Menyikapi Pesona Dunia Ramadhan
DALAM banyak riwayat dijelaskan, Ramadhan merupakan bulan yang paling istimewa dibandingkan bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan ini, segala macam doa dan munajat menjadi ruang percakapan yang paling sublimatik dengan Allah SWT sang pencipta. Terlebih lagi, di bulan ini ada sebuah puncak kemuliaan bernama lailatul qadar yang paling diharap oleh setiap orang.
Selain itu, di bulan Ramadhan, setiap aktivitas yang dilakukan dalam keseharian dinilai sebagai ibadah yang berpahala. Setitik kebaikan yang dilakukan memperoleh pelipatgandaan pahala yang sangat luar biasa. Bahkan, apabila kita memperlakukan puasa Ramadhan dengan keimanan dan ketulusan, Sang Pencipta tak segan akan menghapus segala dosa yang berlalu dan yang akan datang.
Itulah pesona dunia (enchantment of the world) Ramadhan yang mendedahkan banyak distingsi dan diferensiasi dibandingkan 11 bulan lainnya. Tak heran apabila seseorang yang pernah mengalami keintiman dan kenikmatan bulan Ramadhan akan sangat berbunga-bunga apabila kehadirannya semakin dekat dan akan sangat bersedih apabila akan berlalu seiring dengan perjalanan waktu.
Efek kejut transendental
Secara sosiologis, titik pembeda bulan Ramadhan dengan bulan-bulan lainnya, meminjam cara berpikir George Ritzer dalam buku Enchanting A Disenchanted World, adalah adanya efek kejut transendental yang mampu ”membius” setiap orang dengan berbagai keistimewaan dan kemuliaannya. Terlebih lagi, keberadaan puasa Ramadhan membentangkan jalinan esoterik-eskatalogis yang sangat privat dan rahasia antara pelaku dan pencipta.
Melalui efek kejut transendental ini, setiap orang menghibahkan dirinya untuk asyik masyuk dalam berbagai mata rantai keistimewaan dan kemuliaan bulan Ramadhan. Setiap orang akan memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai arena kontestasi dalam kebajikan dan berupaya meluruhkan ego personalnya. Bahkan, seolah ada dorongan psikologis yang muncul dari alam bawah sadar, setiap orang melakukan kontrol secara otomatis ketika berhadapan dengan berbagai persoalan yang dianggap mengganggu atau mengancam dirinya.
Selain itu, karakter efek kejut transendental yang terdapat di bulan Ramadhan menjadi peluang penguatan kesadaran intersubyektif yang menekankan pada rasa memahami (verstehen), rasa simpati dan empati, serta pandangan inclusive-partnership-dialogical—meminjam istilah Prof Amin Abdullah—terhadap perbedaan dalam kehidupan masyarakat.
Melalui kesadaran intersubyektif ini, setiap orang terkondisikan untuk belajar memahami kesakralan bulan Ramadhan dengan cara melakoni segala sesuatu yang diperintahkan (imtitsalul awamir) dan menjauhi segala apa yang dilarang (ijtinab an nawahi). Selain itu, menyempurnakan kesakralan bulan ini, setiap orang terdorong untuk saling simpati dan empati dengan cara berbagi rezeki kepada kaum papa dan pihak yang membutuhkan.
Bahkan, ketika ada perbedaan antarpihak dalam melakoni ibadah puasanya, semisal perbedaan waktu awal puasa, jumlah rakaat Tarawih, dan ibadah lainnya, setiap orang belajar menumbuhkan cara pandang inclusive-partnership-dialogical. Melalui cara pandang ini, setiap orang bersikap terbuka dan menghargai adanya perbedaan, tetap menggandeng pihak yang berbeda dalam kebersamaan dan kerukunan, serta mengedepankan dialog dan titik temu ketika ada perselisihan pendapat dalam urusan ibadah dan muamalah (sosial).
