasa terutama terhadap pemasukan keuangan negara termasuk dari pajak dan/atau devisa. Satuan Tugas Pangan Mabes Polri sudah dibentuk bukan untuk bergerak aktif ketika terjadi penimbunan, akan tetapi justru untuk mencegah terjadinya penimbunan. Jika bergerak setelah terjadi penimbunan, tidak bedanya dengan ‘pemadam kebakaran’. Masalah penimbunan bahan pangan masyarakat luas adalah masalah nasional yang menuntut koordinasi aktif antara kementerian/lembaga (K/L) dan penegak hukum (Kepolisian), termasuk khususnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk untuk mencegah terjadinya monopoli oleh pelaku usaha, dari produksi barang di hulu sampai di hilir.
Namun, peranan awal dan strategis ada pada Kementrian Perdagangan, disusul Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Koordinasi intelijen antar instansi K/L dan Kepolisian dapat dipastikan penimbunan tidak akan terjadi. Apalagi diperkuat tim hukum yang ahli dalam bidang ekonomi dan keuangan. Selain hal-hal tersebut pemerintah pusat wajib menyediakan dana yang cukup untuk melancarkan tugas Satgas Pangan Nasional.
Itu jika memang pemerintah serius dan amanah membantu masyarakat yang menjadi korban terlemah dan terdesak dan tertindas oleh perilaku organisasi kejahatan pangan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa konglomerasi di Indonesia dan di negara lain, pada umumnya selalu berkelindan dengan kekuasaan. Jika bukan kekuasaan yang mengubah sikap pelaku usaha, pelaku usaha yang dapat mengubah kebijakan pemilik kekuasaan. (*)
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran.