Mau Kemana Model Kompetensi Guru
DENGAN Peraturan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 2626/B/HK.04.01/2023 tentang Model Kompetensi Guru, pemerintah hendak mempercepat transformasi pendidikan melalui kebijakan Merdeka Belajar. Peraturan ini terbit karena, menurut Kementerian Pendidikan, model kompetensi pengembangan profesi guru sebelumnya (2020) sudah tidak sesuai, sehingga perlu diubah.
Lantas, apa dasarnya sehingga model kompetensi lama sudah tidak relevan lagi? Pertanyaan ini perlu dijawab oleh pemangku kebijakan karena sering kali kebijakan pendidikan kita grusa-grusu dan manasuka. Regulasi sekelas Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional saja konon minim kajian akademis. Karena itu, kita boleh curiga bahwa jangan-jangan penyebutan frasa “tidak sesuai” pada konsideran peraturan tersebut tanpa kajian akademis.
Secara umum, model kompetensi guru yang ditawarkan memang masih menyangkut pada kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Model tersebut dibuat dalam 5 level, yakni level paham, dasar, menengah, mumpuni, hingga ahli.
Harapannya, guru minimal berada pada level kedua dengan nomenklatur Guru Ahli Pertama. Dalam hal ini, guru setidak-tidaknya diharapkan tidak lagi hanya paham (level 1), tapi juga harus menerapkannya dalam pembelajaran (level 2).
Guru dengan pencapaian tertinggi dengan nomenklatur Guru Ahli Utama cukup dengan memenuhi standar kompetensi pedagogik (level 5) serta ketiga kompetensi lainnya (kepribadian, sosial, profesional) hanya pada level 4. Yang menarik didiskusikan adalah jika uji kompetensi itu berbasis tes atau kuesioner, bagaimana akurasinya dapat dipercaya?
Bukan tak mungkin bahwa semua guru sudah berada pada level 5. Ini karena alat ukur untuk melihat seseorang melakukan implementasi (level 2), membuat evaluasi (level 3), melaksanakan kolaborasi (level 4), dan bimbingan (level 5) bisa jadi tidak dapat akurat melalui tes atau kuesioner, kecuali dengan langsung terjun ke lapangan dan melihat berbagai portofolio.
Pada kenyataannya, guru tidak menyambut baik model kompetensi tersebut. Sebab, semakin ke sini, guru merasa semakin dipersulit dengan berbagai aturan. Upaya untuk memartabatkan guru melalui sertifikasi saja dinilai semakin menyulitkan.
Singkatnya, guru dipaksa berbenah tanpa sokongan dari pemerintah. Ibaratnya, saat ini negara kebanyakan menuntut tanpa mau dituntut. Sebagai contoh aktual, sekitar 60 ribu guru honorer yang sudah lolos untuk ujian menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) masih ditangguhkan statusnya. Perekrutan guru PPPK dengan judul bombastis “Sejuta Guru” nyatanya, hingga tahun ketiga ini, belum juga menyentuh angka 50 persen. Justru guru yang direkrut baru 544.292 orang, lebih sedikit dari target sebesar 601.286 orang. Capaian di bawah target ini menjadi indikator bahwa pemerintah tidak kompeten dalam menuntaskan persoalan guru.
Dalam hal ini, alih-alih guru, pemerintahlah yang seharusnya diuji kompetensinya tentang manajemen guru. Sejak 2019, pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita tak pernah menyentuh target. Pada 2020, IPM ditargetkan 72,61 dan yang tercapai 71,94. Pada 2021, capaian berada pada poin 72,29 dari target 73,26. Lalu, pada 2022, kita mencapai 72,91 dari harapan 74,01. Jika dilihat selisih antara capaian dan target, kesenjangannya tampak semakin tinggi. Karena itu, banyak pihak mulai kritis terhadap dampak kinerja pemerintah. Katakanlah, misalnya, tentang dampak program Merdeka Belajar.
