Mantan Terpidana Korupsi dan Integritas Pemilu
Langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan karpet merah kepada mantan narapidana korupsi supaya bisa lebih cepat maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) akhirnya dihentikan oleh Mahkamah Agung (MA). Melalui putusan yang diketok pada 29 September 2023, majelis hakim MA menyatakan Pasal 11 ayat 6 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 (PKPU Nomor 10/2023) dan Pasal 18 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 (PKPU Nomor 11/2023) bertentangan dengan Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini menguatkan sangkaan masyarakat bahwa produk hukum KPU tersebut sejak awal memang bermasalah dan berpihak kepada mantan terpidana korupsi.
Masalah peraturan KPU itu mulai santer menjadi sorotan masyarakat pada pertengahan April lalu. Penyelenggara pemilu kala itu secara semena-mena menambahkan ketentuan penghitungan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik bagi mantan terpidana korupsi yang akan maju sebagai calon legislator. Sederhananya, jika seorang terpidana korupsi dijatuhi pencabutan hak politik selama satu tahun, pada tahun kedua setelah ia bebas dari penjara, ia dapat langsung mendaftarkan diri sebagai calon legislator. Padahal putusan MK Nomor 87 Tahun 2022 dan Nomor 12 Tahun 2023 sudah memberikan garis batas bagi mantan terpidana, yaitu harus melewati masa jeda lima tahun.
MK sebenarnya sudah memberikan argumen mengenai masa jeda lima tahun itu. Melalui putusannya, MK menyatakan waktu lima tahun dimaksudkan agar terpidana beradaptasi di tengah masyarakat sekaligus membuktikan bahwa ia benar-benar telah berubah menjadi lebih baik. Jeda tersebut sekaligus memberikan kesempatan lebih lama kepada masyarakat untuk menilai kualitas dan integritas mantan terpidana. Lagi pula, jika hanya menghitung lama hukuman pencabutan hak politik, yang rata-rata vonisnya kurang dari 5 tahun, seluruh terdakwa mungkin berharap mendapatkan hukuman itu ketimbang harus menunggu masa jeda sebagaimana diputus oleh MK. Di sinilah letak kesesatan berpikir KPU saat membuat peraturan tersebut.
Putusan MA memberikan gambaran mengenai kesalahan KPU dalam merumuskan peraturan yang kontroversial. Pertama, mengecualikan perhitungan masa jeda lima tahun itu dianggap melunturkan sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Pemberian efek jera bagi pelaku korupsi tidak cukup hanya dengan mengandalkan pidana badan ataupun sekadar mengembalikan kerugian. Terlebih jika koruptor berasal dari lingkup politik. Karena itu, kombinasi antara pencabutan hak politik dan pemberian masa jeda lima tahun dianggap pantas dan tepat untuk membendung hasrat kekuasaan gerombolan koruptor tersebut.
Kedua, peraturan KPU itu secara terang benderang melanggar hak asasi pemilih untuk mendapatkan calon legislator berintegritas. Selama ini, jurus yang dianggap ampuh oleh sejumlah pihak untuk mendukung pencalonan mantan terpidana adalah membebaskan pilihan kepada masyarakat. Artinya, jika masyarakat tidak bersepakat dengan adanya mantan terpidana di surat suara, sebaiknya jangan dipilih. Namun pendapat tersebut sudah dibantah oleh MK dengan alasan tidak bisa semua permasalahan dilimpahkan kepada masyarakat. Pemangku kepentingan punya kewajiban untuk meminimalkan potensi pemilih mencoblos figur-figur bermasalah. Salah satu caranya adalah memperketat persyaratan mantan terpidana yang ingin berkontestasi dalam pemilu.
Ketiga, peraturan KPU itu dianggap tidak peka atas kondisi pemberantasan korupsi mutakhir. Pandangan majelis hakim MA ini tentu valid jika melihat kondisi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dan data KPK mengenai masih masifnya korupsi politik. Betapa tidak, IPK Indonesia terbilang semakin anjlok dengan penurunan skor dari 38 menjadi 34, dan salah satu penyebabnya berasal dari sektor korupsi politik. Begitu pula dengan data KPK. Sejak 2004 sampai 2022, setidaknya sepertiga pelaku berasal dari lingkup politik, baik anggota legislatif maupun kepala daerah. Dengan membuka kesempatan yang lebar bagi mantan terpidana untuk kembali menduduki jabatan publik, bukan tidak mungkin hal itu akan berimplikasi buruk bagi kondisi pemberantasan korupsi.
Keempat, klausul pidana tambahan pencabutan hak politik sebagaimana disebutkan dalam peraturan KPU merupakan norma baru yang tidak pernah tertuang dalam UU Pemilu. Dari sudut pandang pembentukan peraturan perundang-undangan, jelas apa yang dilakukan oleh KPU ini melanggar hukum. Sebab, penyelenggara pemilu hanya dibenarkan membuat aturan sendiri jika pada tingkatan undang-undang tidak mengaturnya (self-regulatory body). Dalam hal ini, UU Pemilu, yang telah dikuatkan dengan putusan MK, sudah secara tegas menyebutkan ihwal masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana. Lalu bagaimana mungkin KPU bisa mengecualikannya melalui penghitungan hukuman pencabutan hak politik?
KPU di bawah komando Hasyim Asy’ari tampaknya telah mengalami penurunan kualitas dan keberanian dalam menegakkan integritas pemilu. Pada periode sebelumnya, sekalipun dibatalkan oleh MA, KPU berani mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Langkah progresif itu sayangnya bertolak belakang dengan penyelenggara pemilu saat ini, yang terlihat sangat pragmatis dan mementingkan kepentingan mantan terpidana korupsi. Bukan cuma itu, masyarakat juga bisa melihat tindakan KPU yang sempat menutup-nutupi status hukum para bakal calon legislator, padahal informasi ini penting bagi pemilih sebagai preferensi sebelum memasuki masa pemungutan suara.
Meskipun tidak bisa menghapus seluruh mantan terpidana korupsi dalam perhelatan pesta demokrasi mendatang, setidaknya putusan MA kali ini bisa meminimalkan jumlah mereka. Berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch, masih banyak mantan terpidana korupsi yang tak punya rasa malu dan berani mencalonkan diri sebagai calon legislator. Untuk tingkat legislatif pusat, baik DPR maupun DPD, jumlahnya saja mencapai 15 orang. Pada tingkat lokal, untuk DPRD kabupaten, kota, dan provinsi, berjumlah 24 orang. Semestinya, jika KPU berpihak kepada pemilih, mereka harus membatasi ruang gerak mantan terpidana, bukannya malah membuka pintu selebar-lebarnya kepada mereka.
Penting untuk ditegaskan, khususnya bagi KPU, bahwa putusan MA ini bersifat final dan mengikat serta berkekuatan hukum tetap. Peraturan perundang-undangan tidak lagi memberikan kesempatan untuk melakukan upaya hukum apa pun. Karena itu, atas nama integritas pemilu dan putusan pengadilan, demi hukum, KPU harus segera mencabut pasal-pasal yang menguntungkan para mantan terpidana korupsi itu. Jika tidak, laporan dugaan kode etik ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu akan siap dilayangkan guna menghentikan arogansi mereka. (*)
Kurnia Ramadhana, Peneliti Indonesia Corruption Watch