Wacana

Kendaraan Listrik dan Strategi Pemerintah

Adopsi kendaraan listrik di Indonesia menghadapi beberapa kendala. Harganya lebih mahal dibanding kendaraan konvensional. Waktu pengisian baterai kendaraan listrik masih lama dan dukungan fasilitas isi ulang baterai belum merata. Selain itu, pemerintah belum menstandarkannya. Berbagai negara telah mengembangkan ekosistem digital dan paket kebijakan untuk memecahkan masalah tersebut. Bagaimana dengan Indonesia?

Arthur D. Little (2022) merilis indeks kesiapan negara dalam mengadopsi kendaraan listrik. Norwegia satu-satunya negara yang mencapai tingkat kesiapan penuh. Di bawah Norwegia, negara-negara dibagi dalam tiga kluster, yakni pengikut ambisius, pasar kendaraan listrik berkembang, dan pemula. Indonesia menduduki peringkat ketiga terendah di kluster pemula setelah Vietnam dan Afrika Selatan. Thailand ada di kluster pasar kendaraan listrik berkembang bersama Amerika Serikat dan Jepang. Sementara itu, Cina ada di posisi teratas pada kluster pengikut ambisius.

Untuk menumbuhkan industri kendaraan listrik dalam negeri, pemerintah Indonesia telah menerbitkan serangkaian kebijakan fiskal, seperti insentif bagi kendaraan listrik. Pada 2022, bea masuk impor nol persen untuk kendaraan listrik yang dirakit di dalam negeri diterapkan. Pada 2023, subsidi harga bagi kendaraan listrik roda dua, termasuk sepeda motor konversi, diberlakukan. Untuk kendaraan roda empat dan bus, ada pajak yang ditanggung pemerintah.

Dalam pemahaman awam, subsidi memiliki dua sasaran berbeda: konsumen dan produsen. Jenis subsidi yang menyasar konsumen lebih dikenal sebagai transfer. Sedangkan untuk produsen dikenal sebagai insentif. Insentif dimaknai sebagai kompensasi untuk mendorong individu, perusahaan, atau sektor ekonomi tertentu agar berupaya menghasilkan apa yang menjadi tujuan atau sasaran kebijakan.

Sebagai negara yang relatif terlambat mengadopsi kendaraan listrik, Indonesia juga berhadapan dengan kebutuhan pasokan komponen utama kendaraan listrik, yakni baterai. Untuk itu, pemerintah menerapkan kebijakan penghiliran nikel. Indonesia menjadi negara dengan sumber daya nikel terbesar di dunia (USGS, 2022). Bukan hanya memenuhi kebutuhan baterai dalam negeri, penghiliran juga diharapkan memasok kebutuhan pasar global.

Kedangkalan Skema

Skema insentif bea masuk impor nol persen bagi produsen yang merakit di dalam negeri dan persyaratan 40 persen kandungan lokal masih terlalu dangkal untuk mendorong transformasi industri. Kebijakan dengan rute lama ini mirip substitusi impor era 1980-an. Indonesia memerlukan kerangka insentif yang lebih mendasar dengan dua tujuan, yakni integrasi ke penghiliran rantai pasok dan pengembangan ekosistem.

Pemerintah perlu menerapkan skema insentif dengan syarat pembangunan industri (manufacturing based incentive) yang lebih menyasar ke lini tengah rantai pasok kendaraan listrik, yakni baterai. Prasyarat lainnya adalah kepatuhan pada standar yang akan diterapkan dalam ekosistem kendaraan listrik.

Komitmen dari pemanfaat insentif untuk turut membangun industri baterai berbahan baku dari dalam negeri dan kesediaan menggunakan baterai buatan Indonesia menjadi prasyarat utama. Bagaimanapun, baterai merupakan jantung kendaraan listrik. Komponen baterai diperkirakan mendominasi 35-45 persen biaya produksi untuk satu unit kendaraan listrik (McKinsey & Company, 2019).

Game Changer

Selain harga, lama waktu isi ulang baterai merupakan salah satu tantangan di industri kendaraan listrik. Perlombaan menemukan teknologi isi ulang baterai belum berhasil menyamai waktu pengisian bahan bakar kendaraan konvensional. Meskipun ada insentif potongan harga untuk kendaraan listrik, konsumen diperkirakan masih enggan beralih ke jenis kendaraan ini karena mereka harus membeli baterai baru ketika masa pakai baterai habis.