Dengan perilaku intersubyektif tersebut, maka bulan Ramadhan yang secara esensial membentangkan beragam efek kejut transendental akan semakin memberikan atmosfer nilai tambah yang memungkinkan setiap orang terpesona (enchanting) dan terpikat dengan keistimewaan dan kemuliaannya.
Aturan main
Namun, untuk bisa merasakan pesona dunia bulan Ramadhan dan memperoleh berbagai keistimewaannya, tentu ada aturan main yang harus diperhatikan dan dipatuhi setiap orang. Sebab, disadari atau tidak, keberadaan bulan Ramadhan yang satu sisi menebarkan beragam pesona dunia, di dalamnya juga ada salah satu ceruk penegasian pahala yang disebabkan oleh kealpaan kita dalam memosisiskan diri dengan baik dan benar selama bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan kebanyakan orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, melainkan rasa lapar dan dahaga,
Dalam aturan main tersebut, setidaknya ada tiga aspek yang harus disikapi setiap orang. Pertama, menjaga lisan (hifdzul) dari perkataan bohong dan dusta. Di era digital, menjaga lisan bisa berupa menahan diri dari penyebaran hoaks, pelintiran kebencian, dan infodemik lainnya yang dapat merusak tali persaudaraan.
Menjalani puasa Ramadhan di era digital membutuhkan literasi pengetahuan dan keagamaan yang memadai agar kita tidak mudah terpancing dengan segala postingan informasi. Oleh karena itu, setiap informasi yang kita bagikan (share) ke berbagai platform digital harus disaring dan dicermati dengan bijaksana agar tidak menimbulkan kegaduhan yang bisa mengoyak sendi-sendi kemanusiaan.
Kedua, menjaga niat dan lelaku puasa dari sikap pamer maupun ingin dipuji (riya’). Sebab, puasa Ramadhan merupakan satu-satunya ibadah yang sifatnya rahasia dan hanya Allah SWT yang bisa menilai ketulusan niat dan lelaku kita.
Tidak patut kiranya apabila kita merasa terganggu lalu bertindak agresif terhadap orang yang tidak berpuasa dan warung makan yang tetap berjualan di siang hari. Apalagi sikap agresif tersebut dipamerkan ke permukaan publik hanya karena kita meminta kenyamanan berpuasa dari mereka yang tidak melakoni puasa. Cukuplah bagi kita mengoptimalkan diri dengan lelaku puasa yang kita yakini agar kita tidak terjebak dalam sikap paling benar dan ego-doktrinal yang bisa meluruhkan pahala dan keistimewaan bulan Ramadhan.
Ketiga, menjaga makanan yang kita santap, baik untuk berbuka maupun sahur, dari berbagai unsur keharaman. Dalam kaitan ini, unsur keharaman bisa ditimbulkan dari zat makanan yang dilarang dalam Al Quran maupun perilaku penyimpangan pendapatan yang diperoleh dari korupsi, pemalakan, pencucian uang, dan berbagai jenis penipuan lainnya. Sebab, makanan yang halal harus diperoleh dengan cara tepat dan benar sebagaimana diatur dalam syariat agama dan syariat negara.
Dengan menyikapi tiga aspek tersebut, maka pesona dunia Ramadhan yang mempunyai berbagai distingsi, keistimewaan, dan efek kejut transendental dapat kita rasakan kenikmatan dan keintimannya sekaligus bisa kita jadikan sebagai recharging spirituality and humanity yang bisa memengaruhi lelaku kehidupan di 11 bulan berikutnya.
Semoga, puasa Ramadhan yang kita jalani tahun ini menjadi momentum refleksi diri sekaligus peningkatan kualitas ketulusan dan keimanan agar pesona dunianya menjadi jamuan rohani yang bisa kita nikmati di sepanjang kehidupan kita. (*)
Fathorrahman Ghufron, Wakil Katib PWNU Yogyakarta