Otonomi Daerah Dilupakan?
Menyambut Pilpres 2024, ihwal otonomi daerah terasa bukan menjadi prioritas bangsa Indonesia. Kini, energi tersedot kuat ke proses perhelatan nasional tersebut. Pelaksanaan otonomi daerah dibuat menjadi sekadar elemen pelengkap ajang pilpres tersebut. Pilkada serentak yang akan berjalan juga disiapkan sedemikian rupa seirama dengan perhelatan politik nasional. Terdapat perbedaan pilpres kini dan yang lalu terkait isu otonomi daerah.
Isu otonomi daerah kini tidak berembus kencang dalam Pilpres 2024, melorot lebih jauh lagi dari masa Pilpres 2019. Isu otonomi daerah selalu tinggi pada setiap ajang pilpres sebelum 2019. Di masa yang lalu bahkan ditandai perbaikan kebijakan otonomi daerah. Apakah pertanda buruk bagi pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia? Ini perlu dicermati.
Bagian dari perubahan
Membicarakan pelaksanaan otonomi daerah dan segala macam persoalannya kini bagaikan buah simalakama. Di satu sisi, pandangan yang kuat bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus berada dalam koridor kebijakan nasional yang diperketat telah menjadi pegangan pemangku kepentingan. Disadari pula bahwa otonomi daerah yang disukai banyak kalangan adalah pada matra pemilihan kepala daerah yang harus tetap dengan model pemilihan kepala daerah secara langsung.
Meningkatnya jumlah kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena persoalan korupsi dipahami berada pada soal biaya tinggi. Kemudian dirumuskan jalan mengatasinya adalah dengan mengerem biaya tersebut, selain dengan cara diselenggarakan pilkada secara serentak dan seribu satu macam cara pandang dengan perbaikan pilkada langsung tersebut. Soal-soal sistemik tata kelola pemerintahan dan yang terkait mekanisme hubungan pusat-daerah, nyaris tidak menjadi perhatian.
Semua pihak mencari cara mengunci agar ruang otonomi daerah diperketat di sisi ini. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah secara langsung tetap dipertahankan dengan dibuat rendah biaya dan tata kelola pemerintahan serta hubungan pusat-daerah dibuat sentralistis, sayangnya tidak diperhatikan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Dampaknya, daerah-daerah otonom mengikuti irama pemerintah pusat. Nyaris tanpa inovasi, tanpa keberanian melakukan terobosan, dan manut apa yang digariskan pemerintah pusat. Yang tidak disangka adalah angka korupsi tinggi disertai kinerja pemda yang buruk terbukti kemiskinan tetap tinggi, angka tengkes (stunting) di daerah tinggi, pertumbuhan ekonomi tidak signifikan, dan makin terkejut dana-dana milik pemerintah daerah dari alokasi pusat masih banyak yang parkir di bank, belum digunakan.
Di sisi yang lain, mengurai benang kusut pelaksanaan otonomi daerah yang memburuk tersebut dengan upaya perbaikan dianggap melawan status quo alias menuntut perubahan tata kelola nasional. Di titik ini pula dianggap menentang garis kebijakan yang diputus oleh Jakarta. Agenda otonomi daerah jika dibicarakan isinya adalah perubahan. Dan perubahan itu membuat alergi berbagai pihak di pusat pemerintahan. Masyarakat yang berkepentingan terkait otonomi daerah menjadi apriori terhadap isu perbaikan tersebut.
Perlu kematangan
Otonomi daerah merupakan nilai-nilai yang menjadi acuan dalam tata kelola negara bangsa. Para ahli meyakini ini sebagai sebuah nilai luhur yang mestinya dicita-citakan penyelenggara negara yang beradab (Conyers: 1985, Khan dan Muthallib: 1985: Rondinelli: 2011, Hatta: 1956). Pada saat ini sedang berjalan tata kelola bangsa dalam pemerintahan RI yang mengarah kepada sentralisasi, tetapi dengan tetap menyediakan kepemimpinan lokal yang genuine pilihan warga melalui pilkada langsung.
Perubahan yang pelan, tetapi pasti ke arah sentralisasi tidak mungkin dikembalikan secara mendadak. Bangsa Indonesia perlu menyadari, keruwetan sentralisasi yang kini berjalan sesungguhnya terletak kepada ihwal inkonsistensi pelaksanaan asas-asas pemerintahan yang berdampak kepada akuntabilitas dan kinerja pemerintahan yang menjadi ternodai. Perbaikan ke depan adalah menentukan cara yang konsisten dengan mekanisme sentralisasi ini.
Banyak urusan yang ditarik ke pusat, tetapi secara kelembagaan pemerintah pusat tidak ada di tempat. Muncul soal terakhir pada pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB), sebelumnya kebakaran hutan, kinerja rumah sakit yang buruk, soal peredaran minyak goreng, bencana alam yang tidak jelas tata-kelolanya, dan masih banyak lagi dirasakan soal buruknya hubungan pusat-daerah.
Kini, daerah seakan selalu dipojokkan dalam berbagai soal, tetapi daerah hanya bisa diam. Asosiasi pemerintah daerah pun diam. Desa yang pada sebelum UU Desa digulirkan juga banyak melakukan tuntutan perubahan, kini diam juga. Parade Nusantara karena diiming-imingi periode masa jabatan kepala desa yang merasakan betapa nikmatnya dana telah digulirkan ke desa diam juga.
Meskipun dibuatkan SISKEDUES (aplikasi sistem keuangan desa) secara nasional ketat njlimet bagi pemdes, pun tidak masalah. Padahal jargon awal pengusung UU Desa adalah Desa Membangun bukan Membangun Desa. Tampaknya telah dibalikkan kembali saat ini menjadi konsep Membangun Desa.
Konsistensi perlu ditegakkan supaya tidak membuat jumping. Setelah berjalan mulus dengan konsisten, baru pada saatnya apakah tetap tata kelola bangsa Indonesia ingin dipertahankan secara sentralistik atau dengan mengedepankan otonomi daerah yang berbasis kemandirian dan Bhinneka Tunggal Ika. Dari sini dimulai kembali turn-back centralization. Cita-cita otonomi pendiri bangsa adalah cita-cita ideal untuk tata kelola negara bangsa Indonesia yang akhirnya disesuaikan dengan kondisi riil negeri ini. (*)
Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, Ketua Pusat Studi DeLOGO-FIA-UI