Wacana

Kekerasan Siber dan Urgensi Pendidikan Seksual Anak

BELAKANGAN ini, dunia maya kembali diramaikan dengan kasus penyebaran video aktivitas seksual eksplisit seorang artis perempuan tanpa seizin yang bersangkutan. Kasus ini adalah contoh lain kekerasan siber berbasis gender dan kejadian serupa terus berulang. Lagi-lagi, dalam hal ini, perempuanlah yang paling dirugikan.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023 menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan siber berbasis gender masih tinggi. Hal ini sangat memprihatinkan karena, ketika pemerintah serta sebagian masyarakat masih belum bersepakat tentang penerapan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi untuk remaja, anak-anak kita sudah bertumbangan menjadi korbannya.

Anggapan bahwa makin sedikit yang diketahui anak mengenai seksualitas akan makin menjauhkan mereka dari kemungkinan melakukan hubungan seksual di luar nikah ternyata salah. Menggunakan pendidikan agama untuk mencegah anak melakukan hubungan seksual juga tidak sepenuhnya terbukti.

Dalam beberapa program remaja di Jakarta, Wahana Visi Indonesia (WVI) mendapat laporan dari 20-an anak yang mengaku sudah melakukan hubungan seksual, termasuk dengan pacar orang dewasa, tapi belakangan baru diketahui bahwa yang terjadi sebetulnya termasuk kategori kekerasan seksual. Hal ini baru mereka sadari setelah mendapat informasi dari konselor remaja WVI.

Sedih mendengar penuturan anak-anak tersebut. Di awal tampaknya mereka memberikan persetujuan (consent) ketika akan berhubungan seksual. Tapi, karena relasi kuasa yang tidak setara, sangat mungkin sang anak melakukannya karena rasa takut ditinggalkan, takut tidak dicintai, sudah dimanipulasi (grooming), atau karena bujuk rayu lainnya.

Demikian pula dengan kekerasan siber berbasis gender yang sering kali menimpa anak-anak, terutama anak perempuan. Dengan dalih ekspresi kasih sayang, anak-anak mendokumentasikan adegan-adegan seksual yang tanpa mereka sadari bahwa suatu saat dokumentasi tersebut bisa menjadi bumerang bagi mereka.

Tanpa pengetahuan yang cukup, anak menjadi tidak memiliki kemampuan melindungi diri mereka sendiri dari kemungkinan menjadi korban kekerasan seksual. Ketika memasuki usia remaja, salah satu bentuk pelindungan kita terhadap anak adalah memberikan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi sesuai dengan usianya.

Menghalangi anak untuk mendapat pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi akan membuka peluang bagi mereka mencari sendiri dari sumber yang kurang tepat atau bahkan menyesatkan. Di media sosial saat ini, berbagai informasi mudah sekali didapatkan, termasuk tentang seksualitas. Sayangnya, banyak pihak yang dengan sengaja memanfaatkan peluang tersebut untuk menyebarkan informasi sesat atau mempengaruhi secara negatif.

Selain itu, pendidikan tentang kesetaraan sangat penting untuk segera diberikan kepada anak-anak. Jika melihat dari banyaknya kasus yang terjadi, sering kali ada relasi kuasa yang menyertai di dalamnya, seperti antara perempuan dan laki-laki, anak yang lebih tua ke yang lebih muda, guru dan murid, serta orang tua dan anak.

Tanpa pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi serta kesetaraan, bukan hanya anak perempuan yang rentan menjadi korban. Salah satu penelitian kami menunjukkan bahwa sejumlah anak laki-laki mendapat tekanan dari anak laki-laki lain atau laki-laki dewasa untuk menunjukkan kejantanan dengan melakukan hubungan seksual dengan pacarnya atau perempuan lain.

Menurut teori perkembangan psikososial Erik Erikson, remaja adalah usia ketika anak sedang berusaha menemukan identitasnya. Proses belajar mengambil keputusan juga terjadi di usia ini. Karena itu, beban besar ada di pundak orang tua atau pengasuh untuk melindungi anak, termasuk ketika ada relasi intim antara anak dan orang dewasa.

Jika kita membiarkan anak-anak terus berada dalam ketidaktahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi serta konsekuensinya, kemampuan mereka mengambil keputusan juga mungkin akan salah. Bagaimana kita dapat berharap anak-anak bisa mengambil keputusan yang tepat jika kita tidak mau mendampingi anak atau informasi yang kita berikan bersifat parsial atau bahkan hanya bermaksud menakut-nakuti.

Usia remaja adalah persiapan anak menghadapi dunia yang lebih luas. Kita tidak bisa selamanya menempatkan mereka di bawah pengawasan kita sebagai orang tuanya. Di tengah masyarakat yang patriarkis, anak-anak perempuan perlu diajarkan untuk memiliki cita-cita dan rasa percaya diri yang tinggi, serta menghargai tubuh mereka.

Anak laki-laki memiliki kerentanan berbeda. Laki-laki tidak bisa hamil sehingga pemangsa membidik mereka karena dianggap tidak ada “bekasnya”. Selain itu, konstruksi sosial yang mewajibkan laki-laki harus kuat, tidak boleh cengeng, dan bisa menyelesaikan masalah sendiri membuat kasus kekerasan seksual pada anak laki-laki tidak mudah terungkap serta korban tidak mendapat layanan yang memadai. Jika tidak ditangani dengan baik, korban anak laki-laki di masa mendatang berpotensi menjadi pelaku.

Selain itu, anak laki-laki sejak dini perlu diajari menghargai perempuan. Di masyarakat patriarki, anak laki-laki bisa saja belajar dari lingkungan dan menjadikan teman-teman perempuannya sebagai obyek eksploitasi seksual semata, seperti yang terjadi pada orang dewasa di sekitar mereka.

Kita sebagai orang tua juga harus mulai belajar merelakan anak-anak beranjak dewasa dengan membekali mereka informasi yang lengkap serta berani membuka ruang diskusi ketika anak-anak bertanya. Jangan sampai sempitnya pengetahuan anak tentang kesehatan reproduksi, pendidikan seksual, dan kesetaraan akan berujung pada kekerasan. (*)

 

Emmy Lucy Smith, Child Protection Team Leader Wahana Visi Indonesia

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.