Wacana

Mewaspadai Polarisasi Algoritma

PEMBAHASAN terkait polarisasi bukanlah hal yang baru. Namun, merumuskan berbagai kemungkinan yang ditimbulkan dari fenomena ini terkadang luput dari perhatian kita. Sebagian bahkan berpikir jika ini menjadi sesuatu yang wajar di tengah situasi politik yang ada. Sebab, polarisasi sendiri secara mendasar memperlihatkan adanya perbedaan pandangan yang penting bagi negara demokrasi. Sebaliknya, di negara otoriter, kondisi ini akan sulit kita temui. Perbedaan pendapat atau pandangan sekiranya menjadi harapan bagi kita untuk terus hidup dalam demokrasi yang lebih baik.

Hanya saja, penting untuk mulai sadar akan hadirnya polarisasi politik tersebut. Pasalnya, polarisasi politik dapat berdampak buruk jika kita tidak mewaspadainya sejak dini. Beberapa peristiwa yang bermula dari polarisasi dapat kita lihat di insiden penyerbuan Gedung Kapitol 2021 di Amerika Serikat. Tepatnya, pada 6 Januari 2021, partisan dari Presiden Donald Trump memprotes hasil pemilu yang mereka anggap tidak menguntungkan bagi kelompoknya. Insiden ini pada akhirnya menimbulkan korban nyawa.

Hal yang serupa terjadi di Brasil, saat polarisasi politik semakin tajam beberapa tahun terakhir. Di tahun 2018, seorang politisi sayap kiri bernama Marielle Franco dibunuh dan menimbulkan berbagai kekerasan politik yang terus berlanjut.

Di Indonesia, tentu tidak seperti Amerika Serikat yang memperlihatkan bentuk keterbelahan antara kelompok sayap kanan dan sayap kiri. Ideologi masing-masing kubu dapat tampak jelas dan berimplikasi pada pola sikap dan perilaku yang dimiliki. Sebagai negara demokrasi, Indonesia tentu membuka ruang kemungkinan munculnya keterbelahan antarkelompok, meski secara ideologi tidak sejelas yang terjadi di Amerika Serikat.

Istilah cebong versus kampret muncul di Indonesia menjelang Pemilu 2019. Tidak sedikit kita mendengar berita yang memperlihatkan pertentangan antara dua kubu itu di tengah masyarakat, bahkan level suami dan istri pun terkena imbasnya.

Mewaspadai algoritma

Dalam survei Litbang Kompas pada 2022 terkait polarisasi cebong versus kampret, salah satu temuan yang menarik adalah sampai saat ini istilah itu masih digunakan dan berpotensi kembali memunculkan polarisasi politik. Hal lain yang penting dari survei tersebut, terdapat orang-orang yang memperkeruh situasi secara sadar, seperti influencer, buzzer, atau provokator. Keberadaan orang-orang ini jelas akan mudah kita temui di media sosial dan sebenarnya kita patut waspada dengan algoritma kita hari ini.

Eli Pariser memopulerkan istilah filter bubble dalam bukunya yang berjudul The Filter Bubble: How The New Personlized Web Is Changing What We Read And How We Think. Secara sederhana, filter bubble bekerja untuk menyaring sejumlah informasi yang akan disesuaikan dengan kecenderungan atau pemilik akun di internet. Algoritma kemudian bekerja untuk memberikan informasi atau sajian berita yang sesuai dengan keinginan kita. Saat seseorang terjebak dalam algoritma, besar kemungkinan dia akan mengalami bias dan merasa pendapatnya adalah sesuatu yang umum atau mayoritas.

Di kasus polarisasi politik, tentu cukup mudah untuk kita jumpai di media sosial. Secara bergiliran atau waktu-waktu tertentu, beberapa akun provokator dengan mudah bisa melempar isu atau merancang rekayasa untuk memperkuat pandangan satu kubu.

Jebakan dari filter bubble secara cepat dan tepat akan memperkuat pandangan kelompok tertentu. Kesadaran individu secara tidak langsung dapat digerakkan oleh penguatan narasi yang muncul dari algoritma yang sedemikian rupa memberikan keinginan atau harapan kita.

Menjelang tahun politik, semestinya kita mulai memasang alarm menghadapi algoritma kita masing-masing. Kita berpeluang besar terjebak dalam algoritma. Selain lepas dari algoritma yang mengarah ke polarisasi, kita terlebih dahulu harus melawan ketergantungan kita terhadap internet. Masalah berlapis hari ini kemungkinan akan menjadi tantangan tersendiri. Perilaku kita jelas akan terekam dan menjadi data akurat untuk senantiasa menjebak kita pada opini-opini yang kita sepakati.

Parahnya, ketika kita tidak mampu lepas dari jebakan algoritma tersebut, bias yang kita miliki dapat membuat kita lebih keras kepala dengan pendapat pribadi. Hal ini yang pada akhirnya membuat berita hoaks atau palsu dengan mudahnya tersebar tanpa ada keinginan untuk melakukan filter dan memeriksa sumber informasi. Sampah-sampah di dunia maya secara tidak langsung akan menumpuk di kepala dan bukan tidak mungkin, kejadian buruk di Amerika Serikat, Brasil, dan beberapa negara lainnya terkait polarisasi politik terjadi di Indonesia hingga menjadi sebuah ancaman bagi kita semua.

Mekanisme meloloskan diri

Jika kita lebih terbuka dan siap berlapang dada, kita mesti menerima kenyataan jika ruang digital telah merekam berbagai data dan merumuskan konsep algoritma yang kita miliki. Di satu sisi, ini menjadi kemudahan saat kita mengakses beberapa informasi tertentu. Namun, kembali lagi, algoritma yang menjebak akal sehat tetap penting untuk diwaspadai.

Gerakan kolektif dibutuhkan untuk bisa lepas dari pengaruh keterbelahan pandangan yang diciptakan algoritma. Butuh kelompok-kelompok khusus yang mampu memberikan pencerahan atau filter terhadap maraknya konten yang berisi provokasi. Penting juga untuk melibatkan para cendekiawan, ulama, tokoh nasional, hingga influencer untuk lebih bijak dalam menyampaikan pesan di media sosial. Diperlukan kedewasaan yang disertai dengan harapan melihat bangsa Indonesia untuk tetap bersatu dan tidak terjerumus dalam sisi gelap polarisasi politik seperti di belahan negara lain.

Sinan Aral, dalam bukunya yang berjudul The Hype Machine, berpesan pada kita semua, ”repetition causes belief”. Cara kerja algoritma akan membawa kita pada confirmation bias, yang nanti akan membuat polarisasi politik semakin tajam. Sebelum itu terjadi, penting untuk mulai merumuskan mekanisme meloloskan diri dari perangkap yang kian hari makin cerdik. (*)

 

Wawan Kurniawan, Peneliti Psikologi Sosial, Aktif di Laboratorium Politik Fakultas Psikologi UI

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.