Pasalnya, sebelum 2019, IPM kita mengalami kenaikan dan bahkan melebih target pada 2017. Namun, sejak Merdeka Belajar diterapkan, tidak ada kenaikan signifikan. Kita memang tidak menyangkal upaya spekulatif dari pemerintah untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Namun, kita sangat menyayangkan betapa pemerintah kian kejam terhadap guru. Urusan naik pangkat mereka dipersulit dan nyata-nyata menjadi sapi perah di berbagai level administrasi. Wajar jika kini guru gerah bahwa model kompetensi guru terbaru akan menjadi spekulasi tersembunyi dari para pemangku kebijakan untuk menyulitkan mereka.
Barangkali ke depan, guru yang tak memenuhi model kompetensi tersebut, yang pada dasarnya sangat kita curigai akurasinya, pada akhirnya akan menjadi alat untuk menekan guru. Akibatnya, guru “berdamai”. Demi mendapatkan predikat level terbaik, guru memberikan lehernya. Kemerdekaan mereka pun tergadai. Lantas, inikah buah dari transformasi pendidikan melalui Merdeka Belajar? Sejujurnya, melalui artikel ini, saya tidak sedang antipati pada kebijakan pemerintah. Namun, kita belajar dari pengalaman bahwa guru semakin dipersulit. Kini, setelah bergelar sarjana pendidikan, wisudawan tidak lagi sah untuk menjadi pendidik.
Mereka lebih dulu harus mendapatkan sertifikat pendidik. Maka, setelah wisuda sarjana, mereka harus kuliah prajabatan dengan biaya yang sangat besar. Setelah lulus, mereka belum tentu ditempatkan karena akan mempunyai kesulitan baru lantaran belum memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Belum lagi skema lokapasar atau marketplace guru yang digagas Menteri Nadiem Makarim juga mulai terbaca sebagai bentuk lepas tanggung jawab dari pemerintah untuk pemenuhan guru. Kini terbit pula model kompetensi guru dengan alasan bahwa model sebelumnya sudah tidak relevan lagi. Model kompetensi guru ini menambahkan klausa “berpihak pada murid” sebagai turunan langsung dari Merdeka Belajar.
Kita bisa berdebat tentang arti dari “berpihak pada murid”. Pasalnya, kini mulai muncul selentingan kabar bahwa, ketika membiarkan siswa bebas berekspresi sehingga lebih banyak pertunjukan atau pementasan bakat atau minat, kita menyebutkan hal itu sebagai pembelajaran yang berpusat pada murid. Sementara itu, ketika belajar dengan metode ceramah, kita tak menyebutnya sebagai berpihak pada murid. Ini penilaian yang kian kemari mulai tampak keliru. Sebagai perbandingan, kita nyata-nyata melihat bahwa seminar paling megah sekalipun saat ini masih dalam bentuk ceramah.
Lantas, apakah seminar semacam itu bukan berpihak pada peserta (murid), sementara jika membiarkan siswa bebas maka otomatis jadi berpihak pada murid? Artinya, kita mulai keliru mengartikan klausa “berpihak pada murid”. Jika mau jujur, bahkan metode pembelajaran yang berpusat pada murid boleh dikatakan sudah mulai ketinggalan. Pengetahuan (knowledge) sudah mulai kalah agung daripada keahlian (skill). Jika masih mendewakan pengetahuan, sekolah sejatinya sudah bertolak belakang dengan realitas. Toh, pasar sudah bereaksi bahwa keahlian lebih penting daripada pengetahuan.
Google dan Tesla, misalnya, sudah terang-terangan mengakui bahwa mereka tak akan melihat calon karyawan dari almamater. Pelan-pelan, langkah besar dari dua perusahaan teknologi raksasa itu akan ditiru oleh perusahaan besar lainnya. Menurut Yuval Noah Harari, kita tidak tahu bakal seperti apa pasar kerja pada 2030 atau 2040. Berita buruknya, kita juga tak tahu apa yang harus diajarkan kepada anak-anak. Artinya, metode pembelajaran berpusat pada murid juga nyata-nyata sudah tidak relevan lagi. Lalu, di mana pijakan dan urgensi model kompetensi guru yang baru kalau bukan secara picik hanya untuk menyulitkan guru? (*)
Riduan Situmorang, Guru dan Pengurus PGRI Humbang Hasundutan