Masyarakat Sipil Setelah Reformasi
SETELAH 25 tahun reformasi, masyarakat sipil Indonesia kini berhadapan dengan kemunduran demokrasi serta penyempitan hak sipil dan ruang publik. Kondisi ini ada kemungkinan diperparah oleh momen politik Pemilihan Umum 2024 yang berpotensi menimbulkan faksi-faksi di masyarakat, terutama akibat politik identitas. Reformasi 1998 sendiri sering dilihat sebagai puncak keberhasilan masyarakat sipil bersama mahasiswa dalam menghimpun kekuatan publik dan menandingi otoritas penguasa. Kemampuan tersebut dianggap terus menurun seiring dengan melemahnya kualitas demokrasi secara keseluruhan.
Tulisan ini hendak membahas kembali berbagai persoalan seputar masyarakat sipil dan kondisi mutakhirnya. Ada beberapa persoalan utama yang harus dipahami sebelum berpikir mengenai masa depan masyarakat sipil yang mesti diupayakan oleh para pegiatnya. Beberapa persoalan perlu dipotret secara lebih tajam untuk memahami hubungan masyarakat sipil dengan negara, yang kerap menjadi ambigu di tengah proses demokratisasi di Indonesia.
Pertama, masyarakat sipil Indonesia tidak lagi menyerupai atau terilhami gerakan sosial sebagaimana didengungkan oleh mendiang Bob Hadiwinata kala meneliti masyarakat sipil di era 1990-an hingga awal 2000-an. Tesis tersebut sudah tidak relevan karena sejak 2000-an terjadi patahan penting dalam bentuk aktivitas para aktor dan mengurangi esensi masyarakat sipil sebagai sebuah gerakan.
Tuntutan demokrasi memaksa banyak organisasi masyarakat sipil (NGO) mendampingi pemerintah serta melakukan asistensi dan advokasi atas dasar perbaikan “tata kelola” (governance). Meningkatnya berbagai program bertema governance yang dieksekusi oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil ini mereduksi atensi mereka dalam mendampingi dan mengorganisasi komunitas akar rumput sehingga terjadi pergeseran fokus kerja. Semangat gerakan yang mewarnai masyarakat sipil pada fase awal reformasi secara pasti bergeser menjadi kegiatan yang lebih rutin, terarah, dan terukur dengan keluaran yang lebih terkuantifikasi. Kuantifikasi ini membuat arah gerakan menjadi lebih terprediksi, tapi menjinakkan sifat militan yang melekat pada masyarakat sipil.
Di satu sisi, hal ini turut menumbuhkan profesionalisme organisasi masyarakat sipil, tapi juga menanggalkan kemampuan artikulasi gagasan dan kepentingan yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini sering dicibir sebagai proses “NGOisasi” bagi mereka yang memahami masyarakat sipil sebagai gerakan. Sebab, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, akibat tak terduga demokratisasi adalah terjadinya penjinakan aspek gerakan dari masyarakat sipil.
Kedua, fenomena lain yang menandai masyarakat sipil setelah 1998 adalah samarnya batas antara negara dan masyarakat sipil. Sebagaimana dijelaskan di atas, payung besar bernama “governance” sebagai prinsip yang mempertemukan negara dan masyarakat sipil turut berkontribusi pada hilangnya batas di antara kedua entitas ini. Banyaknya prinsip yang diusung oleh masyarakat sipil, seperti partisipasi dan keterbukaan, serta diadopsi oleh negara dalam proses pembangunan, justru menghilangkan kekuatan gagasan yang menjadi milik masyarakat sipil atau masyarakat madani.
Ketiga, di sisi lain, muncul aktor-aktor baru di masyarakat sipil yang memperluas definisi masyarakat sipil itu sendiri. Sebagai contoh, menguatnya aktor yang mengedepankan identitas keagamaan turut mewarnai masyarakat sipil sehingga ia tidak bisa dipahami sebagai arena yang sekuler. Peristiwa 212 adalah contoh paling nyata yang menjadi acuan dalam memahami perluasan masyarakat sipil pasca-reformasi. Dengan demikian, premis utama untuk memahami masyarakat sipil dalam dua dekade terakhir adalah bahwa gerakan sosial mengalami penyempitan pada saat masyarakat sipil mengalami perluasan.
