Papua dalam Pusaran Pemekaran
INDONESIA secara formal yuridis, sejak 30 Juni 2022, memiliki 37 provinsi, bukan lagi 34 provinsi. Ini merupakan implikasi dari pengesahan tiga Rancangan Undang-Undang tentang Pemekaran Papua. Tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) yang dimekarkan dari Provinsi Papua, yakni Provinsi Papua Selatan (empat kebupaten), Provinsi Papua Tengah (delapan kabupaten), dan Provinsi Papua Pegunungan (delapan kabupaten).
Secara historis, Provinsi Papua telah beberapa kali masuk dalam pusaran praktik pemekaran. Awal mula pemekaran dalam bentuk afdeling (distrik) yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda pada 1961. Pada waktu itu, Papua telah dibagi ke dalam Onderafdeling Bergland, Afdeling Holandia, Afdeling Gelvinkbaai, Afdeling Centraal Nieuw Guinea, Afdeling Zuid Nieuw Guinia, Afdeling Fakfak, dan Afdeling West Nieuw Gunia.
Setelah penentuan pendapat rakyat pada 1969, dibentuk satu provinsi dengan nama Provinsi Otonom Irian Barat. Pada 1999, dilakukan pemekaran dengan membentuk Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat. Akhirnya, aturan tersebut pada 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 2008, rekognisi terhadap Provinsi Papua dan Papua Barat dilegalkan. Kini, Papua memiliki lima provinsi, meliputi Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Mekanisme pemekaran daerah
Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengatur secara ketat ketentuan mengenai pemekaran suatu daerah. Walaupun banyak usulan dari berbagai daerah untuk membentuk pemekaran daerah otonomi baru, pembentukannya hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Bagi provinsi, syarat administrasi yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari menteri dalam negeri.
Adapun syarat teknis adalah harus mempertimbangkan (a) kemampuan ekonomi; (b) potensi daerah; (c) sosial budaya; (d) kependudukan; (e) luas daerah; (f) pertahanan; (g) keamanan; dan (h) faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Terakhir, syarat fisik kewilayahan, yakni harus meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan provini, lokasi calon ibu kota, serta sarana dan prasarana pemerintahan.
Adapun di UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sebelum 2021, aturan mengenai pemekaran Provinsi Papua hanya dapat dilakukan dengan mekanisme bottom up, yakni pemekaran hanya dapat dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Rakyat Papua (DPRP) setelah memperhatikan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang. Hal ini merupakan praktik desentralisasi asimetris guna mengakui dan menghormati entitas rakyat Papua.
Namun, pada 2021, secara yuridis melalui perubahan UU Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua UU tentang Otonomi Khusus Papua, pemekaran Provinsi Papua tidak hanya mengakomodir konsep bottom up, tetapi juga top down. Konsep top down adalah inisiatif murni yang datang dari pemerintah dan DPR.
Berdasarkan ketentuan pemekaran daerah sebelumnya, muncul beberap pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh pembentuk UU. Pertama, melihat di satu sisi syarat dan mekanisme dalam pemekaran daerah yang begitu rumit, tetapi di sisi lain proses pembentukan tiga RUU ini hanya memakan waktu sembilan hari. Maka, apakah sejatinya pembentuk UU telah menempuh semua mekanisme tersebut?
Kedua, UU Pemerintahan Daerah mensyaratkan suatu provinsi dapat dibentuk apabila memiliki paling sedikit lima kabupaten/kota, sedangkan Provinsi Papua Selatan hanya memiliki empat kabupaten/kota. Apakah syarat dalam UU Pemerintahan Daerah tidak berlaku bagi Otonomi Khusus Provinsi Papua?
Ketiga, perubahan mekanisme pemekaran daerah baru diubah oleh pemerintah pusat pada 2021 sehingga mengakomodir mekanisme top down, yakni tidak mempersyaratkan persetujuan MPRP dan DPRP, hanya cukup inisiatif dari pemerintah pusat. Pada 2022, mekanisme tersebut langsung diimplementasikan dan diujicobakan pada tiga provinsi baru di Papua. Apakah pemekaran tiga Provinsi Papua memang kebutuhan rakyat Papua atau kepentingan pemerintah pusat?
Titik temu
Beberapa kali produk undang-undang dinilai tidak partisipatif, bahkan terakhir UU Cipta Kerja dinilai inkonstitusional bersyarat oleh MK karena hal serupa. Sebagai UU yang vital dan sensitif, tiga UU tentang Pemekaran Provinsi Papua sejatinya harus dibentuk dengan menekankan aspek kultural kolegial, desentralisasi asimetris, dan bertujuan untuk akselerasi pembangunan.
Pertama, dalam aspek kultural kolegial, pembentukan ini harus berkomunikasi dan melibatkan orang asli Papua (OAP), baik yang terlembagakan secara resmi melalui MRP dan DPRP maupun yang tidak terlembagakan secara resmi, seperti persatuan-persatuan hukum adat di Papua.
Dalam pembentukannya, tiga UU tentang pemekaran Provinsi Papua harus memenuhi prinsip meaningful participation, yakni konsultasi publik secara partisipatif dan memperhatikan hak masyarakat, khususnya rakyat Papua, untuk: didengarkan; dipertimbangkan; dan mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Kedua, disebabkan karena pemekaran daerah dilakukan di entitas daerah yang memiliki otonomi khusus, aspek desentralisasi asimetris juga harus diperhatikan. Konsep ini didasarkan kepada kebutuhan akan kerangka administrasi yang andal dalam mengelola keragaman di Provinsi Papua. Secara filosofis, hal tersebut menunjukkan pengakuan dan penghormatan bangsa Indonesia atas keragaman dan adanya kesadaran bahwa keragaman di Provinsi Papua tersebut dipandang sebagai suatu ”energi sosial”.
Ketiga, pembentukan tiga UU tentang pemekaran Provinsi Papua harus benar-benar ditujukan untuk mengakselerasi pembangunan daerah, khususnya rakyat Papua. Jangan sampai justru menjadi daerah otonom yang gagal dikarenakan tidak ada masa persiapan bagi daerah untuk mandiri secara finansial ataupun secara pemerintahan.
Perlu dukungan pemerintah pusat, baik moril maupun materil. Terlebih, Provinsi Papua telah beberapa kali terjebak dalam pusaran pemekaran. Dengan demikian, dalam pembentukan UU Pemekaran Provinsi Papua, diharapkan tidak memiliki napas trial and error, tetapi memang hasil dari desain yang matang. (*)
M Addi Fauzani, Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Inodnesia (PSHK UII).