Kenaikan Pajak PPN dan Dampak pada Kesejahteraan
DALAM hal tersebut, rasanya kenaikan tarif PPN dianggap sebagai solusi, mengingat kontribusinya yang begitu besar terhadap penerimaan pajak. Sepanjang 2021, kinerja PPN terus meningkat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerimaan PPN sepanjang 2021 mencapai Rp 551,0 triliun, setara dengan 106,3 persen dari target awal sebesar Rp 518,55 triliun.
Meski kenaikan tarif PPN akan menaikkan penerimaan pajak, dia punya efek lain. Yang paling niscaya adalah kenaikan harga barang konsumsi dan jasa.
Setidaknya hasil survei Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) terhadap 800 responden di 44 provinsi menggambarkannya. Survei itu menunjukkan bahwa 77,37 persen responden menolak kenaikan tarif PPN. Masyarakat beranggapan kenaikan tarif dapat menghambat pemulihan ekonomi yang berakibat pada peningkatan angka kemiskinan dan menurunnya angka kesejahteraan.
Argumen tersebut cukup beralasan. Hingga minggu keempat Maret 2022, Bank Indonesia merilis angka inflasi nasional naik 0,68 persen (year on year) akibat kenaikan kebutuhan pokok di pasaran. Per Mei 2022, angka inflasi kembali naik hingga di kisaran 1,42 persen (year on year) yang didorong oleh kenaikan beberapa harga kebutuhan pokok.
Melihat ragam persoalan yang ditimbulkan, rasanya kenaikan tarif PPN di saat pemulihan ekonomi belum maksimal tentu akan berpotensi memperburuk keadaan. Sektor akar rumput yang dihuni masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah paling merasakan dampaknya. Efek dominonya, angka kemiskinan bertambah dan berujung pada semakin melebarnya jurang kesenjangan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka kemiskinan nasional 2021 yang menunjukkan tren menurun dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Untuk 2021, persentase penduduk miskin sebesar 9,71 persen. Meski demikian, apakah rilis data BPS tersebut dapat diterima? Secara sederhana, definisi miskin versi BPS ialah mereka yang hanya mencatatkan pengeluaran bulanan sebesar Rp 486.168 atau rata-rata pengeluaran harian Rp 16.250. Artinya, mereka yang pengeluarannya di atas Rp 16.250 tidak dapat digolongkan dalam kategori miskin.
Bila selalu merujuk pada standar internasional dalam menerapkan kebijakan ekonomi, pemerintah wajib menetapkan standar kemiskinan sesuai dengan standar Bank Dunia, yang pengeluaran minimum per hari masyarakat harus mencapai US$ 1,90 atau sekitar Rp 28 ribu. Maka, sekitar 40 persen populasi masyarakat Indonesia akan masuk dalam golongan miskin.
Naiknya tarif PPN akan berdampak pada naiknya pengeluaran harian masyarakat. Mengingat sifat PPN yang pembebanannya langsung ditanggung dan dibayar oleh konsumen akhir, ia akan berimbas pada tertekannya daya beli masyarakat. Kesenjangan ekonomi tak terelakkan. Masyarakat kelas bawah tak punya pilihan selain terus hidup dalam jerat kemiskinan dan akibatnya akses mobilitas sosial mereka semakin tertutup akibat berfokus pada pemenuhan kebutuhan pangan yang harganya semakin melambung.
Inflasi menjadi keniscayaan yang paling nyata. Ketika kenaikan PPN berdampak pada naiknya harga bahan baku produksi, ongkos produksi juga akan naik. Sektor industri dan jasa juga terkena dampak. Agar tetap beroperasi, sektor industri dan jasa harus mampu menyesuaikan harga. Di satu sisi, nilai uang juga akan turun akibat dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga kebutuhan dan jasa.
Jepang pernah merasakan dampak negatif dari kenaikan tarif PPN yang berimbas pada terkontraksinya konsumsi rumah tangga masyarakat. Pada pertengahan 1997, Jepang menaikkan tarif PPN dari 3 persen menjadi 5 persen. Setahun kemudian, konsumsi rumah tangganya terkontraksi -0,76 persen. Kemudian, pada 2014, tarif PPN kembali dinaikkan menjadi 8 persen dan pada Oktober 2015 naik menjadi 10 persen. Meskipun tarif PPN untuk barang kebutuhan sehari-hari tetap rendah, nyatanya konsumsi rumah tangganya tetap terkontraksi -0,93 persen.
Kenaikan tarif PPN saat ini juga dirasa mencoreng spirit keadilan pajak akibat kenaikannya yang tak pandang bulu dan menyasar seluruh kalangan. Akar rumputlah yang lagi-lagi menjadi korban kebijakan. Asumsinya, mereka yang sehari-hari mengkonsumsi nasi dan garam di dalam gubuk sederhana beralaskan kardus harus membayar PPN dengan persentase tarif yang sama dengan mereka yang mengkonsumsi kaviar dalam rumah mewah nan megah.
Pemerintah dapat belajar dari beberapa negara yang lebih dulu menerapkan skema tarif PPN yang tinggi tapi masih mengedepankan konsep keadilan. Hungaria, Maroko, Uruguay, dan Selandia Baru merupakan sederet negara dengan tarif PPN tertinggi yang menerapkan sistem multitarif untuk barang dan jasa tertentu. Hungaria menerapkan skema PPN multitarif dengan pengurangan 5 persen untuk beberapa makanan pokok dan obat-obatan serta pengurangan 18 persen untuk layanan Internet, restoran dan produk katering, produk susu dan roti, serta hotel.
Pemerintah juga dapat memaksimalkan penerimaan dari sektor cukai karena ekstensifikasi cukai dapat menjadi alternatif penerimaan. Alternatif lainnya, pemerintah dapat belajar dari Norwegia, yang sukses besar dalam menerapkan pajak kekayaan (wealth tax) kepada 1 persen populasi orang kaya yang terbukti efektif menambah penerimaan negara dan mampu memangkas ketimpangan sosial.
Ada banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah dalam upaya memangkas defisit anggaran hingga menunaikan target ambisius penerimaan negara tanpa harus mengorbankan penduduk prasejahtera yang populasinya mencapai 40 persen.
Menjadi miskin memakan biaya lebih mahal daripada orang kaya tampaknya bukan isapan jempol belaka. Mereka yang kaya, ketika dihadapkan dalam kondisi sulit, dapat mengajukan kredit kepada jasa perbankan dengan segala keringanan yang ditawarkan. Sementara itu, golongan prasejahtera, akibat harga kebutuhan pangan yang terus naik, tak punya pilihan selain menunggu bantuan atau meminjam pada layanan pinjol (pinjaman online) dan rentenir yang menawarkan pinjaman ilegal dengan bunga yang mencekik.
Selama berbentuk uang dan dapat dibelanjakan dengan dalih keperluan pembangunan infrastruktur, negara seolah-olah akan berupaya mati-matian untuk mengeruk potensi penerimaan sekecil apa pun. Nyatanya, infrastruktur yang hadir tak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Lagi-lagi kesejahteraan hidup hanya menjadi utopia bagi kaum papa, yang mendorongnya terjerembap dalam jurang kesengsaraan.
Ketimpangan sosial seolah-oleh menjadi pemandangan yang biasa saja. Semakin hari pemerintah semakin terang-terangan menjadikan rakyatnya sebagai obyek bisnis dengan maraknya kebijakan yang menjauhkan masyarakat dari taraf hidup sejahtera. Naiknya harga bahan bakar minyak, tak terkendalinya harga minyak goreng, hingga harga kebutuhan pokok yang terus melambung tinggi telah mencekik masyarakat. Hal tersebut kini disempurnakan dengan kenaikan tarif PPN di saat pertumbuhan ekonomi masih jauh dari taraf pemulihan, apalagi kebangkitan. Inilah yang tampaknya membuat kemiskinan struktural menjadi pemandangan sehari-hari, ketika kesenjangan dan kesengsaraan menjadi terus menjerat masyarakat akar rumput yang tak pernah diperhatikan kesejahteraannya. (*)