Layanan sewa dan ganti baterai sebagai alternatif mulai berkembang. Sistem sewa baterai, selain akan menurunkan harga kendaraan listrik secara signifikan, bakal mengatasi keengganan calon konsumen untuk beralih ke kendaraan listrik. Beberapa literatur mulai menyebutnya sebagai game changer.

Mitsubishi Fuso Truck and Bus tengah menguji sistem ganti baterai (swapping) berdurasi lima menit berteknologi robot di Jepang. FAW Group, badan usaha milik pemerintah Cina yang memproduksi kendaraan listrik dan menduduki peringkat ke-131 Fortune Global 500 pada 2023, memperkenalkan kendaraan multiguna elektrik Bestune NAT dengan sistem ganti baterai hanya dalam waktu 20 detik. NAT menggunakan sel baterai dari nikel.

Untuk mendukung sistem sewa dan ganti baterai, Indonesia Battery Corporation (IBC), prakarsa pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai produsen baterai kendaraan listrik global, mengembangkan apa yang disebut dengan sistem manajemen aset baterai (BAMS). Layanan BAMS pada tahap awal akan menyasar konsumen di segmen roda dua dan selanjutnya bakal menyediakan layanan sewa serta ganti baterai untuk perahu nelayan, truk, bus, dan kendaraan roda empat. BAMS memanfaatkan ekosistem berbasis digital dalam mengendalikan aset baterai dan sistem pertukaran antar-unit layanan ganti baterai.

Bisnis sewa dan ganti baterai diperkirakan berkembang pesat pada segmen kendaraan listrik untuk transportasi publik dan komersial. Sewa baterai akan menurunkan belanja modal jauh lebih rendah, mengingat baterai bisa mendominasi hingga 40 persen dari struktur biaya kendaraan listrik.

Insentif untuk Ekosistem

Sebelum pemerintah menerapkan standar, sistem sewa dan ganti baterai memerlukan penyeragaman protokol komunikasi baterai dan konektor secara sukarela di antara pelaku. Sebagai industri yang baru berkembang, banyak produsen memproduksi baterai dengan protokol komunikasi berikut tipe konektor yang beragam.

Di berbagai negara, pemberian insentif oleh pemerintah juga perlu diarahkan untuk mengembangkan kepatuhan pada standar yang diterapkan dalam suatu ekosistem. Kebijakan ini penting agar laju pertumbuhan industri kendaraan listrik tak terhambat. Sebelum telanjur jauh, pemerintah harus berinisiatif menyepakati suatu standar bersama para pelaku industri baterai.

Sebagai pembelajaran, India, yang relatif terlambat mengantisipasi dibanding Cina, kini kesulitan menerapkan kebijakan insentif untuk standar sistem pergantian baterai dan interoperabilitas. Banyak pelaku industri, yang telanjur berinvestasi dengan rancangan sangat beragam, menolak standardisasi tersebut. Rancangan peraturan yang telah dirilis pada April 2022 belum disahkan hingga kini.

Tantangan Mendatang

Insentif fiskal berbasis industri pada dasarnya merupakan instrumen kebijakan dengan efektivitas jangka menengah. Teknologi hidrogen disebut-sebut sebagai penantang baterai berbahan nikel pada masa mendatang. Jika tak cermat, meski kaya akan nikel, Indonesia berpotensi mengulangi kekeliruan yang pernah dialami pada masa kejayaan minyak bumi.

Pemerintah perlu menyisihkan sebagian penerimaan dari nilai tambah penghiliran ke dalam suatu institusi pengelola dana kedaulatan (sovereign wealth fund). Ini bukan kebijakan baru. Norwegia ataupun Cina telah lama menerapkannya. Dana yang terkumpul itu kemudian dimanfaatkan untuk penguasaan pengetahuan strategis dan pengembangan teknologi alternatif pada masa mendatang. (*)

 

Alamsyah Saragih, Anggota Ombudsman RI Periode 2016-2021

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.