Wacana

Kekosongan Faksi Aktivis Menjelang Pemilu

SETELAH persamuhan Budiman Sudjatmiko dan Prabowo Subianto dideklarasikan di media, kontroversi besar segera meruap. Budiman, pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kritis dan terlarang di era Orde Baru, dianggap berkhianat terhadap idealisme aktivis 1998, yang bukan saja anti terhadap Presiden Soeharto, tapi juga terhadap seluruh koneksi otoritarianisme. Atas dasar alasan inilah nama Prabowo sering diletakkan sebagai sisa-sisa aura Soeharto yang harus ditolak atas nama sejarah.

Di luar perdebatan tersebut, pertemuan Budiman dengan Prabowo membuka lagi diskusi tentang seberapa penting faksi aktivis beserta narasi aktivismenya dalam spektrum kontestasi pemilihan umum, terutama Pemilu 2024. Kekhawatiran para sarjana, misalnya yang diungkapkan Mietzner (2013), kembali relevan untuk ditulis di sini: apakah kita sedang menyaksikan lenyapnya kelompok aktivis yang melebur ke dalam struktur elitis? Sistem macam apa yang berhasil “mendamaikan” dua oposisi biner antara nilai-nilai aktivis pro-demokrasi dan aktor-aktor elite anti-demokrasi?

Sejumlah studi (Antlov, 2003; Carnegie, 2008) sebetulnya telah dengan murung menyebutkan satu fakta penting: terjadi migrasi besar-besaran kelompok intelektual kritis ke dalam birokrasi. Mereka yang berlatar anggota lembaga swadaya masyarakat, jurnalis politik, pejuang hak asasi manusia, ataupun tokoh-tokoh perjuangan hak buruh beramai-ramai masuk ke jejaring kekuasaan. Maka, terjadilah transformasi sangat cepat yang menggeser status mereka, dari aktivis masyarakat sipil menjadi elite baru.

Keterlibatan intens aktivis dalam kompromi politik juga merupakan kesempatan untuk mempertanyakan ulang apakah politik praktis adalah jalan yang paling masuk akal saat ini untuk “berjuang”. Situasi ini menjadi alasan apologetik para aktivis yang memutuskan berjuang dan bertarung dari dalam sistem. Seolah-olah cara formal ini adalah alternatif terakhir sekaligus terkuat yang dimaksudkan untuk mendorong roda demokrasi dari dalam. Mempertahankan mode gerakan kritis di luar pagar kekuasaan bukan saja dinilai tak lagi efektif, tapi juga sepi dari ekspose media dan potensi dukungan publik. Jawaban realistis semacam ini menciptakan mode baru aktivisme politik yang tak lagi berpusat di jalan dalam skala kelompok kecil. Para pejuang pro-demokrasi mulai melihat bahwa ruang kekuasaan di pemerintahan dan parlemen harus direbut dan diselamatkan.

Cara-cara politik formal yang mensyaratkan keanggotaan dan afiliasi resmi atas organisasi politik kepartaian mungkin memberi janji satu kepastian kekuasaan yang lebih konkret, tapi ia berisiko besar. Peneliti politik Indonesia mutakhir telah membaca kecenderungan bahwa sistem demokrasi kita semakin bersifat eksklusif dan terbatas. Transisi kekuasaan hanya bisa dimengerti sebagai perpindahan mekanik dari satu kekuatan oligarkis menuju kekuatan oligarkis yang lain (Aspinall, 2015; Reuter, 2015; Wadipalapa, 2022). Pada saat yang sama, kita juga melihat melemahnya kekuatan masyarakat sipil sebagai akibat langsung dari elitisme di tingkat atas.

Dari sini kita melihat nama-nama besar dalam gerakan anti-Orde Baru dan demonstrasi masif reformasi 1998 pada akhirnya bergabung dengan partai-partai politik, tapi tak juga terlihat sebuah keberlanjutan gerakan bernapas aktivisme. Mereka pada mulanya sangat diharapkan mengambil inisiatif dan membangun poros baru aktivisme politik: PDIP kondang dengan nama-nama seperti Budiman Sudjatmiko, Gerindra dengan Desmond Mahesa, Partai Keadilan Sejahtera dengan Fachri Hamzah (kini di Partai Gelora), dan seterusnya. Pada kenyataannya, karakter kepartaian yang dihuni para aktivis ini justru terus memburuk, dengan ciri politik dinasti-oligarkis yang semakin kuat dan tak tergoyahkan.

Fakta ini menjelaskan kegagalan para aktivis dalam menyelesaikan paradoks dalam dirinya sendiri tatkala memutuskan bergabung ke lingkaran elite. Benturan nilai secara alamiah segera terjadi ketika beberapa aktivis, yang dulunya kritis terhadap kekuasaan otoriter, pada akhirnya memilih berdamai dan berada dalam posisi subordinat serta harus bekerja dengan aktor-aktor elite yang pernah mereka lawan.

Penyesuaian ini tentu saja tidak pernah mudah, terutama karena situasi tersebut menghadirkan dilema moral: sampai pada batas mana sebuah kompromi harus diambil? Adakah batas waktu perjuangan di dalam sistem sebelum menarik diri dan kembali ke luar? Persoalan besarnya adalah bukti-bukti empiris memperlihatkan bahwa sistem politik kontemporer kita yang predatoris nyaris selalu berhasil menciptakan kompromi tanpa henti. Ia melayani dan memenuhi kepentingan para aktornya tanpa mempedulikan latar belakangnya. Bahkan anutan ideologi tak lagi penting selama masing-masing posisi dan kepentingan dapat bekerja sama demi keuntungan-keuntungan politik. Kehadiran aktivis dalam lembaga-lembaga pemerintahan juga belum secara signifikan mempengaruhi dan menolong efektivitas kebijakan publik ataupun membawa perubahan positif dalam masyarakat.

Bagian paling telak dalam membuktikan hal tersebut adalah makin habisnya perbedaan dan ciri ideologis antarpartai dan kekuatan politik. Jargon nasionalis, religius, atau Pancasilais terbukti sebagai platform kosong yang nyaris tak berhubungan sama sekali dengan cara dan pola gerakan kepartaian itu dalam mengelola kekuasaan. Ketercerabutan yang fatal ini tentu saja akan diwarisi oleh tiap-tiap aktor yang terlibat, tak terkecuali para aktivis.

Yang diuntungkan dari larutnya faksi aktivis dalam pertarungan kekuasaan adalah elitisme itu sendiri. Suka atau tidak, kelompok kritis ini terikat dalam hubungan patronase yang membatasinya dan mensyaratkan ketertundukan. Di ujung cerita, tak lagi ada bedanya mana yang aktivis dan mana yang bukan. (*)

 

Rendy Pahrun Wadipalapa, Peneliti Politik dari University of Leeds, Inggris

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: