Kemunduran Afirmasi Perempuan
LAMBANNYA peningkatan jumlah perempuan di parlemen sangat terkait dengan pengaturan pemilu. Sejak Pemilu 2004, kuota sekurang-kurangnya 30 persen perempuan diberlakukan dalam daftar calon anggota legislatif. Namun, langkah ini tidak efektif karena berhadapan dengan penentuan pemenang berdasarkan nomor urut, sedangkan perempuan banyak di nomor urut besar.
Berikutnya, tambal sulam afirmasi perempuan berlangsung dari pemilu ke pemilu. Selain kuota, hadir susunan daftar calon model selang-seling, di mana setiap tiga calon harus menempatkan sedikitnya satu perempuan. Pengaturan ini juga tidak efektif karena harus berhadapan dengan penghitungan berdasarkan suara terbanyak.
Pada aturan lain, kuota paling rendah 30 persen tidak hanya untuk daftar calon anggota legislatif, tetapi juga untuk kepengurusan partai politik. Hanya saja kewajiban tersebut terbatas pada kepengurusan di tingkat pusat, sedangkan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota menggunakan kata ”memperhatikan”.
Sebagai hasil dari pengaturan-pengaturan tersebut, hingga Pemilu 2019 jumlah perempuan di parlemen nasional (dan mayoritas parlemen lokal) masih sulit memenuhi kuota minimal 30 persen. Sayangnya, menjelang Pemilu 2024, dinamika pengaturan afirmasi perempuan alih-alih menguat justru menunjukkan kemunduran.
Kemunduran itu dimulai saat Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada 17 April 2023. Poin yang kontroversial adalah pada Pasal 8 Ayat 2a terkait cara menghitung jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan di setiap daerah pemilihan. Jika terdapat dua desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, dilakukan pembulatan ke bawah. Sebaliknya, jika di belakang koma bernilai 50 atau lebih, dilakukan pembulatan ke atas.
Catatan Litbang Kompas yang dimuat harian Kompas edisi 9 Mei 2023 menunjukkan, dapil dengan jumlah kursi 4, 7, 8, dan 11 hanya akan mendapatkan jumlah bacaleg perempuan 25 persen hingga 29 persen. Maka, sebagai turunan teknis dari Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, PKPU ini tidak berkesesuaian dengan frasa ”memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen”.
Secara substansial, penggunaan metode penghitungan pembulatan ke bawah juga berkonsekuensi kepada berkurangnya kewajiban partai politik untuk mendorong kuota minimal, terutama pada daerah pemilihan dengan besaran kursi yang telah disebutkan.
Logika liberal
Sejak mula, perjuangan keterwakilan perempuan memang kerap berhadapan dengan cara pandang liberal yang netral jender, yang mengandaikan semua orang memiliki bakat sama. Cara pandang ini tidaklah kompatibel dengan upaya membantu perempuan karena dampaknya pasti ada male-biased.
Lihat saja pemilu sebelum reformasi yang tanpa afirmasi, hasil keterwakilan perempuan rata-rata di bawah 10 persen dan paling tinggi 13 persen pada Pemilu 1987. Oleh karena itu, cara pandang seperti ini tidak berkesesuaian dengan Pasal 28h dalam UUD 1945 yang menyebut bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Tidak heran jika kemudian PKPU No 10/2023 ini ditentang oleh sejumlah kelompok masyarakat. Namun, KPU tetap kukuh bahwa logika pembulatan ke bawah dan ke atas bukanlah hal baru karena mengacu kepada standar penghitungan matematika murni. Meski demikian, atas desakan masyarakat KPU juga pernah menjanjikan revisi atas aturan tersebut.
Sayangnya janji KPU tidak ditepati karena hasil Rapat Dengar Pendapat pada 17 Mei 2023 antara KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komisi II DPR, dan Kementerian Dalam negeri secara bulat menyatakan PKPU No 10/2023 tidak perlu direvisi. Hal ini berdasarkan pada penyampaian pendapat dari seluruh fraksi yang ada dan semua diwakili laki-laki dengan cara pandang laki-laki, yang masing-masing menolak revisi dengan menyampaikan argumen-argumen.
Setidaknya ada empat argumen yang penulis rekam. Pertama, tahapan pendaftaran bakal calon anggota legislatif (bacaleg) sudah terselenggara sehingga revisi tidak dibutuhkan agar tidak mengganggu tahapan berikutnya. Kedua, ada cara pandang terhadap frasa ”paling sedikit 30 persen” sebagai ketentuan yang bisa diatur sesuai kesepakatan forum. Ketiga, ada pengakuan partai politik kesulitan memenuhi kuota perempuan. Keempat, upaya pemenuhan kuota diklaim telah dipenuhi tiap partai politik, tetapi agaknya dilihat sebagai capaian total di tingkat nasional, bukan per dapil.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, didapatkan kesimpulan rapat bahwa PKPU No 10/2023 tidak perlu direvisi.
Responsif jender
Dinamika affirmative action memperlihatkan bagaimana pengaturan pemilu mendapatkan pengaruh besar dari pertimbangan-pertimbangan yang tidak sensitif jender. Dalam konteks PKPU No 10/2023, argumen yang muncul menampakkan tanda-tanda kemunduran pengarusutamaan jender, yang didorong dari hulu kebijakan publik sekaligus hulu rekrutmen pejabat publik, yakni partai politik.
Untuk mengakselerasi kesetaraan jender, peran partai politik memang sangat penting. Apabila hendak membandingkan dengan negara lain, release Inter-Parliamentary Union pada 2022 dapat memberikan perbandingan. Keterwakilan perempuan di majelis rendah dan tunggal dari 10 negara dengan keterwakilan tinggi menunjukkan bahwa empat negara menerapkan kuota partai sukarela (berasal dari inisiatif partai politik) yang diimplementasikan seluruh partai politik, dua negara mempraktikkan kuota partai sukarela (dengan satu atau lebih partai mengadopsi kuota), dua negara mempraktikkan kuota nasional (dimandatkan peraturan perundangan), serta dua negara tidak mempraktikkan kuota.
Berdasarkan data tersebut, tampak bahwa 6 dari 10 negara mengandalkan inisiatif partai politik untuk pengaturan kuota perempuan dan berhasil. Maka, komitmen partai politik (yang akan merekrut eksekutif dan legislatif) sangatlah mendasar, berikutnya lembaga lain seperti KPU, Bawaslu, atau DKPP, serta lembaga peradilan juga perlu didorong untuk lebih responsif jender.
Pemilu 2024 sudah sangat dekat, sebagai proses rekrutmen pejabat publik selain harus tertib dan berkepastian hukum, pemilu juga harus menjadi kompetisi yang berkeadilan. Hingga saat ini penolakan masyarakat terhadap Pasal 8 Ayat 2a PKPU No 10/2023 masih terus berlangsung, termasuk aksi dari kelompok Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang menyomasi KPU, Bawaslu, dan DKPP pada 18 Mei lalu. Kelompok yang sama juga sedang bersiap mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Melalui mekanisme uji materi, celah perubahan kebijakan yang berpihak kepada perempuan terus diupayakan. Berikutnya, harapan bergantung kepada keberpihakan Mahkamah Agung. (*)
Juwita Hayyuning Prastiwi, Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya