Wacana

Manokwari Bukan Kota Miras dan Kejahatan

ORANG-orang, dulu, akan menyebut buah Durian, Salak, Langsat, Rambutan, atau Mangga untuk mendeskripsikan Manokwari sebagai Kota Buah-buahan. Orang-orang akan menyebut Mnukwar Kota Injil untuk menegaskan betapa pentingnya kota ini terhadap sejarah peradaban orang Papua. Kota Manokwari adalah Kota Sejuta Rindu, kenangan-kenangan di kota ini memiliki kisah sampai hingga di negeri Belanda.

Kini, perubahan zaman mengubah wajah kota Manokwari terlihat tidak aman. Tingginya angka kejahatan menciptakan momok masyarakat. Dihni (2021) menjelaskan bahwa, jumlah kejahatan di Papua Barat cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 2012. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2020 jumlah kejahatan di Papua Barat tercatat 4.156 kasus. Kabupaten Manokwari menjadi wilayah yang memiliki jumlah kejahatan paling banyak pada 2020, yakni 707 kasus.

Fakta meningkatnya angka kriminalitas di kota Manokwari, dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantara lainnya adalah minuman keras (miras). Begitu banyak kasus premanisme, pelecehan seksual, kecelakaan lalu-lintas (lakalantas), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga pembunuhan. Pelaku pada kasus-kasus tersebut, banyaknya, berada dalam pengaruh alkohol.

Beberapa waktu lalu masyarakat digegerkan oleh kabar media. Seorang ayah di kota Manokwari diberitakan tega melakukan pencabulan dan pelecehan seksual terhadap anak kandungnya sendiri. Mengutip Balleo News Senin (1/8/2022), pria berinisial ART ini juga melakukan KDRT terhadap istrinya karena dipicu pengaruh miras.

Di sisi lain, miras juga menyebabkan tingginya angka lakalantas di kota Manokwari. Pada Minggu (31/07/2022) lalu, mengutip koreri.com, lakalantas berupa tabrakan beruntun kembali terjadi di wilayah hukum Polres Manokwari. Kapolres Manokwari AKBP Parasian Herman Gultom melalui Kasat Lantas IPTU Subhan Ohoima menjelaskan kronologis kejadian,  pengendara Mobil Hilux silver PB 8956 S dan sepeda motor Yamaha Mio GT warna merah tanpa TNKB datang dari arah Jl. Pahlawan dengan tujuan ke Arah Dolok.

Soal Regulasi

Menurut hemat saya, merajalelanya miras di kota Manokwari adalah karena regulasi yang belum kunjung dirampungkan dan diterapkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manokwari.

Pada 15 Mei 2016 lalu, Pemprov Papua Barat melalui Surat Keputusan Gubernur, mengutip Papua Barat News, telah mencabut Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 tahun 2006 Nomor 5 Tahun 2006 tentang “Larangan Pemasukan, Penyimpanan, Pengedaran, Penjualan dan Memproduksi Minuman Keras (Miras) di Kabupaten Manokwari”.

Hal tersebut merupakan kebijakan yang tidak dapat terhindarkan sebab jika tetap diberlakukan maka akan bertentangan dengan UU 22 tahun 2014.

 Konsekuensi

Tidak adanya perda khusus yang mengatur tentang pengelolaan miras berdampak pada komersialisasi miras yang bebas dan masif. Orang di kota Manokwari sangat mudah membeli dan mengkonsumsi miras, karena hampir di setiap kelurahan di kota Manokwari memiliki kedai, kios, atau toko yang memproduksi dan menjual miras secara bebas. Miras yang beredar di kota Manokwari tidak hanya yang berlabel namun ada juga yang tidak berlabel.

Tidak berlakunya Perda miras juga berdampak pada hal negatif lainnya, seperti tidak terkontrolnya bisnis miras di kota Manokwari. miras tentu memberikan keuntungan secara ekonomi bagi pelaku bisnisnya yang juga meningkatkan pendapatan daerah. Namun, miras yang tidak berlabel tentu akan merusak tubuh konsumen akibat tidak adanya standar operasional dan prosedur (SOP) yang berguna sebagai kontrol kualitas.

