Mempertahankan Pemilu Terbuka
DI tengah proses tahapan Pemilu 2024, para bakal calon anggota legislatif tampaknya berada di ambang pengharapan menunggu kepastian putusan Mahkamah Konstitusi, apakah pemilu legislatif masih dengan sistem pemilu daftar terbuka atau sistem pemilu daftar tertutup. Dilansir dari Kompas.id (29/4/2023), sejumlah bakal caleg petahana dari partai politik di DPR menanti putusan MK.
Perkara uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyita persidangan yang panjang, yang selama ini belum pernah terjadi, karena persidangan dilakukan berkali-kali sejak November 2022. Sepanjang tahun 2023, MK telah menggelar dua kali sidang terhadap perkara Nomor 114/PUU-XX/2022. Pertama, MK menggelar sidang dengan agenda meminta keterangan para pihak terkait pada 29 Maret. Kedua, MK menggelar sidang dengan agenda menghadirkan keterangan ahli pada 9 Mei.
Sejatinya, MK terlalu berlama-lama dalam urusan mengeluarkan putusan terkait uji konstitusional sistem proporsional terbuka Pasal 168 Ayat (2) UU No 7/2017. Saat ini, tahap pendaftaran bakal caleg di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah terlampaui. Meskipun demikian, berdasarkan asas kepastian hukum, KPU harus tetap taat melaksanakan sistem pemilu terbuka sampai adanya putusan dari MK.
Berlama-lamanya hakim MK dalam memutuskan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ini karena MK sangat hati-hati terhadap urusan pemilu. Hakim MK selain menilai konstitusionalitas norma, juga perlu mempertimbangkan apakah sistem tersebut memiliki kontribusi terhadap kemajuan demokrasi Indonesia. Karena perubahan sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup akan berdampak terhadap kuat atau tidaknya sistem pengawasan, evaluasi, dan kontrol masyarakat pemilih terhadap kinerja legislatif.
Sistem pemilu terbuka yang dijalankan KPU selama 20 tahun telah memiliki kontribusi yang besar terhadap penguatan sistem demokrasi di Indonesia. Kontribusi sistem pemilu terbuka terhadap demokrasi Indonesia bisa dilihat dari menguatnya mekanisme kontrol publik terhadap wakil rakyat di parlemen.
Hal ini jelas berkorelasi terhadap penguatan sistem sistem kontrol masyarakat dalam demokrasi di Indonesia. Seperti dikatakan Purwo Santoso bahwa sistem demokrasi yang berkualitas ialah sistem yang menghasilkan mekanisme kontrol publik terhadap kinerja para wakil rakyat di parlemen. Masyarakat dapat secara langsung menilai dan mengukur kinerja para wakil rakyat, apakah mewakili aspirasi masyarakat pemilih atau tidak.
Sistem pemilu terbuka, pada praktiknya, juga memperbesar tanggung jawab kandidat kepada pemilih. Tanggung jawab ini tidak hanya dalam program, tetapi juga keseluruhan isu apa yang tengah dihadapi oleh konstituen juga harus terpenuhi oleh anggota Dewan terpilih. Apabila suatu isu tidak menjadi perhatian Dewan, maka akan sangat mungkin terjadi ketidakmenentuan apakah di pemilu berikutnya kandidat caleg akan dipilih atau tidak. Di sinilah pemilu terbuka memiliki peranan sebagai kontrol terhadap parlemen.
Menghasilkan suatu mekanisme demokrasi yang memberikan kesempatan masyarakat berpartisipasi, mengontrol, dan menilai wakilnya di parlemen jelas bukanlah perkara yang mudah karena dibutuhkan kesadaran politik dan kesadaran terhadap pentingnya wakil rakyat untuk mengurusi urusan masyarakat. Hal ini hanya terjadi di dalam sistem pemilu terbuka.
Artinya di dalam sistem pemilu terbuka ini, tanggung jawab tidak hanya terpusat bagi kandidat terhadap pemilih, tetapi juga tanggung jawab pemilih dalam urusan kontrol publik terhadap kinerja wakilnya di parlemen. Tanggung jawab kandidat kepada pemilih dan tanggung jawab pemilih terhadap kandidat dapat menghasilkan kedekatan (proximity) antara caleg dan masyarakat yang diwakili, dan dapat menumbuhkan tradisi checks and balances di dalam suatu sistem pemerintahan.
Sementara itu, bakal caleg di Pemilu 2024 tampaknya memiliki kekhawatiran terkait sistem pemilu yang akan digunakan KPU. Kekhawatiran ini wajar karena sistem pemilu dipandang memiliki konsekuensi dalam menentukan strategi apa yang akan dilakukan oleh caleg dalam gelaran Pemilu 2024. Meskipun pengenalan terhadap caleg telah dimulai melalui baliho dan iklan politik di media, setidaknya, bakal caleg akan menahan diri untuk mengeluarkan biaya besar dalam urusan sosialisasi politik sampai dikeluarkannya putusan MK.
Pendewasaan politik pemilih
Selain menghasilkan mekanisme kontrol publik, pemilu dengan sistem terbuka juga mendewasakan pemilih. Proses pendewasaan pemilih pada sistem pemilu terbuka tumbuh karena sistem terbuka mendorong pemilih untuk menilai mana caleg yang berkualitas dan tidak.
Cara-cara pemilih di sistem pemilu terbuka ini ibarat memilih ikan di kolam. Semua warna dan jenisnya bisa dilihat dan pemilih dapat mengambil ikan mana yang berkualitas. Apabila mekanisme ini terjadi, pemilu akan secara terus-menerus akan diisi kandidat-kandidat terbaik. Sebaliknya pemilu tertutup seperti memilih kucing di dalam karung.
Sistem pemilu terbuka yang dilaksanakan secara rutin juga mendorong kesadaran obyektif pemilih untuk dapat secara langsung melihat latar belakang caleg, kemampuan caleg, keberpihakan pada isu publik, dan keberhasilan caleg sebagai wakil rakyat. Pada bagian inilah, sistem pemilu daftar terbuka secara bersamaan mempertegas kedaulatan rakyat dalam memilih dan menguatkan kualitas sistem keterwakilan di Indonesia.
Kedewasaan politik pemilih di dalam suatu sistem demokrasi sangat diperlukan karena akan melahirkan kandidat kepemimpinan caleg yang berkualitas. Proses pendewasaan pemilih ini memang membutuhkan waktu yang tidak pendek karena harus menghadapi masalah-masalah pelik di sistem pemilu terbuka. Masalah yang pelik di dalam pemilu terbuka seperti vote buying atau NPWP, ”Nawar Piro, Wani Piro”, yang menunjukkan bahwa peluang jual-beli suara dalam sistem pemilu proporsional terbuka sangat besar.
Namun, perlu diingat bahwa jual-beli suara terjadi disebabkan kandidat tidak memiliki nilai tawar program yang menarik bagi masyarakat, di sisi lain juga disebabkan rasa tidak percaya masyarakat terhadap caleg. Sementara pemilih juga masih sangat pragmatis dan belum dewasa secara politik karena faktor pendidikan politik yang masih rendah. Hal ini berbeda dengan pemilih yang dewasa secara politik yang cenderung menjadi pemilih rasional.
Oleh karena itu, MK dalam memutuskan perkara pemilu membutuhkan renungan yang mendalam, konsep, dan keseriusan dalam melihat konstitusionalitas UU dan melihat sejauh mana sistem pemilu terbuka berkontribusi terhadap penguatan sistem demokrasi di Indonesia. (*)
Moh Khoirul Umam, Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Ampel, Surabaya