Wacana

Pengaturan Penempatan DHE Sumber Daya Alam

PEMERINTAH akan mewajibkan eksportir sumber daya alam menyimpan devisa hasil ekspornya ke sistem keuangan dalam negeri selama minimal tiga bulan per 1 Agustus 2023. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memperkirakan kebijakan ini menghimpun cadangan devisa sebesar US$ 60-100 miliar dalam setahun. Kebijakan itu merupakan penerapan dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dari sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Peribahasa tersebut tampaknya cocok dialamatkan kepada kebijakan baru ini. Rencana penerbitan peraturan ini sejatinya sudah diinisiasi sejak awal tahun. Proses yang alot perihal jumlah minimal devisa, berapa lama batas penyimpanan, dan cakupan sektoral DHE memaksa pemerintah beberapa kali menunda penerbitannya. Eksportir nanti wajib menyimpan devisanya paling sedikit 30 persen dari total transaksi ekspor.

Bank Indonesia (BI) sudah “mendahuluinya” dengan memberikan insentif bagi pengusaha yang menyimpan DHE di perbankan dalam negeri per 1 Maret 2023. Eksportir yang mampu menyimpan DHE lebih banyak dan lebih lama akan mendapatkan insentif berupa suku bunga yang lebih tinggi.

Perbankan dalam negeri yang menerima setoran DHE pun akan kecipratan insentif. Bank lokal penghimpun DHE bisa meneruskannya (pass-on) ke BI. Dengan mekanisme lelang, perbankan bisa mendapatkan selisih lebih (spread) antara suku bunga term deposit dan suku bunga yang diberikan ke nasabah.

Keterlambatan terbitnya peraturan pemerintah itu agaknya memberi berkah tersendiri. Data menunjukkan bahwa term deposit yang diminati eksportir hanya bertenor satu bulan. Artinya, ketentuan penyimpanan DHE minimal tiga bulan akan memperpanjang “masa tinggal” lebih lama dan memancing perluasan tenor term deposit yang lebih panjang.

Dengan demikian, akumulasi dari implementasi peraturan tersebut dan insentif dari BI niscaya akan mendorong peningkatan kuantitas devisa serta menjamin likuiditas dolar Amerika Serikat di dalam negeri. Potensi masuknya likuiditas segar dolar setiap bulan sebesar US$ 1-2,25 miliar.

Hitungan di atas tidak berlebihan. Kontribusi ekspor SDA pada tahun lalu sekitar 30 persen dari total ekspor. Pada periode sebelum commodity boom, porsinya di kisaran 20 persen. Karena itu, ketika aturan ini mulai diterapkan, pasokan dolar dalam negeri akan meningkat dan mendorong stabilitas nilai tukar rupiah.

Meski bertujuan positif, penerapan peraturan itu tampaknya masih menyisakan beberapa persoalan fundamental yang perlu diantisipasi dari sekarang. Salah satunya adalah aturan mengenai detail kode HS (harmonized system) komoditas apa saja yang terkena aturan DHE SDA tersebut.

Klausul konversi DHE juga perlu mendapat perhatian lebih. Apabila terjadi permasalahan stabilitas makroekonomi dan/atau stabilitas sistem keuangan, DHE SDA dapat dikonversi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kriteria permasalahan stabilitas agaknya perlu diberi rambu-rambu yang tegas.

Seandainya kode HS dan konversi sudah terdefinisikan, persoalan berikutnya adalah subyeknya. Bagi pengusaha, penerapan aturan penempatan DHE di dalam negeri sangat boleh jadi akan merecoki fleksibilitas dalam pemanfaatan cash flow atas DHE. Ekspansi bisnis para eksportir berpotensi terhambat.

Terbitnya aturan ini niscaya juga akan mengubah siklus usaha, terutama pada tiga bulan awal penerapan aturan. Sementara itu, normalisasi (baca: penurunan) harga komoditas di pasar global terus berlanjut. Konsekuensinya, profitabilitas eksportir tertahan dan potensi margin kian kecil.

Pada poin ini, jika eksportir terdesak untuk memiliki DHE dalam mengembangkan usahanya, mereka rugi dua kali. Mencairkan DHE sebelum tenggat minimum akan terkena penalti. Kerugian lain, mereka menanggung biaya kesempatan yang seharusnya bisa diraih dari pengembangan usaha yang mendesak tadi.

Bagi perbankan, penerbitan peraturan pemerintah tersebut juga menjadi tantangan tersendiri. Fungsi intermediasi keuangan menghendaki perbankan harus mampu mengelola tambahan likuiditas dari DHE, yang sifatnya jangka pendek, untuk dapat digulirkan ke sektor riil yang membutuhkan dana valuta asing jangka panjang.

Dengan demikian, aturan turunan dari peraturan pemerintah tersebut, yang secara yuridis lebih lentur, harus proaktif mengakomodasi beberapa masalah di atas. Waktu rilis aturan turunan sebelum implementasi aturan induknya akan mengurangi kegaduhan yang tidak perlu.

Pada akhirnya, misi stabilisasi yang diemban regulasi ini tidak malah menjadi destabilisasi. Walhasil, perekonomian akan terakselerasi. Momentumnya pun sangat pas. Era pandemi Covid-19 sudah resmi dinyatakan berakhir. Masa endemi dengan segala harapan tinggi pun kian membuncah. (*)

 

Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.