Berdasarkan pemahaman tersebut, ada tiga gagasan yang saya tawarkan untuk menjaga marwah masyarakat sipil sebagai kekuatan yang mampu menandingi otoritas kekuasaan di tengah regresi demokrasi dan ketiadaan oposisi politik.
Berhenti Mendirikan NGO
Setelah 1998, ribuan organisasi masyarakat sipil tumbuh dan melebarkan arena masyarakat sipil. Namun, di sisi lain, hal ini justru memperparah fragmentasi karena tiap organisasi tersebut bergerak berdasarkan tujuan dan kepentingan masing-masing. Dengan kondisi demikian, para aktivis menghadapi situasi nyata berupa kesulitan dalam melakukan konsolidasi. Hal ini diperparah oleh persaingan dalam memperebutkan sumber daya, terutama pendanaan dari lembaga donor internasional. Pada akhirnya, program kerja antara satu organisasi dan yang lainnya tidak berbeda jauh meskipun secara ideologis masing-masing organisasi berdalih sebaliknya.
Menjauh dari Politik Praktis
Keberadaan Partai Buruh dalam Pemilihan Umum 2024 menjadi angin segar, tapi tidak menjadi penanda langsung akan menguatnya basis buruh di masyarakat sipil. Politik alternatif membutuhkan lebih dari satu partai. Hal ini lebih bergantung pada kemampuan masyarakat sipil untuk terus mereproduksi kepemimpinan di masyarakat sipil dan bukan sebagai tangga karier para pegiatnya.
Penekanannya adalah untuk menjauh dari politik praktis jika tidak disertai dengan keterlibatan basis massa dan ideologi. Jika hanya dimanfaatkan oleh para pegiatnya untuk mengakumulasi modal sosial demi memasuki ranah politik, masyarakat sipil sekadar dilihat sebagai batu loncatan untuk menaiki panggung yang lebih besar di tingkat nasional. Beberapa pihak mengibaratkan relasi negara dan masyarakat sipil seperti pintu putar (revolving door) untuk memahami perpindahan para profesional dari masyarakat sipil ke negara yang sarat kepentingan jangka pendek pegiatnya. Pun hal ini hanya mengkonfirmasi betapa samarnya batas antara negara dan masyarakat sipil.
Menguatkan Pengorganisasian
Penguatan kembali pengorganisasian di tingkat tapak sudah sering diutarakan, tapi sulit direalisasi. Konsekuensi logis dari poin satu dan dua adalah perlunya aktivisme yang terus-menerus di tingkat tapak yang berbasis politik kerakyatan. Implikasi paling jelas dari bertambahnya jumlah NGO di Indonesia justru adalah berkurangnya angka organisasi berbasis massa. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk kembali berswadaya dalam membangun secara kolektif tanpa dukungan eksternal, terutama pendanaan dari lembaga donor internasional.
Kemampuan untuk melakukan pengorganisasian ini perlu disertai kemampuan untuk menggalang dana dan sumber daya serta membangun jejaring antar-wilayah tanpa harus bergantung pada patron-patron individu, yang rentan memanfaatkan agenda masyarakat sipil demi kepentingan ekonomi-politik mereka sendiri. Ada banyak contoh inisiatif masyarakat yang kemudian tersandera kepentingan pemilik modal (ekonomi-sosial-kultural) dan justru mengulang siklus politik praktis yang mematikan militansi masyarakat lokal.
Dari pembelajaran tersebut, masyarakat sipil diharapkan dapat kembali menjadi aktor untuk setidaknya menahan laju penurunan kualitas demokrasi di negeri ini. (*)
Fajri Siregar, Kandidat PhD Departemen Antropologi University of Amsterdam