Di samping itu, sudah menjadi rahasia umum, beberapa oknum aparat keamanan juga ikut menjadi ‘pemain’ (backing) para pelaku bisnis barang haram ini. Keterlibatan oknum aparat keamanan tersebut memberikan kebebasan bagi pelaku bisnis dalam mengembangkan bisnisnya. Kadang kala, oknum aparat keamanan ini menjadi tameng bagi pelaku bisnis miras ketika terjadi masalah.

Padahal miras adalah salah satu penyebab rusaknya moral bangsa dan pemicu maraknya aksi kekerasan dan kriminalitas di kota Manokwari. Maka, pelaku bisnis miras dan oknum pihak keamanan, bisa dikatakan, telah melanggengkan lingkaran setan ini. Mereka telah ikut terlibat dalam tidak kondusifnya kota Manokwari serta perusak generasi bangsa, khususnya generasi muda Papua.

Mengembalikan Martabat Kota Manokwari

Mengembalikan ‘martabat’ kota Manokwari, menurut saya, harus dimulai dari kesadaran bersama setiap Masyarakat. Pembinaan sejak dini kepada anak-anak oleh setiap orang tua tentu sangat penting. Hal ini tentu akan memberi sumbangsih yang besar bagi perubahan kota Manokwari ke arah yang lebih baik.

Begitupun lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan yang berperan dalam penanaman moral terhadap generasi muda penerus bangsa. Sekolah tidak hanya fokus pada pengajaran, tetapi juga mampu mendidik anak dengan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal serta etika dan norma yang umum berlaku di masyarakat.

Lembaga keagamaan juga perlu melihat kenyataan sosial. Kitab suci tidak hanya habis jadi renungan semata. Tetapi lembaga keagamaan juga perlu merancang program untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat secara langsung.

Banyak isu di kalangan anak-anak dan remaja di kota Manokwari yang perlu mendapat perhatian serius, seperti penyalahgunaan lem merk Aibon, seks bebas, pornografi digital, miras, premanisme dan masih banyak lainnya.

Pertanyaannya apakah sekolah dan lembaga keagamaan telah serius memikirkan sumbangsihnya dalam perencanaan program yang terukur dalam menyelesaikan atau setidaknya meminimalisir terjadinya isu-isu tersebut? Jangan sampai sekolah dan lembaga keagamaan hanya menjadi ‘menara gading’ yang angkuh saja!

Kemudian pemerintah melalui regulasi harus mengatur segala hal yang berpotensi menimbulkan dampak negatif di kota Manokwari. Seperti miras, seharusnya ada regulasi yang bertujuan mengontrol peredarannya di masyarakat.

Tentu saja, Miras yang dilegalkan akan mendatangkan keuntungan bagi pendapatan daerah. Namun, yang harus dipikirkan bahwa regulasi dibuat untuk mengatur tempat-tempat khusus dengan keamanan tinggi yang hanya di tempat khusus itu saja masyarakat (yang sudah cukup umur) dapat santai dan menikmati miras. Seberapa banyak orang dapat mengkonsumsi miras juga perlu diatur agar konsumsi miras tidak berlebihan.

Perda miras perlu juga mengatur agar setiap orang tidak diperkenankan mengkonsumsi miras di tempat umum atau dalam keadaan berkendara. Dan yang perlu juga adalah bahwa miras yang tidak legal harus dihentikan produksinya karena kualitas miras tidak legal tersebut dapat berbahaya bagi masyarakat.

Membangun kota Manokwari harus dilandasi cinta dan kasih dari setiap elemen, baik itu masyarakat sipil, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, pengusaha, aparat keamanan, dan pemerintah.

Kota Manokwari perlu dikembalikan lagi ‘martabat’-nya sebagai kota yang nyaman dan aman, kota yang penuh cinta dan kasih, kota yang bersejarah, dan kota Injil. Hal ini tentu memerlukan kolaborasi dari berbagai elemen yang ada, tujuannya agar kota Manokwari menjadi rumah bersama tempat kita saling menjaga dan merawat kerukunan sesama masyarakat dan menjaga lingkungan dan alam kita tetap kondusif. (*)

 

Elyan Mesakh Kowi, Mahasiswa Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.