Media (Sosial) di Tahun Pemilu
SAAT membaca tajuk rencana Kompas, Jumat 3 Februari 2023, berjudul ”Literasi Digital di Tahun Politik”, saya menangkap pesan kuat tentang pemikiran dan sikap tegas pers terhadap pentingnya literasi bagi masyarakat menjelang pemilihan umum. Tajuk rencana adalah sikap media atau pers terhadap suatu topik dan peristiwa aktual yang dinilai penting serta berdampak luas bagi kepentingan publik.
Pemilu di depan mata. Pandangan dan sikap pers sebagai pilar demokrasi keempat sangat ditunggu-tunggu dan dibutuhkan publik. Terlebih oleh media kredibel, informasi dihasilkan menjadi pedoman dan tuntunan masyarakat memperoleh informasi pemilu dan politik yang benar, bermutu, dan dipercaya.
Ingar-bingar peristiwa politik yang mendapat perhatian media serta dikonsumsi masyarakat tak semua berorientasi kepada kepentingan publik dan memiliki tujuan peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Di media sosial dengan mudah kita peroleh informasi tak sesuai fakta, jauh dari nilai dan cita-cita demokrasi.
Manipulasi dan rekayasa informasi politik dalam bentuk teks, gambar, suara, video, atau bahkan gabungan di antara komponen itu beredar luas di masyarakat. Pesan bermuatan hoaks, mengadu domba, dan membangun sentimen kebencian di antara warga yang membahayakan kebinekaan kita mudah ditemukan melalui media sosial.
Diprediksi, realitas informasi politik seperti itu di media sosial akan semakin tinggi intensitasnya pada 2023 dan 2024 sejalan dengan suhu politik negeri ini yang makin meningkat. Pengalaman Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 menjadi pelajaran berharga bagi warga bangsa untuk tak lupa 771 konten hoaks didominasi soal politik selama periode Pemilu 2019 dan 38 isu hoaks (periode 1 September-18 November 2020) saat pilkada disebarkan lewat platform digital.
Kekhawatiran terhadap manipulasi, kejahatan, dan hoaks di tahun politik sesungguhnya menjadi perhatian serius pelbagai pihak mengingat kualitas literasi digital negeri ini berada pada level sedang, yakni 3.54 dari skala 5 hasil Survei Indeks Literasi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika 2022. Selain tingkat literasi digital yang masih perlu ditingkatkan, hasil survei Kemkominfo itu membentangkan data yang seharusnya dijadikan perhatian serius kita bersama, di mana 72,6 persen responden mendapat informasi dari media sosial.
Dan lebih mencengangkan sebanyak 52,2 persen responden mengaku tidak mengecek informasi yang mereka terima dari media sosial. Dengan perkataan lain, berdasarkan survei tersebut, masyarakat kita mayoritas memperoleh informasi melalui media sosial dan ironinya dominan pula yang tak melakukan verifikasi terhadap kebenaran informasi media sosial.
Padahal, masih dari data survei yang sama, sebanyak 55,9 persen dari responden menemui hoaks di media sosial Facebook, 16 persen dari berita daring, 13,9 persen dari Whatsapp, dan 13,1 persen dari Youtube. Bahkan, 30,8 persen responden menyatakan media sosial sebagai sumber berita paling dipercaya setelah televisi 43,5 persen. Realitas masyarakat di media sosial inilah yang masih membuat kita tidak nyaman dan terkesan kurang beradab di jagat digital.
Pers penjernih dan mensolidkan informasi
Bentangan data riil atas pengalaman dan realitas media sosial di tahun politik menaruh harapan besar kepada peran pers kredibel yang lebih masif dijalankan insan pers sebagai penjernih informasi dan menyolidkan informasi politik yang benar. Apabila terdapat informasi politik keliru atau bahkan bohong di media sosial yang menyesatkan publik, tugas pers menjernihkan kebenaran informasi tersebut.
Melalui tanggung jawab sosial, pers membangun kesadaran publik akan pentingnya verifikasi terhadap informasi yang diperoleh dari media sosial mengingat 52,2 persen responden tak melakukan verifikasi informasi media sosial. Lewat informasi yang diberikan kepada masyarakat secara implisit, pers mengedukasi publik akan pentingnya informasi yang benar sekaligus mendorong masyarakat melakukan verifikasi sumber informasi dan kebenaran konten seperti dilakukan jurnalis profesional dalam memberitakan peristiwa publik.
Selain itu, fungsi penjernih informasi dan edukasi pers setidaknya mampu mengurangi informasi politik yang memecah belah warga dengan menggunakan politik identitas ataupun isu SARA yang dimainkan di media sosial. Fungsi pendidikan dan perekat sosial media pun diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No 40/1999 tentang Pers—menjadi sangat penting dioptimalkan pers kepada masyarakat di tahun politik. Pers adalah the fourth branch of government, yakni pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pilar demokrasi keempat ini seharusnya kokoh selain independen di tahun politik. Keruwetan dan ketidakbenaran informasi politik media sosial dapat dijernihkan. Pesan politik media sosial yang membawa misi kebencian dan mengancam keragaman kita dicegah pers dengan informasi politik yang harmoni dan menyejukkan.
Di saat publik media sosial masih banyak tak melakukan verifikasi informasi, pers mengedukasi dan membangunkan kesadaran publik akan pentingnya informasi yang benar. Begitulah hakikat dan sikap pers kredibel, informasinya mencerahkan, inspiratif, serta memandu masyarakat pada jalan yang benar. Di titik inilah, saya teringat tulisan novelis dan sastrawan Amerika, Mark Twin, yang menuliskan hanya ada dua yang menerangi bumi, pertama matahari, kedua pers. (*)
Andi Andrianto, Founder Lingkar Informasi Politik.