Pentingnya 30 Persen Caleg Perempuan
PENGHITUNGAN calon legislator (caleg) perempuan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak sesuai dengan kebijakan afirmatif terhadap perempuan. Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan telah mengajukan uji materi Pasal 8 ayat 2 peraturan tersebut ke Mahkamah Agung pada 5 Juni lalu (Koran Tempo, 9 Juni 2023). Penghitungan ini akan berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024.
Pasal yang diujikan itu menetapkan, bila penghitungan 30 persen jumlah bakal calon legislator perempuan menghasilkan angka pecahan, nilai dua desimal di belakang dibulatkan ke bawah jika nilainya kurang dari 50 dan dibulatkan ke atas bila 50 atau lebih. Penghitungan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Pasal Bermasalah
Kebijakan afirmatif itu konstitusional. Pasal 28H ayat 2 Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Filosofi pasal ini sejalan dengan semangat CEDAW yang mengatur bahwa setiap aturan khusus negara yang bertujuan untuk mengakselerasi kesetaraan gender secara de facto tidak dianggap sebagai diskriminasi. Menurut CEDAW, aturan ini harus dihentikan ketika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan antara lelaki dan perempuan telah tercapai.
Kebijakan afirmatif atau aturan khusus sementara bagi perempuan ini diperlukan karena kondisi perempuan dan laki-laki yang belum setara, sehingga perlu upaya-upaya struktural untuk mencapai kesetaraan substantif atau kondisi de facto. Ini termasuk keterwakilan perempuan di DPR. Sebagai negara pihak yang telah meratifikasi dan mengundangkan CEDAW dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, Indonesia wajib memastikan perwujudan pencapaian kesetaraan substantif ini.
Pasal 245 Undang-Undang Pemilu mengatur bahwa daftar bakal calon anggota legislatif memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Keterwakilan perempuan sebesar 30 persen itu harus dipenuhi di setiap daerah pemilihan (dapil), sesuai dengan ketentuan Pasal 244 undang-undang tersebut. Sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan perundang-undangan “di bawah” Undang-Undang Pemilu atau peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pemilu, termasuk PKPU, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan ini.
Frasa “paling sedikit” dalam pasal itu merupakan upaya nyata undang-undang untuk memberikan kemudahan dan perlakuan khusus kepada perempuan agar memperoleh kesempatan serta manfaat di ranah legislatif. Apakah bisa lebih dari 30 persen? Ya. Apakah bisa kurang dari 30 persen? Tidak.
Peraturan KPU itu diikuti dengan terbitnya Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Lampiran keputusan itu berisi simulasi penghitungan keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon anggota legislatif (caleg).
Penggunaan rumus pembulatan ke bawah dalam keputusan itu akan berdampak pada jumlah keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen di sejumlah daerah pemilihan, yaitu pada daerah dengan jumlah bakal calon sebanyak empat, tujuh, delapan, dan sebelas orang. Contohnya, untuk jumlah bakal calon empat orang, penghitungan 30 persen akan menghasilkan 1,2 calon sehingga pembulatannya menjadi 1 orang. Akibatnya, persentase setelah pembulatan hanya 25 persen atau kurang dari 30 persen. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 245 Undang-Undang Pemilu.
Mengapa KPU tiba-tiba menetapkan aturan yang menimbulkan kontroversi ini? Berbagai spekulasi beredar. Yang jelas, pembulatan ke atas sebenarnya telah dipraktikkan dalam penyelenggaraan pemilu pada 2014 dan 2019. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi KPU untuk mengubahnya menjadi seperti sekarang.
Setelah menuai protes dari masyarakat sipil, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar konferensi pers serta menyatakan akan merevisi peraturan tersebut. Artinya, tiga lembaga itu menyadari adanya pelanggaran dalam pasal tersebut. Sayangnya, hingga hari ini tidak ada realisasi dari janji untuk merevisi peraturan tersebut.
Minimal 30 Persen
Untuk mengukur capaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dapat dilihat melalui indikator capaian pembangunan berbasis gender, yaitu indeks pembangunan gender (IPG) dan indeks pemberdayaan gender (IDG). IPG melihat rasio antara pembangunan laki-laki dan perempuan. Adapun IDG dihitung dari keterwakilan perempuan di legislatif, perempuan sebagai tenaga profesional, dan pendapatan perempuan.
Data 2020 menunjukkan bahwa nilai IPM perempuan di Indonesia masih lebih rendah dibanding laki-laki, yakni 69,19 berbanding 75,98. Data 2021 bergerak ke tren serupa ketika nilai IPM perempuan masih lebih rendah dibanding laki-laki, yakni 69,59 berbanding 76,25.
IPG Indonesia 2021 mencapai 91,27 persen, sedikit naik dari 2020 yang sebesar 91,06 persen. IPG Indonesia sebenarnya terus naik dari tahun ke tahun, dari 75,24 persen pada 2019, 75,57 persen pada 2020, dan 76,26 persen pada 2021.
World Economic Forum (WEF) merilis Global Gender Gap Report 2022 yang menghitung indeks ketimpangan gender dalam skala 0-1. Skor “0” menunjukkan ketimpangan gender yang sangat lebar dan skor “1” tercapainya kesetaraan penuh. Dalam laporan tersebut, indeks ketimpangan gender Indonesia sebesar 0,697 dan berada di peringkat ke-92 dari 146 negara. Indeks Indonesia naik dari 0,688 pada 2021. Dari unsur pembentuk indeks, skor Indonesia terbebani oleh indeks pemberdayaan perempuan di bidang politik yang sangat rendah, yakni 0,169 atau di bawah rata-rata global.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, persentase perempuan yang menjadi anggota DPR sangat sedikit. Keadaan berubah setelah kebijakan afirmatif berupa kuota minimal 30 persen perempuan untuk calon anggota DPR dan DPRD pada 2003 melalui undang-undang pemilihan umum legislatif. Perjuangan aktivis perempuan mewarnai perkembangan demi perkembangannya hingga akhirnya Undang-Undang Pemilu sekarang mempertegasnya.
Sebagai perbandingan, ada 2.507 perempuan (33 persen) dalam daftar calon anggota DPR pada Pemilu 2004 dan 3.910 perempuan (34,7 persen) pada Pemilu 2009. Tingkat keterpilihan perempuan sebagai anggota DPR juga naik, dari 61 orang (11,09 persen) pada Pemilu 2004 menjadi 101 orang (17,86 persen) pada Pemilu 2009, 97 orang (17,32 persen) pada Pemilu 2014, dan 117 orang (20,35 persen) pada pemilu 2019.
Meskipun demikian, pekerjan rumah keterwakilan perempuan jelas belum selesai. Keberadaan perempuan di DPR diperlukan untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam fungsi-fungsi Dewan, dari legislasi, pengawasan, hingga anggaran. Tanpa perempuan, DPR sangat rentan berwatak maskulin dan patriarkis. Jika pemilu adalah “pesta demokrasi”, semestinya kita bergerak bukan semata untuk mencapai demokrasi prosedural, tapi juga demokrasi substansial. Tentu tidak ada demokrasi substansial tanpa kesetaraan substantif bagi laki-laki dan perempuan. (*)
Valentina Sagala, Pendiri Institut Perempuan, Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya