Menerjemahkan Pancasila ala Kurikulum Merdeka
KONON, pernah ada perhelatan sepak bola yang diberi nama ”Sepak Bola Pancasila”. Lalu, yang terjadi di lapangan sungguh mencengangkan: para pemain sering terlibat jual beli pukulan, bahkan tak jarang wasit menjadi sasaran tinju. Pancasila ternyata hanya dipinjam untuk menjadi nama.
Sepenggal kisah ironis yang tertuang dalam salah satu tulisan sejarawan Susanto Zuhdi dalam Nasionalisme, Laut, dan Sejarah (2014) tersebut tentu hanya sepotongan kecil dari banyaknya fenomena serupa di Tanah Air. Tak terbilang banyaknya, entah lembaga, perkumpulan, organisasi, ataupun pergerakan yang menamakan dirinya Pancasila atau menempelkan kata Pancasila sebagai atribut.
Apakah kemudian nama dan atribut yang dipakai itu termanifestasi dalam tindakan? Pengalaman demi pengalaman membuktikan tak sedikit yang sama dengan cerita sepak bola tadi.
Profil pelajar Pancasila
Kemendikburistek melalui Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan memperlihatkan komitmen untuk mencetak pelajar Pancasila melalui seperangkat nilai bernama profil pelajar Pancasila. Dokumen bernomor 009/H/KR/2022 tersebut menguraikan peran profil pelajar Pancasila ”sebagai referensi utama yang mengarahkan kebijakan-kebijakan pendidikan termasuk menjadi acuan untuk para pendidik dalam membangun karakter serta kompetensi peserta didik”.
Adapun rumusan profil pelajar Pancasila menurut dokumen tersebut ”perlu sederhana dan mudah diingat dan dijalankan baik oleh pendidik maupun oleh pelajar agar dapat dihidupkan dalam kegiatan sehari-hari”. Maka, lahirlah ”enam dimensi profil pelajar Pancasila” yang mencakupi: (1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; (2) berkebinekaan global; (3) bergotong royong; (4) kreatif; (5) bernalar kritis; dan (6) mandiri. Setiap dimensi kemudian diturunkan dalam bentuk elemen-elemen agar lebih detail, dan sebagian elemen dipecahkan lagi dalam bentuk suplemen sehingga menjadi semakin konkret dan applicable.
Di atas kertas, sebagai sebuah upaya menerjemahkan Pancasila menjadi perilaku-perilaku nyata, rancangan yang dibuat pemerintah ini boleh dibilang cukup memadai. Namun, tentu yang menjadi kunci tetaplah bagaimana pemerintah dan para pendidik mengoperasionalisasi gagasan besar ini dalam rupa kebijakan dan proses pembelajaran di sekolah.
Membangun karakter berbasis proyek
Kekhasan dalam upaya membangun karakter Pancasila ala Kurikulum Merdeka terletak pada pembelajaran berbasis proyek yang populer dengan sebutan ”Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila” (P5). Proyek menjadi sarana untuk membentuk karakter Pancasila, yakni sekurang-kurangnya memiliki enam karakter (dimensi) sebagaimana yang disebutkan di atas.
Agar daya jangkaunya luas, pemerintah menyiapkan sejumlah tema proyek yang menyentuh hampir semua dimensi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yakni gaya hidup berkelanjutan, kearifan lokal, Bhinneka Tunggal Ika, bangunlah jiwa dan raganya (isu kesehatan fisik dan mental), suara demokrasi, berekayasa dan berteknologi untuk membangun NKRI, dan kewirausaan.
Proyek lapangan yang menggarap tema-tema ini pertama-tama bertujuan agar dalam diri setiap siswa berangsur terbentuk karakter Pancasila yang diharapkan. Perkara mereka kemudian berhasil mengatasi masalah tertentu di sekitar atau sukses menciptakan produk tertentu, itu menjadi nilai plus. Bahkan, sebenarnya jika gagal pun mereka tetap mempelajari sesuatu.
Menariknya, proyek ini dilakukan secara berkelompok dan para siswa diberi keleluasaan untuk menerjemahkan tema menjadi topik spesifik sesuai dengan apa yang mereka senangi/minati. Dalam kelompok, mereka dibiarkan berdiskusi menentukan fenomena-fenomena di sekitar yang menarik untuk digarap. Dalam proses ini, guru tidak banyak terlibat. Guru hanya memastikan karakter apa yang bisa tercipta dalam diri setiap siswa berdasarkan dinamika yang terjadi dalam kelompok.
Berdasarkan evaluasi rutin yang dilakukan penulis bersama beberapa sekolah di DKI Jakarta, terungkap bahwa metode ini mendapat sambutan positif dari para siswa. Tentu pengalaman di Jakarta ini tidak bisa dijadikan barometer keberhasilan.
Namun, data hasil survei yang dilakukan Pusat Studi Kebangsaan Indonesia Universitas Prasetiya Mulya kerja sama dengan Litbang Kompas (2022) setidaknya bisa memperkuat temuan tersebut. Dari sampel 1.600 mahasiswa yang tersebar di seluruh Indonesia, hampir semua (98,85 persen) menginginkan pembelajaran Pancasila dilakukan melalui praktik langsung di tengah masyarakat. Meskipun studi tersebut dilakukan terhadap mahasiswa, tingginya persentase bisa menjadi cerminan keinginan anak-anak sekolah pada umumnya.
Fokus kepada proses
Lepas dari kekurangan-kekurangannya, pembentukan karakter berbasis proyek sangat berpotensi menjadi salah satu model pembentukan karakter yang menyenangkan. Berbeda dengan gaya indoktrinasi warisan Orde Baru, di sini siswa membentuk dirinya sendiri dalam proses, tanpa dipaksa atau didikte. Proyek juga membuat sila-sila dalam Pancasila menjadi lebih simpel dan aplikatif, tidak beku sebagai konsep abstrak yang hanya menjadi hafalan bibir atau slogan yang kapan saja bisa dicomot jadi ”pemanis” untuk nama lembaga, pergerakan, dan seterusnya.
Karena itu, sekolah-sekolah diharapkan menomorsatukan pembentukan karakter selama proses pengerjaan proyek, bukan malah fokus menuntut hasil akhir. Tidak pula mengagung-agungkan pergelaran hasil akhir (perayaan proyek) dan mengabaikan proses. Hasil akhir yang ditampilkan di akhir proyek tidak menjadi ukuran keberhasilan ”instalasi” karakter Pancasila dalam diri siswa. Seumpama menenun selembar kain, pembentukan karakter tidak pernah instan. Butuh waktu untuk melihat hasilnya.
Kalau demikian, apa yang dinilai guru? Yang dinilai adalah sikap-sikap yang tampak selama proses berjalan. Penilaian atas sikap-sikap tersebut jelas untuk keperluan evaluasi. Sebab, esensi dari pembentukan karakter bukan judgement, tetapi perbaikan demi perbaikan.
Beberapa catatan
Di atas semua itu, beberapa catatan berikut perlu diperhatikan. Pertama, penanaman karakter Pancasila tidak boleh dilimpahkan semata-mata kepada proyek. Penggunaan frasa ”penguatan profil pelajar Pancasila” jelas menyiratkan bahwa keseluruhan proses pembelajaran di dalam maupun di luar kelas sudah semestinya mengerucut kepada penciptaan karakter Pancasila.
Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dengan demikian bertugas memperkuat semua itu. Itulah alasan mengapa pemerintah mengatakan bahwa profil pelajar Pancasila menjadi acuan bukan hanya dalam membangun karakter, tetapi juga dalam menentukan kompetensi siswa. Artinya, enam dimensi profil pelajar Pancasila dengan segala turunannya menjadi muatan dasar dalam semua aktivitas pembelajaran menuju terbentuknya pelajar Pancasila.
Kedua, perhatikan juga bahwa menerjemahkan Pancasila menjadi karakter konkret bukan segala-galanya. Tetap diperlukan pendalaman Pancasila pada tataran pemahaman agar tidak menjadi terlampau praktis sampai tercerabut dari akar filosofis-historisnya. Penanaman karakter Pancasila hanya menjadi lengkap kalau ada pemahaman yang menyeluruh mengenai apa itu Pancasila, latar belakang terbentuknya, sejarah perkembangannya, posisinya saat ini, baru pada akhirnya menjadikannya dasar untuk bertindak hic et nunc, di sini dan sekarang.
Ketiga, jelas bahwa kita tidak hanya membutuhkan pelajar Pancasila, tetapi juga guru Pancasila dan pemerintah Pancasila. Memberikan teladan adalah kunci keberhasilan menciptakan pelajar Pancasila. Sebaik apa pun rancangan yang disiapkan, tanpa disertai teladan, tidak akan banyak berguna, sebab verba movent, exempla trahunt, kata-kata memang dapat menggerakkan, tetapi teladan itulah yang menarik hati. (*)
Heribertus Jani, Peneliti Pusat Studi Kebangsaan Indonesia Universitas Prasetiya Mulya