Wacana

Pengadilan HAM Paniai Masih Jauh Panggang dari Api

SELAMA bertahun-tahun berkas hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai dipingpong oleh Kejaksaan Agung. Belakangan, Kejaksaan akhirnya menyidik kasus ini secara tertutup sejak akhir 2021 hingga beberapa pekan lalu.

Peristiwa berdarah Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Saat itu, sekelompok warga sipil memprotes pengeroyokan oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua. Protes itu berujung bentrokan dengan aparat keamanan yang mengakibatkan empat orang meninggal dan 21 orang luka berat akibat penganiayaan.

Hasil penyidikan Kejaksaan Agung menetapkan seorang purnawirawan TNI berinisial IS sebagai tersangka dan pengadilan HAM akan segera digelar. Tanpa bermaksud mengabaikan asas praduga tak bersalah, publik akan bertanya, “Apakah masuk akal sebuah kasus sebesar itu, yang diduga dilakukan secara terstruktur dan sistematis, hanya dilakukan dan dipikirkan oleh satu orang?”

Harapan publik, khususnya korban pelanggaran HAM, kasus ini dapat menjadi titik balik kemauan negara dalam menyelesaikan dan mengakui sejarah kelam pelanggaran HAM berat masa lalu. Kasus Paniai adalah pelanggaran HAM berat karena Undang-Undang HAM dan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 60/147 jelas menyebutkan bahwa unsur terstruktur, sistematis, dan masif merupakan hal paling esensial dalam peristiwa pelanggaran HAM berat.

Tim penyidik Kejaksaan Agung, yang terdiri atas 22 jaksa senior dan diketuai oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, dibentuk untuk menindaklanjuti Surat Ketua Komnas HAM pada September 2021. Penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas ketika peristiwa tersebut terjadi dan berada dalam struktur Komando Kodam XVII/Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali diduga bertanggung jawab atas insiden tersebut.

Hingga hari ini, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pun masih belum memberikan perlindungan terhadap korban ataupun keluarga korban peristiwa Paniai. Kontras, YLBHI, Amnesty International Indonesia, dan Keluarga Korban Kasus Paniai menyoroti banyak kejanggalan dalam proses penyidikan. Kejaksaan Agung juga tidak menggunakan kewenangannya untuk mengangkat penyidik ad hoc yang berasal dari masyarakat. Bahkan korban atau keluarga korban pun hingga hari ini menolak Pengadilan HAM Paniai karena dianggap tidak berpihak kepada hak korban atau tertutupnya proses penyidikan yang hanya menghasilkan satu tersangka.

Pengadilan HAM Paniai akan berjalan sia-sia apabila dipaksakan dan tidak dikaji lebih dalam. Beberapa aspek menghilang dalam proses penyidikan, seperti rantai komando, pelaku lapangan, dan perencanaan. Jika tidak segera dikaji ulang, hal ini dapat berulang dan pemenuhan hak korban akan parsial. Pengadilan HAM Paniai semestinya menjadi ruang pembaruan dan pembelajaran dari pengadilan HAM terdahulu dan menjadi representasi keseriusan negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.

Utang Negara

Kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun telah mewariskan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat. Setelah reformasi, negara berutang untuk menyelesaikan setidaknya 15 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, seolah-olah menjadi kebiasaan turun-temurun, rantai impunitas kasus pelanggaran HAM tidak juga putus dan korban tak juga mendapat penyelesaian yang adil.

Keberhasilan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya terbatas hanya di atas kertas dengan melahirkan produk hukum baru pasca-reformasi. Hak asasi manusia kembali diakui dalam amendemen Undang-Undang Dasar 1945 pada 2000. Pengakuan ini dapat dilihat sebagai usaha untuk menyelaraskan dengan hukum HAM internasional. Pemerintah pada akhirnya juga meratifikasi sejumlah hukum internasional dalam pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak asasi manusia.

Hukum nasional yang lahir antara lain adalah Undang-Undang HAM, yang melahirkan Komnas HAM, dan Undang-Undang Pengadilan HAM, yang dimaksud sebagai lex specialis untuk mengadili kasus-kasus kejahatan serius, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun Undang-Undang Pengadilan HAM ternyata hanya secara parsial menerapkan standar internasional yang tertera pada Statuta Roma atau Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Tidak dapat dimungkiri bahwa pembentukan Undang-Undang Pengadilan HAM merupakan respons atas tekanan masyarakat nasional ataupun internasional yang sangat kuat. Terlebih terhadap rekam jejak pemerintah atas kejahatan serius yang tercatat dalam laporan United Nations Transitional Authority in East Timor (UNTAET) mengenai pelanggaran HAM berat di Timor Timur.

Berdasarkan risalah-risalah, proses pembentukan Undang-Undang Pengadilan HAM dinilai tidak begitu menunjukkan pembahasan komprehensif dan mendalam mengenai pasal-pasalnya. Bahkan kalangan legislator tampaknya memiliki pemahaman konseptual yang lemah mengenai hukum HAM dan hukum pidana internasional.

Kelemahan substansial produk hukum tersebut berimplikasi pada penegakannya. Belajar dari pengadilan HAM ad hoc kasus Timor Timur dan Tanjung Priok yang tidak berhasil menghukum pelaku, kejanggalan dalam proses penyelidikan dan penyidikan, parsialitas dan keberpihakan hakim, serta tekanan politik TNI yang kuat pada masa itu pada akhirnya tidak memberikan keadilan bagi para korban. Semestinya, kegagalan ini menjadi pelajaran bagi pemerintah dalam penyelenggaraan pengadilan HAM dan proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.

Pengadilan HAM Paniai akan menunjukkan sejauh mana negara dapat memberikan keadilan kepada para korban. Situasi dan kondisi HAM di Papua terus mengalami penurunan. Keresahan dan raungan masyarakat Papua yang menuntut haknya tidak juga dijawab secara adil oleh negara. Alih-alih memberikan keadilan, pemerintah hingga kini masih menggunakan pendekatan keamanan, yang justru menjadi akar persoalan pelanggaran HAM di Papua.

Kinilah momentum negara untuk menjawab keraguan masyarakat Papua tentang kepedulian negara dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia. Pemenuhan hak korban harus dilakukan secara menyeluruh dan tidak terkesan sebagai formalitas belaka. (*)

 

Fatia Maulidiyanti, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.